Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Benarkah Kudeta Militer Sempat Ancam SBY?

20 Februari 2021   08:42 Diperbarui: 20 Februari 2021   09:42 1799
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kudeta militer menjadi salah satu isu menarik sepanjang Februari 2021. Di Myanmar, militer Myanmar yang dikomandoi Jenderal Min Aung Hlaing menggulingkan Presiden  Myanmar Presiden Win Myint. Di Indonesia, isu kudeta mendapat sorotan setelah Partai Demokrat membeberkan adanya rencana pelengseran Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dari kursi ketua umum partai.

Dua peristiwa tersebut, kudeta militer di Myanmar dan rencana kudeta terhadap AHY, memiliki "titik temu" dengan isu adanya rencana kudeta militer terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2006.

Isu Kudeta yang Diawali Kematian Mendadak Brigjen Koesmayadi

Bermula dari kematian mendadak Wakil Asisten Logistik (Waaslog) KSAD Brigjen Koesmayadi akibat serangan jantung pada 25 Juni 2006, isu adanya rencana kudeta militer terhadap Presiden SBY menyeruak. 

Sehari kemudian, di rumah almarhum ditemukan senjata sejumlah 145 pucuk dari berbagai jenis, mulai SS1, M16, MP5, sampai AK, Selain itu ditemukan juga 28.985 butir amunisi, dan 9 buah granat tangan. Di rumah yang berlokasi di komplek elit di Puri Marina, Ancol, Jakarta Utara ditemukan juga 28 buah teropong. Jumlah senjata ini bertambah setelah beberapa hari kemudian ditemukan 32 pucuk senjata yang dititipkan kepada Kopassus.

Penemuan ratusan pucuk senjata dan ribuan amunisi di rumah Koesmayadi inilah yang kemudian memunculkan narasa adanya rencana kudeta militer terhadap Presiden SBY. 

Pada 30 Juni 2021, Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto memastikan Brigadir Jenderal Koesmayadi bukan satu-satunya pelaku yang terlibat dalam kasus penyimpanan senjata dan amunisi di rumah dinasnya. 

"Kan tidak mungkin sendirian untuk proses itu. Perlu diketahui juga apakah baru berlangsung satu-dua tahun atau sudah puluhan tahun," katanya kepada wartawan usai peringatan Hari Antinarkoba Internasional di Istana Negara, pada 30 Juni 2005 seperti yang dikutip Tempo.co.

Selain memerintahkan Pusat Polisi Militer mengusut tuntas kasus ini, Panglima TNI juga melibatkan Badan Intelijen Strategis (BAIS) dan Badan Intelijen Negara (BIN).

Pernyataan Panglima TNI yang mengatakan atau ada orang lain selain Koesmayadi dan pelibatan BAIS serta BIN semakin menguatkan narasi adanya rencana kudeta militer terhadap SBY. 

Satu per satu orang dekat dan yang diduga terkait penemuan senjata di rumah almarhum Koesmayadi diperiksa. Sampai 17 Juli 2021 total 95 orang telah diperiksa Puspom TNI, termasuk Kapten CPM Ahmad Aryanto, menantu almarhum Koesmayadi. Sementara, karena penemuan senjata berada di rumah tinggal Koesmayadi, Puspom TNI hanya memintai keterangan KSAD Jenderal (Purn) Ryamizard Ryacudu.

Seiring waktu isu kudeta militer terhadap SBY perlahan menghilang tergantikan isu-isu lainnya, salah satunya isu korupsi.

Benarkah Militer Berencana Kudeta terhadap SBY?

Situasi dan kondisi tanah air kala itu sangat kondusif. Panggung politik nyaris tanpa kisruh. Keamanan nyaris tanpa guncangan. Roda-roda pun perekonomian berjalan nyaris tanpa gangguan. Bahkan, konflik Aceh pun sudah mereda pasca Tsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004. Maka nyaris tidak ada sedikit celah pun bagi militer untuk lencarkan kudeta terhadap pemerintah SBY.

Sementara, militer "membutuhkan" situasi tertentu untuk mendapatkan legitimasi atas kudeta yang dilancarkannya.

Ketika terjadi pergantian kekuasaan dari Soeharto ke Habibie pada Mei 1998 menyusul aksi unjuk rasa dan kerusuhan di sejumlah daerah, Panglima ABRI Jenderal Wiranto tidak berupaya mengambil alih kekuasaan. Padahal, bila saja berkehendak, saat itu militer bisa saja mengambil alih paksa tongkat pemerintahan dari tangan Presiden Habibie.

Kemudian, jika mengacu pada kudeta militer Myanmar sebagai reaksi atas kisruh pemilu, militer Indonesia pun bisa saja mengambil paksa pemerintahan pasca rusuh akibat aksi penolakan hasil Pilpres 2019 pada 21-23 Mei 2019. Faktanya, sekalipun ketika itu pintu terbuka lebar, namun tidak tercium adanya upaya kudeta militer di Indonesia.


Sebelum melancarkan aksi kudeta, militer pastinya sudah mengalkulasikan sejumlah faktor, khususnya soliditas di internal militer. Jika di dalam tubuh militer terdapat faksi-faksi, maka kudeta bakal menemui kesulitan, bahkan kegagalan. 

Di Mesir, militer yang dipimpin Jenderal Abdul Fattah as-Sisi berhasil mengambil alih kekuasaan dari tangan Muhammad Mursi pada 3 Juli 2013 karena militer Mesir relatif solid. Apakah militer Indonesia sesolid militer Mesir sehingga sanggup melancarkan kudeta? Jika berkaca pada perseteruan Jenderal Wiranto dengan Letnan Jenderal Prabowo pada Mei 1998, jawabannya tidak.

Karenanya, sangat kecil kemungkinan bila pada 2005 lalu militer Indonesia melancarkan kudeta terhadap pemerintah SBY, apalagi ketika itu aroma perseteruan Wiranto-Prabowo kembali menghangat pasca Konvensi Partai Golkar jelang Pilpres 2004. 

Kenapa Isu Kudeta Militer sempat Berembus?

Tidak ada asap bila tidak ada api.

Pada 8 Oktober 2004 atau 12 hari sebelum SBY dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia, Presiden Megawati  menandatangani Surat Presiden Nomor R32/PRES/10/2004 perihal pemberhentian Jenderal Endriartono Sutarto sebagai Panglima TNI dan mengangkat KSAD Jenderal Ryamizard Ryacudu sebagai penggantinya. Oleh Presiden SBY, surat Megawati tersebut ditarik dengan mengirimkan Surat Presiden Nomor R41/PRES/10/2004 yang ditandatangani SBY pada 25 Oktober 2004 atau 5 hari setelah pelantikannya.

"Digagalkannya" pencalonan Ryamizard sebagai calon Panglima TNI ini sempat memanas sekitar akhir Oktober sampai awal November 2004. Karena, bagaimanapun juga "kegagalan" tersebut berdampak pada "pergerakan" gerbong kelompok prajurit yang dilokomotifi oleh Ryamizard.

Ada satu peristiwa menarik saat serah terima jabatan Panglima TNI dari Jenderal Endriartono Sutarto kepada Marsekal Djoko Suyanto pada 20 Februari 2006. Ryamizard yang sudah pensiun ketika itu memilih duduk di deretan belakang. Kemudian, setelah acara usai, Ryamizard tidak menyalami Djoko. 

Ketidaksukaan, atau setidaknya ketidaknyamanan, sejumlah perwira TNI atas kepemimpinan SBY memang bukan isapan jempol.  Kolonel Adjie Suradji, misalnya pernah membuat gempar setelah artikel "Pemimpin, Keberanian, dan Perubahan" yang ditulisnya dimuat di harian Kompas pada 6 September 2010 dianggap mengkritik SBY.

Ketidaksukaan atau ketidakterimaan militer terhadap SBY inilah yang sebenarnya coba dihabisi dengan melemparkan isu kudeta yang dilakukan oleh Brigjen Koesmayadi dan kelompoknya. 

Isu kudeta yang diawali kematian mendadak Brigjen Koesmayadi ini bisa dikatakan sebagai sinyal warning SBY kepada militer untuk tidak berani berbuat macam-macam kepada dirinya.

Sinyal yang bisa dibaca serupa kembali dipancarkan SBY jelang akhir masa jabatannya. Saat itu yang menjadi sasarannya adalah KSAD Jenderal Budiman.

"Informasi yang telah dikonfirmasikan, ada pihak-pihak yang menarik-narik sejumlah perwira tinggi untuk berpihak pada yang didukungnya," ungkap SBY dalam sambutannya saat memberikan arahan pada perwira TNI/Polri di Gedung Kementerian Pertahanan, Jakarta, pada 2 Juni 2014 seperti yang dikutip Merdeka.com.

Kemudian SBY menambahkan, 

"Bahkan ditambahkan, tidak perlu mendengar presiden kalian, kan itu kapal karam yang udah mau tenggelam, berhenti, lebih baik cari kapal baru yang tengah berlayar dan matahari bersinar," lanjutnya.

SBY memang tidak menyebut nama, namun pernyataan SBY tersebut dianggap sebagai teguran kepada Budiman. Sebulan kemudian SBY mengganti Budiman dengan Letjen Gatot Nurmantyo. Saat pelantikan KSAD baru di Istana, Budiman tidak menghadirinya. 

Lewat penyampaian informasinya itu, SBY seolah menegaskan bila dirinya memiliki mata dan telinga di lingkungan TNI, bahkan di level setingkat KSAD. Karenanya, isu "Kapal Karam" ini bisa dianggap sebagai sinyal SBY kepada militer untuk tidak macam-macam kepada dirinya sekalipun ia sudah tidak menduduki kursi RI 1 lagi.

Sinyal itu menunjukkan bila SBY sebenarnya masih merasakan adanya ancaman terhadap dirinya. Setelah tidak lagi menjabat sebagai Presiden RI, SBY sudah tidak perlu lagi mengkhawatirkan kudeta militer. Tetapi, sebagai politisi sekaligus mantan presiden, SBY sudah barang tentu memiliki sejumlah musuh.

Karenanya, muncul pertanyaan, benarkah Moeldoko yang kebetulan berlatar belakang militer benar-benar berupaya melancarkan kudeta terhadap AHY ataukah hanya narasi yang dibangun oleh Partai Demokrat dengan motif tertentu. Menariknya, Partai Demokrat menggunakan diksi "kudeta". sebuah kata yang tengah menjadi sorotan pasca kudeta militer di Myanmar pada awal Februari 2021.

Soal AHY: Intel Australia sudah Endus Ambisi Ani Yudhoyono Sejak 2007

Deja Vu 2013: Stategi SBY Odal-adul SMS untuk Marzuki Alie

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun