Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Skandal Jiwasraya: Ada Dugaan Pembiaran, BIN Semestinya Periksa OJK

5 Juli 2020   14:00 Diperbarui: 5 Juli 2020   14:32 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir Juni 2020, netizen dihebohkan dengan viralnya sebuah video. Dalam video tersebut tampak pengacara kondang Hotman Paris Hutapea dan sejumlah orang di belakangnya. Tampak juga dua orang lelaki duduk di sebelah Hotman.

Dalam video yang direkam di Kedai Kopi Johny yang berlokasi di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara itu, kedua orang lelaki yang mengenakan batik itu terlihat sedang mengadu pada Hotma soal dana depositonya di Bank BCA yang menurut keduanya tidak bisa ditarik.

Kepada media, Hotman menjelaskan bahwa dirinya tidak mengetahui pihak yang mengedarkan video yang menurut pengakuannya direkam beberapa tahun yang lalu. 

Hotman benar. Jika ditelusuri, video tersebut bukan rekaman peristiwa yang baru berlangsung. Video itu, setidaknya sudah beredar pada 1 Maret 2019.

Sebulan kemudian atau tepatnya pada 4 April 2019, video yang sama kembali viral. 

Jika dicermati lebih jauh, waktu dari penyebarluasan video tersebut terkait dengan pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 yang digelar pada 17 April 2019.

Lantaran kembali viralnya video serupa pada akhir Juni lalu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun terusik. OJK mengaku melibatkan pihak kepolisian hingga Badan Intelijen Negara (BIN) guna mengusut informasi hoaks yang berisi ajakan penarikan dana besar-besaran (rush money) melalui sosial media. Menurut OJK, informasi hoaks tersebut telah menimbulkan keresahan di masyarakat.

Seruan rush money sebenarnya sudah menyebar pada pertengahan Juni 2020. Bisa jadi, video yang menyebar saat itulah yang menyebabkan isu rush money bergelinding kencang.

Nasabah Bank Bukopin Mulai MENGELUH. Penarikan dana dipersulit, 3 hari pengurusan blm jg beres. Penarikan di ATM sudah di BATASI pic.twitter.com/fkNCVP1Obz--- Jara_Mbojo (@umaralims) June 13, 2020

Dan, jika mencermati pemberitaan awal awal Juli 2020 tentang kesulitan nasabah Bank Bukopin dalam mencairkan dananya, Bisa dibilang jika seruan atau ajakan rush money bukan berasal dari informasi hoax. Pasalnya, informasi tersebut dipublikasikan oleh media-media mainstream. 

Di Indonesia, Rush Money Terkait Isu Politik

Istilah rush money sebenarnya hanya populer di Indonesia, di negara lain lebih banyak populer dengan istilah bank run. Fenomena ini menurut teorinya adanya kejadian di mana masyarakat secara besar-besaran akan menarik uang tunai di bank dalam skala yang besar dan dalam waktu serentak. Hal ini dapat menyebabkan bank kehabisan dana tunai yang mengacaukan sistem perbankan. Apabila rush money sampai terjadi, kesulitan ekonomi akan dirasakan oleh masyarakat luas yang mau tidak mau menerima imbasnya.

Di Indonesia, rush money pernah terjadi pada 1997-1998. Ketika itu Indonesia tengah mengalami krisis yang berat.  Rush money yang mengakibatkan kerusakan pada sendi-sendi terpenting dalam sistem perbankan Indonesia ini kemudian membuat banyak bank bangkrut alias gulung tikar.

Isu serupa kembali berembus pada November 2016. Ketika itu, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Poernama kembali mencalonkan diri menjadi calon Gubernur untuk periode selanjutnya.

Untuk saat ini, isu rush money menyebar hampir bersamaan dengan isu perombakan kabinet Jokowi. Kebetulan dalam isu resuffle kabinet kali ini jabatan Menteri BUMN yang saat ini dipegang Erick Thohir sedang mendapat sorotan.

Sekalipun, isu rush money yang bergulir saat ini bukan bersumber dari informasi hoax, namun langkah OJK dalam melibatkan pihak kepolisian dan BIN patut mendapatkan acungan jempol. Langkah OJK ini berbeda ketika isu rush money mencuat pada November 2016. Padahal, berbeda dengan isu yang beredar saat ini, ajakan rush money pada empat tahun lalu  jelas-jelas tidak memiliki alasan dan disebarkan dengan "lampiran" informasi hoax.

Lantas, bagaimana dengan skandal Jiwasraya di mana keabaian OJK dalam menjalankan perannya sesuai Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.sebenarnya juga mengancam stabilitas sistem keuangan nasional.  Apakah OJK juga harus melibatkan BIN?

Biarkan JS Saving Plan Tawarkan Keuntungan 2 Kali Lipat Bunga Deposito, OJK harus Diperiksa BIN

Skandal investasi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) terungkap setelah perusahaan BUMN asuransi ini mengalami gagal bayar polis kepada nasabah terkait produk investasinya, yaitu JS Saving Plan.

Kepada masyarakat atau calon konsumennya, JS Saving Plan yang ditawarkan dengan jaminan return sebesar 9 persen hingga 13 persen dengan periode pencairan setiap tahun. Besaranan keuntungan yang ditawarkan Jiwasraya lewat JS Saving Plan-nya ini jauh lebih tinggi atau hampir dua kali lipat daripada bunga yang ditawarkan deposito bank yang saat ini besarannya di kisaran 5-7 persen. 

Dibiarkannya Jiwasraya menawarkan keuntungan 9 persen sampai 13 persen ini menguatkan dugaan adanya pembiaran yang dilakukan pihak OJK. Pasalnya, sesuai Pasal 28 UU No. 21/2011, OJK berwenang meminta lembaga jasa keuangan untuk menghentikan kegiatannya apabila kegiatan tersebut berpotensi merugikan masyarakat.

Terlebih, dalam Pasal 9 disebutkan bahwa untuk melaksanakan tugas pengawasan OJK mempunyai wewenang memberikan dan/atau mencabut persetujuan melakukan kegiatan usaha.

Dengan dibiarkannya Jiwasraya memasarkan JS Saving Plan, patut diduga OJK tidak melaksanakan tujuan, fungsi, tugas, dan wewenang seperti yang diamanatkan dalam Pasal 4 UU No. 21/2011 yang salah satu diantaranya mewajibkan OJK melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.  Inilah yang bisa digunakan oleh BIN untuk memeriksa OJK.

Pembiaran OJK Ancam Stabilitas Sistem Keuangan

Dalam Bagian Kedua Protokol Koordinasi UU No. 21/2011, Pasal 44 menyebutkan OJK merupakan bagian dari Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan. Dalam forum ini, OJK diwakili oleh Ketua Dewan Komisioner OJK.

Salah satu bentuk koordinasi yang dilakukan oleh forum yang beranggotakan Menteri Keuangan RI, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner OJK, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan ini adalah melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap stabilitas sistem keuangan.

Dalam forum ini, seluruh anggota menginformasikan indikasi adanya potensi krisis atau telah terjadi krisis pada sistem keuangan. Kemudian forum menggelar rapat guna memutuskan langkah-langkah pencegahan atau penanganan krisis.

Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan ini juga dapat menetapkan dan melaksanakan kebijakan yang diperlukan dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis pada sistem keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing.

Untungnya, kerugian JS Saving Plan ini tidak berdampak sistemik sehingga menimbulkan krisis. Hal ini diungkapkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).

"Stabilitas sistem keuangan pada kuartal IV-2019 tetap terkendali di tengah ketidakpastian ekonomi global yang mengalami penurunan serta sorotan masyarakat terhadap permasalahan di beberapa lembaga jasa keuangan," ujar Sri Mulyani ketika memberikan keterangan pers di Jakarta, pada 22 Januari 2020 sebagaimana dikutip oleh Kompas.com

Namun pertanyaannya, apakah OJK pernah menyampaikan persoalan Jiwasraya dalam Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan sebelum kasus ini meledak?

Jika ya, kenapa Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan membiarkannya. Sebaliknya, jika tidak, maka dugaan adanya pembiaran oleh OJK dalam kasus Jiwasraya semakin menguat. Dan, setiap pembiaran dalam tindak pidana memiliki konsekuensi hukumnya sendiri.

Dalam sidang perdana kasus dugaan korupsi dalam pengelolaan keuangan dan dana investasi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) itu keenamnya didakwa merugikan kantong negara sebesar Rp 16,8 triliun.

Dalam kasus Jiwasraya, ada dua kepala eksekutif yang bertanggung jawab yaitu kepala eksekutif pengawas pasar modal dan kepala eksekutif pengawas perasuransian, dana pensiun lembaga pembiayaan, dan lembaga Jasa Keuangan lainnya.

Dengan ditemukannya dugaan kerugian negara sebesar Rp 16,8 triliun, OJK jelas tidak menjalankan wewenangnya yang tertuang dalam Pasal 28, yaitu melakukan tindakan pencegahan yang mengakibatkan kerugian konsumen dan masyarakat. Tidak dijalankannya pasal ini juga bisa menjadi pintu masuk bagi BIN untuk melakukan pemeriksaan terhadap OJK.

Pemeriksaan BIN terhadap OJK ini wajar mengingat ada 2 pasal yang diduga sengaja diabaikan oleh OJK. Dan pengabaian tersebut mengancam sendi-sendi perekonomian nasional  Karenanya tidak menutup kemungkinan adanya sabotase ekonomi yang dilakukan oleh oknum-oknum OJK.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun