Ketika itu, saksi ahli pada sidang PHPU di MK, Dwi Martono. Dwi yang juga mantan anggota KPU Kota Batu, Provinsi Jawa Timur, periode 2003-2009 menuding KPU terpengaruh hasil survei dalam mengambil keputusan terkait pemenang pilpres tersebut.
"Pemilu ini didukung oleh survei ilmiah, yang digunakan untuk menggiring opini tentang pemenang pemilu," kata Dwi yang mengaku fokus mengkaji permasalahan pemilu dan intens di bidang sistem teknologi pemilu dan telah mencoba untuk membuktikan adanya scientific criminal dalam pemilu. "Sehingga, seolah-olah hasil KPU didikte oleh lembaga survei atau sebenarnya memang begitu sehingga pemilu jadi berat sebelah," tegasnya.
Survei ilmiah yang dimaksud Dwi di sini jelas adalah quick count. Ini sesuai dengan penjelasannya yang mengatakan, beredar banyak informasi mengenai hasil pilpres yang membingungkan masyarakat pada 9-22 Juli 2014.
Publikasi survei sebelum hari-H pilpres memang bisa digunakan untuk menggiring pemilih untuk mencoblos pasangan yang dinyatakan sebagai pemenang menurut versi survei. Dalam kasus ini hasil survei bisa digunakan sebagai alat propaganda. Semakin masif penyebaran hasil survei semakin banyak pemilih yang dipengaruhi. Jika survei itu dilakukan tanpa metodologi yang benar bisa disebut sebagai tindakan kriminal. Tapi, kalau metodologinya benar tidak bisa rilis survei dituding sebagai kriminal.
Tapi, karena yang dimaksud Dwi ketika itu adalah quick count jelas tuduhan tersebut tidak benar.Sebab, data quick count didapat dari hasil penghitungan suara di TPS sample. Jadi lembaga survei baru bisa mendapat data yang kemudian diolah sebagai hasil quick count setelah TPS selesai melakukan penghitungan suara.
Singkatnya, data quick count yang dirilis oleh sejumlah lembaga survey bersumber dari KPU sendiri. Jadi, di mana logikanya KPU didikte oleh lembaga survei.
Missalnya Purwanto. Ia mengatakan terjadi penambahan Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb) di TPS 23, Desa Kepuh Kiriman, Waru, Sidoarjo. Menurut dia, di TPS itu DPKTb berjumlah 130, atau setengah dari jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang berjumlah 260.
Tetapi, saat ditanya hakim MK, "Kalau jumlah DPT hanya 260, dan kertas suara dilebihkan dua persen, cuma bertambah berapa itu? Dapet surat suara darimana 130 yang lain itu. Itu ganjil juga dan tidak sesuai. Coba nanti KPU cek, apa betul keterangan Purwanto ini, karena kalau betul, jumlah surat suara lebihnya sampai 50 persen," tambahnya.
Purwanto yang tidak ada di lokasi TPS pun tidak tahu berapa jumlah surat suara yang ada di TPS itu. Kalau saja Purwanto memahami Formulir C1 pasti ia tidak akan memberikan kesaksian ngawur seperti itu. Sebab, pada lembar ke-3 Formulir C1 memuat Data Pemilih, Data Pengguna Hak Pilih, Data Penggunaan Surat Suara, dan Data Jumlah Suara Sah dan Tidak Sah.
Purwanto hanyalah salah seorang relawan Prabowo-Hatta yang sebenarnya tidak memenuhi persyaratan untuk dihadirkan sebagai saksi dalam siding di MK. Sialnya, bagi Prabowo, hampir semua saksi yang dihadirkan tidak memiliki kapasitas sebagai saksi.
Maka, terkait tuduhan kecurangan Pilpres 2019 ini, jika kembali terpengaruh oleh para pendukungnya, maka Prabowo akan mendapati dj vu seperti yang dialaminya saat Pilpres 2014. Lantaran dalam sidang gugatan hasil pilpres, hampir seluruh saksi yang dihadirkan paslon Prabowo tidak dapat membuktikan tuduhannya alias omong doang.