Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Soal Tuduhan Kecurangan Pilpres 2019, Prabowo Di-Deja Vu-kan Pendukungnya Sendiri

22 April 2019   09:48 Diperbarui: 22 April 2019   09:52 2863
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belum juga masa penghitungan suara Pilpres 2019 melewati 24 jam, sejumlah dugaan kecurangan yang "menguntungkan" pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin sudah membanjiri lini masa media sosial. Beberapa waktu kemudian sejumlah elit politik pendukung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno pun turut melontarkan tuduhan-tuduhannya.  

Arief Poyuono, misalnya, menilai Komisi Pemilihan Umum sudah mulai curang dan mencoba melakukan penyamaan hitung suara dengan hasil quick count lembaga survei.

"KPU curang dan sudah terbukti dengan mengaku salah input data pada perhitungan suara. Kok mau ngeles begitu ketahuan mau melakukan framing hasil quick count lembaga survei bayaran dengan tabulasi yang sedang dilakukan KPU ya," ujar Arief kepada Beritasatu.com di Jakarta, pada 19 April 2019.

Waketum DPP Partai Gerindra itu juga membeberkan kecurangan di sejumlah TPS. Ia menyebut TPS 25 Desa Banjarnegara, Kecamatan Mertoduyan, Kabupaten Magelang, Jateng. Di C1 Suara Jokowi Maruf: 100, Prabowo Sandi: 76. Sementara, di web KPU Suara Jokowi Maruf 170, Prabowo Sandi 65.

Informasi serupa, yaitu di-mark up-nya raihan suara Jokowi-Ma'ruf dan didiskonnya suara Prabowo-Sandi, inilah yang dalam beberapa hari terakhir diviralkan oleh akun-akun pendukung Prabowo-Sandi di sejumlah jejering sosial.

Tudingan anggota Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi dan juga para pendukung pasangan nomor urut 02 tersebut sebenarnya tidak lebih dari omongan kosong belaka yang begitu mudah dipatahkan, bahkan oleh kelompok masyarakat awam sekalipun.

Pertama, proses Pemilu 2019, Pileg 2019 dan Pilpres 2019, diawasi oleh seluruh kontestan pemilu beserta tim suksesnya, dari mulai caleg DPRD Kota/Kabupaten berserta timsesnya, caleg provinsi berserta timsesnya, caleg DPR RI berserta timsesnya, calon anggota DPD berserta timsesnya, dan juga pasangan capres-cawapres berserta timsesnya.

Di luar para kontentan pemilu, Pemilu Serentak 2019 juga diawasi oleh Bawaslu dan Panwaslu. Belum lagi sejumlah lembaga-lembaga independen. Bahkan media pun termasuk di dalamnya. Dan, pastinya juga masyarakat.

Dengan adanya sekian pasang mata yang menyaksikan setiap proses dalam setiap tahapan pemilu, mungkinkah ada pihak-pihak yang mencurangi pemilu?

Kedua, proses pemungutan dan penghitungan suara disaksikan oleh seluruh elemen masyarakat, bukan hanya saksi kontestan pemilu. Pada setiap tahap pemilu di TPS, setiap saksi yang hadir membubuhkan tanda tangannya pada dokumen C1. Sementara, hasil penghitungan suara di TPS yang tercatat pada lembar C1 Plano bisa didokumentasikan oleh segenap lapisan masyarakat dengan cara memfotonya.

Demikian juga pada tahap-tahap pemilu berikutnya, di mana setiap perwakilan kontestan pemilu menyaksikan proses rekapitulasi suara. Misalnya, rekap suara di kelurahan, di kecamatan, di kota/kabupaten, di tingkat provinsi, sampai ke tingkat nasional.

Dalam setiap tahapan pemilu tersebut, setiap perwakilan kontestas pemilu diberi copy hasil rekap. Dan, pada setiap copy seluruh perwakilan kontestan yang hadir membubuhkan tanda tangannya, kecuali jika perwakilan kontestan saksi tersebut menolak hasil rekap suara. Jika ada penolakan, perwakilan kontestan pemilu dapat menyampaikan alasannya dan dibuatkan berita acaranya.

Maka muncullah pertanyaan yang paling sederhana, apakah pada saat pemungutan sampai penghitungan suara di tingkat TPS pada 17 April 2019 ada saksi atau perwakilan kontestan pemilu yang menolak menandatangani Form C1?

Sampai tulisan ini diunggah, jawabannya TIDAK ADA.

Artinya, seluruh saksi yang mewakili kontestan atau peserta pemilu tidak menemukan adanya bentuk kecurangan selama tahap pencoblosan sampai tahap penghitungan suara. Dalam artian, tidak ada kecurangan yang dilakukan oleh pihak mana pun selama tahap pemungutan sampai penghitungan suara.

Kemudian, pada tahap rekap di tingkat kelurahan, Form C1 yang didapat dari setiap TPS di-scan dan diinput ke dalam sistem computer KPU. Di sinilah kemudian terjadi kesalahan input yang mengakibatkan perubahan perolehan suara kedua pasangan calon.

Tetapi, kesalahan input tersebut tetap tidak dapat mengubah hasil perolehan suara. Sebab, perolehan suara yang dinyatakan sah hanya yang dihitung secara manual. Penghitungan manual ini didapat hasil perolehan suara yang tercatat pada lembaran kertas dan ditandatangani oleh perwakilan peserta pemilu. Bukan dari proses komputerisasi.

Dengan demikian, sekalipun menurut hasil penghitungan elektronik suara Jokowi-Ma'ruf melonjak hingga ratusan juta suara dan sebaliknya raupan suara Prabowo-Sandi minus ratusan juta suara. Tetap saja tidak mempengaruhi perolehan suara masing-masing paslon.

Gampangnya, perolehan suara yang ditetapkan sah atau resmi dalam pemilu hanyalah yang tertulis secara dengan tangan pada selembar kertas.

Selanjutnya, tuduhan jika Komisi Pemilihan Umum sudah mulai curang dan mencoba melakukan penyamaan hitung suara dengan hasil quick count lembaga survei pun terbantahkan dengan sendirinya.

Tuduhan Arief tentang KPU yang didikte oleh lembaga survey ini sebenarnya mirip dengan tudingan serupa yang dilontarkan pendukung Prabowo-Hatta Rajasa pada Pilpres 2014

Ketika itu, saksi ahli pada sidang PHPU di MK, Dwi Martono. Dwi yang juga mantan anggota KPU Kota Batu, Provinsi Jawa Timur, periode 2003-2009 menuding KPU terpengaruh hasil survei dalam mengambil keputusan terkait pemenang pilpres tersebut.

"Pemilu ini didukung oleh survei ilmiah, yang digunakan untuk menggiring opini tentang pemenang pemilu," kata Dwi yang mengaku fokus mengkaji permasalahan pemilu dan intens di bidang sistem teknologi pemilu dan telah mencoba untuk membuktikan adanya scientific criminal dalam pemilu. "Sehingga, seolah-olah hasil KPU didikte oleh lembaga survei atau sebenarnya memang begitu sehingga pemilu jadi berat sebelah," tegasnya.

Survei ilmiah yang dimaksud Dwi di sini jelas adalah quick count. Ini sesuai dengan penjelasannya yang mengatakan, beredar banyak informasi mengenai hasil pilpres yang membingungkan masyarakat pada 9-22 Juli 2014.

Publikasi survei sebelum hari-H pilpres memang bisa digunakan untuk menggiring pemilih untuk mencoblos pasangan yang dinyatakan sebagai pemenang menurut versi survei. Dalam kasus ini hasil survei bisa digunakan sebagai alat propaganda. Semakin masif penyebaran hasil survei semakin banyak pemilih yang dipengaruhi. Jika survei itu dilakukan tanpa metodologi yang benar bisa disebut sebagai tindakan kriminal. Tapi, kalau metodologinya benar tidak bisa rilis survei dituding sebagai kriminal.

Tapi, karena yang dimaksud Dwi ketika itu adalah quick count jelas tuduhan tersebut tidak benar.Sebab, data quick count didapat dari hasil penghitungan suara di TPS sample. Jadi lembaga survei baru bisa mendapat data yang kemudian diolah sebagai hasil quick count setelah TPS selesai melakukan penghitungan suara.

Singkatnya, data quick count yang dirilis oleh sejumlah lembaga survey bersumber dari KPU sendiri. Jadi, di mana logikanya KPU didikte oleh lembaga survei.

Missalnya Purwanto. Ia mengatakan terjadi penambahan Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb) di TPS 23, Desa Kepuh Kiriman, Waru, Sidoarjo. Menurut dia, di TPS itu DPKTb berjumlah 130, atau setengah dari jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang berjumlah 260.

Tetapi, saat ditanya hakim MK, "Kalau jumlah DPT hanya 260, dan kertas suara dilebihkan dua persen, cuma bertambah berapa itu? Dapet surat suara darimana 130 yang lain itu. Itu ganjil juga dan tidak sesuai. Coba nanti KPU cek, apa betul keterangan Purwanto ini, karena kalau betul, jumlah surat suara lebihnya sampai 50 persen," tambahnya.

Purwanto yang tidak ada di lokasi TPS pun tidak tahu berapa jumlah surat suara yang ada di TPS itu. Kalau saja Purwanto memahami Formulir C1 pasti ia tidak akan memberikan kesaksian ngawur seperti itu. Sebab, pada lembar ke-3 Formulir C1 memuat Data Pemilih, Data Pengguna Hak Pilih, Data Penggunaan Surat Suara, dan Data Jumlah Suara Sah dan Tidak Sah.

Purwanto hanyalah salah seorang relawan Prabowo-Hatta yang sebenarnya tidak memenuhi persyaratan untuk dihadirkan sebagai saksi dalam siding di MK. Sialnya, bagi Prabowo, hampir semua saksi yang dihadirkan tidak memiliki kapasitas sebagai saksi.

Maka, terkait tuduhan kecurangan Pilpres 2019 ini, jika kembali terpengaruh oleh para pendukungnya, maka Prabowo akan mendapati dj vu seperti yang dialaminya saat Pilpres 2014. Lantaran dalam sidang gugatan hasil pilpres, hampir seluruh saksi yang dihadirkan paslon Prabowo tidak dapat membuktikan tuduhannya alias omong doang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun