Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

283 Jenazah Versi Anies Baswedan yang Tak Menggetarkan

3 April 2020   11:04 Diperbarui: 3 April 2020   11:14 2736
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi Amazon.com

Anies Baswedan mengaku daerah yang dipimpinnya telah mengurus 283 jenazah sepanjang 6 sampai 29 Maret 2019 dengan menggunakan protap penanganan pasien Covid-19. Ke-283 warga DKI Jakarta yang meninggal dunia itu, masih kata Anies, sebulan sebelumnya masih sehat. Saat mengucapkan "283", suara Gubernur DKI Jakarta itu terdengar bergetar dan sedikit terbata.

Bukan getaran suara Anies yang menggetarkan, tetapi angkanya. Angka yang digetarkan Anies berbeda dengan jumlah pasien Covid-19 yang meninggal dunia versi pemerintah pusat. Pada hari itu, 30 Maret 2020, pemerintah pusat merilis jumlah pasien positif corona yang meninggal dunia di DKI Jakarta sebanyak 78 orang.

Tiga hari kemudian, angka 283 meningkat menjadi 401. Angka ini diungkap Anies saat menggelar telekonferen dengan Wakil Presiden Ma'ruf Amin.

"Sampai dengan kemarin itu jumlah yang meninggal dimakamkam dengan cara (jenazah) Covid ada 401 kasus. Ada 38 jenazah yang dimakamkan dengan protap Covid-19 pagi ini, baru setengah hari itu. Jadi, situasi di Jakarta ini sangat mengkhawatirkan," kata Anies sebagaimana yang dikutip Kompas.com.

Sebenarnya, angka jumlah versi Anies tidak bisa dihadap-hadapkan dengan data yang diumumkan pemerintah pusat. 

Angka yang diungkap Anies adalah jumlah jenazah yang diurus dengan menggunakan protap pasien corona, yaitu jenazah dibungkus dengan plastik, menggunakan peti, lalu harus dimakamkan kurang dari 4 jam oleh petugas yang menggunakan alat pelindung diri (APD) lengkap, sekalipun hasil tes corona belum diketahui. 

Sementara angka yang disebutkan pemerintah pusat berdasarkan jumlah pasien yang meninggal dunia setelah dinyatakan positif oleh hasil tes Swab Covid-19.

Karenanya Anies Baswedan tidak salah. Apalagi dalam keterangannya, Anies tidak menyebut bila angka 283 sebagai pasien positif corona yang meninggal dunia. Begitu pula dengan angka 78 yang diumumkan oleh pemerintah pusat pun benar karena berdasarkan data pasien positif corona yang meninggal. 

Contoh kasus yang bisa diambil adalah kematian Kepala Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK), Kiagus Ahmad Badaruddin. Setelah selama dua hari dirawat di ruang isolasi, Kiagus meninggal dunia pada 14 Maret 2020. 

Sebagaimana yang diberitakan, jenazah Kiagus diurus dengan menggunakan protap pasien Covid-19. Kalau melihat protap penanganan jenazah dan waktu kematiannya, Kiagus masuk ke dalam daftar 283 yang disebutkan oleh Anies. Tetapi, karena hasil tesnya negatif, pemerintah pusat tidak memasukkan Kiagus ke dalam daftar nama pasien positif corona yang meninggal dunia. 

Jadi tidak perlu terkaget-kaget dengan adanya perbedaan angka versi Anies yang menggetarkan dan versi pemerintah pusat. Karena yang terpenting saat ini bagi Anies Baswedan dan kepala daerah lainnya adalah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). 

Sederet Pertanyaan Terkait Corona yang Tak Butuh Jawaban
Pada 27 Maret 2020 beredar video yang diunggah Narasi TV lewat Youtube. Video yang diberi judul "CEROBOH DI CIANJUR: Jejak Buram Pemerintah Menangani Pandemi COVID-" ini mengupas kesimpangsiuran informasi tentang hasil tes pasien Covid-19. 

Bukan hanya itu, video itu juga menggambarkan secara jelas dan runut inkonsistensi dan kecerobohan pemerintah pusat dalam menangani pandemi Covid-19.

Pasien yang dimaksud Narasi TV adalah pegawai PT Telkom yang bekerja di Bekasi, Jawa Barat. Ia meninggal pada 3 Maret 2020 pukul 04.00 WIB. Kejanggalan muncul, menurut Narasi TV,  hanya dalam waktu 9 jam atau pada pukul 13.00. Kemenkes sudah menyatakan bahwa pasien Cianjur tersebut negatif Covid-19. Padahal, tes membutuhkan 8-9 jam dan perjalanan dari Cianjur menuju Jakarta memakan waktu 2-3 jam.

Lantaran hasil tes dinyatakan negatif, pihak keluarga hidup sebagaimana biasanya tanpa melakukan isolasi. Keluarga menjalani isolasi setelah pasien dinyatakan positif corona. Menariknya, pihak yang pertama kami mengumumkannya adalah Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil pada 15 Maret 2020. 

Keesokan harinya, barulah juru bicara pemerintah dalam penanganan Corona Covid-19, Achmad Yurianto, meralat pernyataan sebelumnya dan mengonfirmasi bahwa pasien Cianjur memang positif corona.

Lantas bagaimana dengan mahasiswa Universitas Brawijaya yang dinyatakan positif corona pada 18 Maret 2020? 

