Parahnya lagi, baru dalam Pilgub Jabar 2018, tokoh berlatar belakang artis hanya mampu menempati posisi ketiga. Sebelumnya, dalam Pilgub Jabar 2008, Dede Yusuf yang maju sebagai cagub berhasil memenangkan suara pemilih. Lima tahun setelahnya, Dedy yang juga maju sebagai cagub meraih suara terbanyak disusul pasangan aktivis anti-korupsi Teten Masduki-artis sekaligus anggota DPR RI Rieke Diah Pitaloka yang menempati posisi kedua.
Kekalahan pasangan Deddy-Dedi membuktikan bahwa pendongkrakan popularitas AHY justru kontraproduktif terhadap kampanye Deddy-Dedi.Â
Dalam Pemilu Legislatif 2019, raihan suara Demokrat bisa dibilang anjlok dari pileg sebelumnya. Pada Pileg 2014, Demokrat berhasil meraup 10,9 persen suara. Namun, pada Pileg 2019, Demokrat hanya sanggup mendapatkan 7,77 persen suara. Fakta ini juga sekaligus membantah klaim elit Demokrat yang mengatakan suara Demokrat merosot pada Pileg 2014 lantaran banyak kader Demokrat yang terjerat kasus korupsi.
Jebloknya suara Demokrat pada Pileg 2019 merupakan salah satu bukti real bila pendongkrakan popularitas dan elektabilitas AHY justru kontraproduktif terhadap kampanye partai. Seperti halnya hasil Pilgub Jabar 2018, hasil Pileg 2019 adalah suara real pemilih yang berbeda dengan hasil survei.Â
Pertanyaannya, kenapa popularitas AHY tidak mampu mendongkrak raihan suara Demokrat?
Siapa tak kenal Rhoma Irama? Raja Dangdut ini begitu populer. Saking populernya, tingkat elektabilitas Rhoma mencapai 98 persen. Sebuah tingkat popularitas yang nyaris sempurna. Dengan tingkat popularitasnya tersebut tingkat elektabilitas Rhoma tidak lebih dari 5 persen.
Popularitas Rhoma, bahkan, tidak mampu mengatrol perolehan suara kedua putranya dalam Pileg 2014. Kedua putra Rhoma, Ficky dan Ridho, meski ditaruh di urutan pertama daerah pemilihan (Dapil) masing-masing gagal menembus Senayan. Padahal di belakang nama keduanya melekat erat nama besar Rhoma.
Begitu juga dengan AHY. Popularitas AHY memang moncer di atas 70 persen, tetapi gagal mendongkrak raihan suara Demokrat dalam Pileg 2019. Karenanya, menggantungkan raihan suara Demokrat dalam Pileg 2024 pada popularitas dan elektabilitas AHY belum tentu membuahkan hasil yang diinginkan.Â
Di sisi lain, tingkat popularitas tidak selamanya berbanding lurus pada tingkat elektabilitas yang bersangkutan, apalagi bagi pihak lain.
Tingginya tingkat popularitas bisa diraih dengan banyak cara, salah satunya semakin sering tampil di media. Tetapi, di dalam tingkat popularitas terdapat sentimen positif dan sentimen negatif.Â
Bila sentimen positif lebih tinggi dari sentimen negatif, maka net sentimen otomatis positif. Sebaliknya, bila sentimen positif di bawah sentimen negatif, maka net sentimen otomatis negatif. Kedua sentimen inilah yang menghasilkan tingkat kesukaan dan tingkat ketidaksukaan.Â