"Perang media sosial sangat besar. Dan saya rasa media sosial memiliki kekuatan lebih masif ketimbang uang kampanye yang mereka [pihak Hillary Clinton] keluarkan. Di taraf tertentu, saya membuktikannya," ungkap Trump (Sumber: CNNIndonesia).
Di front medsos, jumlah pendukung Prabowo terlihat lebih besar ketimbang netizen pendukung Jokowi. Selain itu, warganet pendukung Prabowo pun dikenal lebih militan dan kompak. Hal ini terlihat dari kemenangan Prabowo disetiap polling online, meski jajak pendapat tersebut digelar oleh akun medsos pendukung Jokowi.
Demikian juga dalam perang tagar, dari tangkapan Drone Emprit, dalam 30 hari terakhir tagar #2019GantiPresiden jauh mengungguli tagar #01JokowiLagi.
Belum diketahui secara pasti jumlah netizen pendukung kedua belah pihak. Namun, pada 2011 Anis Matta menyebut partainya menargetkan 500 ribu cyber army. Pasukan khusus sosmed ini digerakkan melalui DPW masing-masing. Selain itu, mantan Presiden PKS ini juga mengklaim sebagian kadernya sudah terdidik, sehingga mempermudah operasional kampanye lewat internet.
Jika pada 2011 saja PKS, salah satu parpol pengusung Prabowo, sudah memiliki ratusan ribu cyber army, bisa diperkirakan besarnya jumlah pasukan maya partai Islam itu pada Pemilu 2019 ini. Selain PKS, Prabowo pun mendapat dukungan sejumlah penggiat media, baik itu yang berseragam partai pengusung maupun ormas pendukung.
Dengan kekuatan besar di ranah media sosial yang dimilikinya itu, sebenarnya Prabowo tidak perlu mencemaskan keberpihakan media mainstream.
Dan, sebagaimana Trump, Prabowo pun memiliki narasi kampanye yang mengkhawatirkan. Bedanya, jika kubu Trump menarasikan adanya ancaman dari umat Islam terhadap warga AS, kubu Prabowo menarasikan adanya ancaman pemerintah Jokowi terhadap umat Islam. Kubu Prabowo sejak lama telah mempropagandakan adanya pendzoliman terhadap umat Islam Indonesia.
Justru dalam membangun narasi, netizen pendukung Jokowi terlihat melempem. Contohnya, tidak ada satu pun narasi yang mampu mendegradasi reuni 212.
Warganet pendukung Jokowi hanya mampu mengais-ngais isu jumlah peserta reuni, antrean peserta reuni di Starbuck, tata cara peribadatan sholat peserta reuni yang dianggap ngawur, sampai kesalahan Prabowo saat mengucapkan gelar nabi. Â Â
Ada fakta menarik yang terjadi saat Pilpres AS 2016 dengan Pilpres 2014 di Indonesia. Jelas hari pemilihan sentimen positif terhadap Trump di media sosial cenderung meningkat.
Dengan mengutip hasil analisis 4C Insight, The Wall Street Journal menyebut dukungan terhadap Trump melalui layanan Facebook dan Twitter mencapai puncaknya sejak awal Oktober hingga 7 November. Komparasi sentimen positif terhadap Trump dibanding Clinton pada masa itu yakni 58 persen dan 48 persen.