Perhatikan, berita tersebut bersumber dari dokumen rahasia Kedutaan Besar AS yang dirilis National Security Archive, The George Washington University, tertanggal 7 Mei 1998. Dokumen itu berisi percakapan antara staf politik Kedubes AS dengan seorang 'pemimpin organisasi mahasiswa' yang membahas soal hilangnya sejumlah aktivis di penghujung masa jabatan Presiden Soeharto.
"Seorang pemimpin organisasi mahasiswa mengatakan kepada staf politik bahwa dia mendapat informasi dari seorang sumber Kopassus bahwa hilangnya (para aktivis) dilakukan oleh 'Grup Empat' Kopassus dibawah komando Chairawan," ungkap dokumen tersebut.
Jadi jelas, dokumen tersebut tidak berdasarkan pada fakta, melainkan hanya bersumber dari pengakuan pimpinan organisasi mahasiswa. Dalam klasifikasi Wikileaks, dokumen yang informasinya bersumber dari sebuah percakapan dimasukkan ke dalam unconfirmed rumour. Dengan demikian, keterlibatan Prabowo dalam kasus penculikan aktivis 1998 hanyalah sebatas rumor alias gosip.
Karenanya, dalam menghadapi pemberitaan ini seharusnya Gerindra membenarkan isi dokumen tersebut dengan menyoroti sisi kerumorannya. Bukan seperti Desmon J Mahesa malah menyebut dokumen tersebut hoax.
"Dokumen yang diekspos ini beneran ada apa khayalan? Kalau itu khayalan, ini kan nggak ada artinya. Yang ada nanti detik bisa dituntut. Itu dulu. Yang gue khawatir itu adalah dokumen yang kamu jelasin itu hoax. Itu apa benar dirilis ada apa cuma karangan orang?" kata Desmond pada 25 Juli 2018 (Sumber: Detik.com).
Jadi jelas, netralitas media bukan ada pada obyektivitas muatannya, tetapi ada pada karakter konsumennya. Dengan begitu, kemarahan Prabowo kepada media merupakan cerminan karakternya sebagai konsumen berita.
Jika melongok rating media berita online versi Alexa, tiga media yang dipandang pro-Jokowi, sepert Detik.com, Tribunnews.com, Tempo.co, Okezone.com berderet di empat besar. Â
Dari Politcawave, jumlah pemberitaan Jokowi-Ma’ruf Amin jauh di atas Prabowo-Sandiaga Uno. Tribunnews.com, misalnya, sampai 10 Desember 2018 pukul 11.09 WIB memberitakan Jokowi-Ma’ruf sebanyak 531 kali. Sedangkan Prabowo-Sandi hanya 254 kali.
Dalam Pilpres AS yang disebut-sebut sebagai yang terkotor dalam sejarah AS, Washington Post dan New York Times dinilai terang-terangan mendukung Hillary.
Trump mengaku kemenangannya tersebut tak terlepas dari peran netizen pendukungnya dalam memanfaatkan media sosial.