Mahasiswa fakultas teknik tersebut mengaku tidak memiliki riwayat kontak langsung dengan penderita Corona maupun daerah terinfeksi. Akan tetapi, menurut Rektor Universitas Brawijaya, Nuhfil Hanani, sebelumnya orang tua mahasiswa mengalami gejala terjangkit Covid-19 dan meninggal dunia sebelum hasil tes yang menyatakan negatif keluar.

Lantas, kalau tidak pernah kontak dengan penderita corona dan daerah terinfeksi, siapa pembawa virus corona yang menjangkiti mahasiswa Brawijaya tersebut?

Pertanyaan lebih lanjut, mungkinkah kasus di Malang sebelas dua belas dengan kasus di Cianjur?

Begitu juga dengan kasus meninggalnya suspek corona di RS Kariadi Semarang yang meninggal dunia pada 23 Februari 2020 setelah diisolasi selama 4 hari. Sebelum meninggal, almarhum menunjukkan gejala demam, batuk, pilek, dan sesak nafas sepulang dari Spanyol pada 12 Februari 2020 dan mulai menjalani perawatan 5 hari kemudian. 

Sebagaimana yang diberitakan, sejak Januari 2020 sampai 25 Februari 2020, RS Kariadi sudah menangani sebanyak 24 pasien yang terindikasi virus corona. Empat di antaranya tercatat sebagai warga China, Jepang dan Korea. Menariknya, dari ke-24 pasien tersebut, tidak satupun yang dinyatakan positif corona. 

Apakah sebelum dinyatakan negatif, suspek corona yang meninggal dunia serta 24 pasien RS Kariadi Semarang sempat menjalani tes Swab?

Angka-angka yang Tidak Lagi Mengetarkan
Ketertutupan pemerintah pusat dalam kasus pandemi corona ini juga disentil oleh Gubernur DIY Sultan Hamengkubuwono V. Sri Sultan mendesak pemerintah untuk lebih transparan soal informasi wilayah zona merah corona. 


Presiden Joko Widodo sendiri sudah mengakui bila pemerintah yang dipimpinnya merahasiakan sejumlah informasi terkait penanganan Covid-19. Katanya, tidak semua informasi memang bisa disampaikan ke publik agar tidak menimbulkan kepanikan. 

"Saya sampaikan penanganan pandemi Covid-19 terus menjadi perhatian kita. Memang ada yang kita sampaikan dan ada yang tidak kita sampaikan. Karena kita tidak ingin menimbulkan keresahan dan kepanikan di tengah masyarakat," kata Jokowi di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, pada 13 Maret 2020 sebagaimana dikutip Kompas.com.

Dari pernyataan Sri Sultan dan Jokowi muncul pertanyaan, apakah sejumlah informasi terkait virus corona juga dirahasiakan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah?

Lantas, apakah status positif atau negatif orang dalam pengawasan (ODP) dan pasien dalam pengawasan (PDP yang meninggal sebelum keluar hasil tes Swab termasuk salah satu informasi yang ditutupi?

Lantaran dugaan adanya ketidaktransparanan pemerintah pusat dalam penanganan kasus Covid-19 ini, semestinya angka 283 dan 401 yang jumlahnya berlipat-lipat dari data pemerintah pusat bukan lagi bagaikan petir di siang bolong. 

Karenanya, Ridwan Kamil pun semestinya tidak lagi terkejut ketika mendapati informasi bahwa satu kecamatan di Kota Sukabumi menjadi klaster atau penyebaran baru virus Corona di Jawa Barat.

Sama tidak mengejutkannya ketika media memberitakan tentang The Centre for the Mathematical Modelling of Infectious Diseases (CMMID) yang menyatakan jumlah kasus Covid-19 yang tidak terdeteksi di Indonesia sebenarnya bisa mencapai puluhan ribu hingga ratusan ribu kasus.

Dengan informasi-informasi tersebut, seharusnya masyarakat sudah kebal kejut. Jadi, seharusnya sudah tidak terkejut lagi ketika mendapati angka-angka jumlah positif corona pada 24, 30, dan 31 Maret 2020 sama dengan jumlah yang dites yang dilakukan..

Pada tanggal 24 angka yang muncul 107. Tanggal 30 tercatat angka 129. Kemudian pada 31 Maret 2020 tercatat 114 untuk jumlah positif corona dan jumlah tes yang dilakukan.

Tapi, kesamaan angka yang janggal itu pasti ada kunci jawabannya. Dan, apapun jawabannya, masyarakat seharusnya sudah tidak lagi terkejut. 

"Sebetulnya musuh terbesar kita saat ini adalah bukan virus itu sendiri, tapi rasa cemas, rasa panik, rasa ketakutan, dan berita-berita hoaks serta rumor," ujar Jokowi seperti dikutip CNNIndonesia.com.

Jokowi benar, seutuhnya benar. Musuh terbesar bangsa ini bukan corona, tapi rasa cemas, panik, dan ketakutan. 

Karenanya, untuk menghindari tiga rasa yang disebutkan Jokowi pada 5 Maret 2020 itu, kita tidak boleh kagetan, gumunan, apalagi sampai jantungan setiap mendapati informasi apapun terkait corona.

Karenanya, suara Anies Baswedan yang terbata-bata saat menyebut jumlah jenazah telah gagal menggetarkan bangsa Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun