Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Di Kancah Media, Prabowo Ungguli Jokowi

10 Desember 2018   11:52 Diperbarui: 11 Desember 2018   12:11 4302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.analyticsindiamag.com/

Endorsing Jokowi”. Begitu judul editorial The Jakarta Post yang dipublikasikan pada  4 Juli 2014.

“There is no such thing as being neutral when the stakes are so high. While endeavoring as best we can to remain objective in our news reporting, our journalism has always stood on the belief of the right moral ground when grave choices must be made,” tulis Jakarta post pada paragraf pertamanya.

Dukungan kepada Jokowi yang dideklarasikan oleh media berbahasa Inggris hanya lima hari jelang hari pencoblosan Pilpres 2014 tersebut sontak mengejutkan publik. Ujung-ujungnya, keraguan terhadap netralitas media pun semakin menguat.

Belakangan isu netralitas media kembali booming setelah Prabowo Subianto meluapkan kemarahannya kepada wartawan yang coba mengerubutinya. Katanya pers telah memanipulasi demokrasi. Capres nomor urut 02 ini pun kemudian meyentil wartawan soal jumlah peserta reuni 212 yang dihadirinya.

"Hebatnya media-media dengan nama besar dan katakan dirinya objektif padahal justru mereka bagian dari usaha memanipulasi demokrasi. Kita bicara yang benar ya benar, yang salah ya salah, mereka mau katakan yang 11 juta hanya 15 ribu. Bahkan ada yang bilang kalau lebih dari 1.000 minta apa itu terserah dia," kata Prabowo pada 5 November 2018 sebagaimana dikutip Tribunnews.com.

Gegara kemarahan mantan Danjen Kopassus tersebut, penghakiman terhadap media mainstream pun berlontaran. Media dianggap berpihak kepada Jokowi dan tidak memihak Prabowo. Bukan saja itu, media pun dituding hanya mengincar kesalahan Prabowo.

"Ada wartawan enggak di sini, mereka ke sini nungguin gue salah ngomong. Mereka, saya katakan, kelompok itu, menunggu gue salah ngomong kemudian digoreng lagi, bicara emak-emak engga boleh, tampang engga boleh," kata Prabowo (Sumber: Merdeka.com).

Kemarahan Prabowo kepada media tersebut sepertinya salah besar. Mungkin Prabowo kurang mengamati jika media pun memberikan informasi-informasi yang berpihak kepada dirinya.

Buktinya adalah artikel Benarkah Prabowo Terkait Saracen?” dan “Ada Kejanggalan pada Tuduhan La Nyalla ke Prabowo”. Informasi yang digunakan oleh kedua artikel yang “menguntungkan” Prabowo tersebut seluruhnya diambil dari media mainstream, bukan media abal-abal alias ecek-ecek.

Dan, sebenarnya, isi media tergantung pada pembacanya, entah itu keluasan wawasan, “panjang-pendeknya sumbu”, latar belakang sosial-ekonomi, dan mungkin masih ada lagi yang lainnya.

Contoh berita “Kedubes AS: Prabowo dan Soeharto Terlibat Penculikan Aktivis”. Bagi yang bersumbu pendek, baru membaca judulnya aja sudah teriak “hoax”, “bohong”, “dasar media cebong,” dan lainnya. Tetapi, dengan sedikit saja memanjangkan sumbu, berita yang ditayangkan CNNIndonesia pada 25 Juli 2018 justru membersihkan nama Prabowo dari kasus penculikan aktivis 1998.

Perhatikan, berita tersebut bersumber dari dokumen rahasia Kedutaan Besar AS yang dirilis National Security Archive, The George Washington University, tertanggal 7 Mei 1998. Dokumen itu berisi percakapan antara staf politik Kedubes AS dengan seorang 'pemimpin organisasi mahasiswa' yang membahas soal hilangnya sejumlah aktivis di penghujung masa jabatan Presiden Soeharto.

"Seorang pemimpin organisasi mahasiswa mengatakan kepada staf politik bahwa dia mendapat informasi dari seorang sumber Kopassus bahwa hilangnya (para aktivis) dilakukan oleh 'Grup Empat' Kopassus dibawah komando Chairawan," ungkap dokumen tersebut.

Jadi jelas, dokumen tersebut tidak berdasarkan pada fakta, melainkan hanya bersumber dari pengakuan pimpinan organisasi mahasiswa. Dalam klasifikasi Wikileaks, dokumen yang informasinya bersumber dari sebuah percakapan dimasukkan ke dalam unconfirmed rumour. Dengan demikian, keterlibatan Prabowo dalam kasus penculikan aktivis 1998 hanyalah sebatas rumor alias gosip.

Karenanya, dalam menghadapi pemberitaan ini seharusnya Gerindra membenarkan isi dokumen tersebut dengan menyoroti sisi kerumorannya. Bukan seperti Desmon J Mahesa malah menyebut dokumen tersebut hoax.

"Dokumen yang diekspos ini beneran ada apa khayalan? Kalau itu khayalan, ini kan nggak ada artinya. Yang ada nanti detik bisa dituntut. Itu dulu. Yang gue khawatir itu adalah dokumen yang kamu jelasin itu hoax. Itu apa benar dirilis ada apa cuma karangan orang?" kata Desmond pada 25 Juli 2018 (Sumber: Detik.com).

Jadi jelas, netralitas media bukan ada pada obyektivitas muatannya, tetapi ada pada karakter konsumennya. Dengan begitu, kemarahan Prabowo kepada media merupakan cerminan karakternya sebagai konsumen berita.

Jika melongok rating media berita online versi Alexa, tiga media yang dipandang pro-Jokowi, sepert Detik.com, Tribunnews.com, Tempo.co, Okezone.com berderet di empat besar.  

Dari Politcawave, jumlah pemberitaan Jokowi-Ma’ruf Amin jauh di atas Prabowo-Sandiaga Uno. Tribunnews.com, misalnya, sampai 10 Desember 2018 pukul 11.09 WIB memberitakan Jokowi-Ma’ruf sebanyak 531 kali. Sedangkan Prabowo-Sandi hanya 254 kali.

Laman Politicawave (Sumber: Foto Layar)
Laman Politicawave (Sumber: Foto Layar)
Tapi, seberapa besar pengaruh dukungan media berita online bagi Jokowi dan Prabowo. Jika bercermin pada Pilpres Amerika Serikat 2016, dukungan media mainstream tidak begitu penting. Hanya dengan disokong dua media, Donald Trump, capres yang diusung Partai Republik, mampu mengalahkan rivalnya, Hillary Clinton dari Partai Demokrat yang didukung 57 media.

Dalam Pilpres AS yang disebut-sebut sebagai yang terkotor dalam sejarah AS, Washington Post dan New York Times dinilai terang-terangan mendukung Hillary.

Trump mengaku kemenangannya tersebut tak terlepas dari peran netizen pendukungnya dalam memanfaatkan media sosial.

"Perang media sosial sangat besar. Dan saya rasa media sosial memiliki kekuatan lebih masif ketimbang uang kampanye yang mereka [pihak Hillary Clinton] keluarkan. Di taraf tertentu, saya membuktikannya," ungkap Trump (Sumber: CNNIndonesia).

Di front medsos, jumlah pendukung Prabowo terlihat lebih besar ketimbang netizen pendukung Jokowi. Selain itu, warganet pendukung Prabowo pun dikenal lebih militan dan kompak. Hal ini terlihat dari kemenangan Prabowo disetiap polling online, meski jajak pendapat tersebut digelar oleh akun medsos pendukung Jokowi.

Demikian juga dalam perang tagar, dari tangkapan Drone Emprit, dalam 30 hari terakhir tagar #2019GantiPresiden jauh mengungguli tagar #01JokowiLagi.

Belum diketahui secara pasti jumlah netizen pendukung kedua belah pihak. Namun, pada 2011 Anis Matta menyebut partainya menargetkan 500 ribu cyber army. Pasukan khusus sosmed ini digerakkan melalui DPW masing-masing. Selain itu, mantan Presiden PKS ini juga mengklaim sebagian kadernya sudah terdidik, sehingga mempermudah operasional kampanye lewat internet.

Jika pada 2011 saja PKS, salah satu parpol pengusung Prabowo, sudah memiliki ratusan ribu cyber army, bisa diperkirakan besarnya jumlah pasukan maya partai Islam itu pada Pemilu 2019 ini. Selain PKS, Prabowo pun mendapat dukungan sejumlah penggiat media, baik itu yang berseragam partai pengusung maupun ormas pendukung.

Laman Press.droneemprit.id (Sumber: Foto layar)
Laman Press.droneemprit.id (Sumber: Foto layar)
Hizbut Tahrir Indonesia, misalnya, ormas yang menjadi kepanjangan tangan Hizbut Tahrir ini dikenal memiliki kemampuan dalam penyebaran propaganda lewat media sosial dan situs berita online.

Dengan kekuatan besar di ranah media sosial yang dimilikinya itu, sebenarnya Prabowo tidak perlu mencemaskan keberpihakan media mainstream.

Dan, sebagaimana Trump, Prabowo pun memiliki narasi kampanye yang mengkhawatirkan. Bedanya, jika kubu Trump menarasikan adanya ancaman dari umat Islam terhadap warga AS, kubu Prabowo menarasikan adanya ancaman pemerintah Jokowi terhadap umat Islam. Kubu Prabowo sejak lama telah mempropagandakan adanya pendzoliman terhadap umat Islam Indonesia.

Justru dalam membangun narasi, netizen pendukung Jokowi terlihat melempem. Contohnya, tidak ada satu pun narasi yang mampu mendegradasi reuni 212.

Warganet pendukung Jokowi hanya mampu mengais-ngais isu jumlah peserta reuni, antrean peserta reuni di Starbuck, tata cara peribadatan sholat peserta reuni yang dianggap ngawur, sampai kesalahan Prabowo saat mengucapkan gelar nabi.   

Ada fakta menarik yang terjadi saat Pilpres AS 2016 dengan Pilpres 2014 di Indonesia. Jelas hari pemilihan sentimen positif terhadap Trump di media sosial cenderung meningkat.

Dengan mengutip hasil analisis 4C Insight, The Wall Street Journal menyebut dukungan terhadap Trump melalui layanan Facebook dan Twitter mencapai puncaknya sejak awal Oktober hingga 7 November. Komparasi sentimen positif terhadap Trump dibanding Clinton pada masa itu yakni 58 persen dan 48 persen.

Sementara, lembaga survei PoliticaWave yang memetakan sentimen pengguna media sosial di Indonesia pada Pilpres 2014 memantau percakapan mengenai Jokowi 3,5 kali lebih positif dibandingkan pasangan Prabowo.

Menariknya, dalam pantauan Politicawave, sampai 11 Desember 2018, perbandingan net sentimen antara Jokowi dengan Prabowo hampir sama dengan 4 tahun lalu. Jokowi dengan 2.706. Sedang Prabowo 1.193.

Hebatnya lagi, bagi Prabowo, bukan hanya di medsos saja capres nomor urut 02 ini mengungguli Jokowi. Menurut rilis Nielsen pada 2017, rating TV One yang dianggap pro-Prabowo adalah 7,5. Sementara TV berita yang dianggap memihak Jokowi yaitu Metro TV hanya berating 1,3. Sedangkan Kompas TV pun hanya berating 1,2.

Berdasar data tersebut, jelas jika Prabowolah yang merajai segmen pemirsa TV berita. Karenanya, pemboikotan kubu Prabowo terhadap Metro TV bisa dibilang hanya sebagai wujud ketidakelokan politik yang dinarsiskan.

Dengan dua kekuatan media sosial dan TV berita nasional yang dimilikinya,  sangat naif jika Prabowo mempersoalkan keberpihakan media dalam Pemilu 2019. Apalagi sampai meluapkan kemarahannya kepada media yang dianggapnya tidak memuat acara temu kangen alumni 212 pada 2 Desember 2018 lalu.

Artikel lain

 7 Alasan Prabowo Seharusnya Tak Hadiri Reuni 212

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun