Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Begini Cara Kader Hizbut Tahrir Bisa Masuk Surga

5 November 2018   07:30 Diperbarui: 5 November 2018   10:56 1463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah melewati perjalanan jauh dan melelahkan sampailah di pintu gerbang surga.

Tak lama menunggu sesosok makhluk tinggi besar datang mendekat.

"Selamat datang, saudaraku ...," makhluk itu melirik kertas yang dipegang tangan kanannya, "Gatot Swandito."

"Sama-sama," sahutku cepat.

"Silakan masuk ke dalam surga yang telah lama menantikan kedatanganmu, Saudaraku."

"Maaf," kataku, "aku tidak mau masuk ke dalam kalau tidak bersama dengan anjing itu," sambungku sambil menunjuk seekor anjing yang sedang rebahan beberapa meter dari tempatku berdiri. "Dengan kata lain, kalau anjing itu tidak boleh masuk, lebih baik aku tidak masuk surga."

Kulihat sudut kiri bibir makhluk itu mengembang lebar. Lalu ia menyorongkan mukanya mendekati wajahku.

"Saudaraku, kamu itu bukan Yudhistira. Kamu itu bukan Puntadewa. Dan, anjing itu juga bukan jelmaan Dewa Brahma," katanya. Senyumnya pun mengembang. "Jadi kamu jangan coba-coba gegayaan. Dan, jangan coba-coba ngeyel."

Tetiba matanya menyorot galak. "Sekarang juga kamu masuk atau tidak sama sekali."

"Baiklah kalau begitu," balasku sambil melangkah menuju pintu yang terbuka lebar.

Lebar pintu itu hanya sekitar satu setengah meter dengan tinggi tidak lebih dari dua meter.

Sambil melewati pintu, kutepuk deretan huruf yang dipasang tepat di atas pintu. Deretan huruf itu bertuliskan "This is Surga".

Lepas dari gerbang surga, aku disambut    taman luas penuh dengan bunga, ada yang dan ada yang merah, semuanya indah.

Tetiba ...

"Ki Sanak, dari mana dan hendak kemana?"

Aku menoleh ke arah datangnya suara. Kulihat seorang pemuda berpakaian serba putih sedang duduk di atas cabang pohon mangga. Sambil cengar-cengir, ia menggaruk-garuk kepalanya yang diikat kain berwarna putih.

"Anak muda, aku baru sampai di surga ini," jawabku sambil memasang kuda-kuda, bersiaga menghadapi segala kemungkinan. "Perutku sudah keroncongan. Tunjukan di mana kedai yang paling murah dan tidak jauh dari sini."

"Oh itu kedainya Neng Raisa. Kira-kira empat lemparan batu dari tugu kota. Ki Sanak jalan saja lurus ke arah utara." jawab pemuda itu. "Paling tiga hisapan rokok sudah sampai di sana."

"Terima kasih, Anak Muda," sahutku.

Belum sempat aku menjura, pemuda itu sudah melompat berkelebat cepat meninggalkan tempat.

Tugu Kota ternyata ramai. Tugu itu bercat putih dan dibangun di tengah-tengah perempatan jalan.

Dari arah barat tugu kulihat rombongan orang berjalan di tengah jalan. Mereka mengacung-acungkan poster berwarna dasar putih dengan tulisannya yang berwarna hitam.

Ada poster bertuliskan "Harga BBM Naik: Khilafah Solusinya". Ada juga poster yang ditulisi " Tempe Setipis Kartu ATM: Khilafah Solusinya".

Rombongan itu terus berjalan melintasi kolong jembatan penyeberangan yang dipasangi papan iklan bertuliskan "Mual, Mules, Perih, Kembung: ... Prom*g Obatnya".

"Jangan-jangan ide ' Khilafah Solusinya' itu datang dari iklan obat mag," pikirku.

Dari rombongan pendemo keluar sesosok lelaki berambut tipis satu sentian. Matanya sipit. Kulitnya kuning. 

Dari dalam saku celananya lelaki itu mengeluarkan benda mirip smartphone. Lalu ia melakukan gerakan seperti orang sedang berpose untuk pemotretan sambil mengangkat benda mirip smartphone sejajar dengan kepalanya.

Sepertinya dia sedang selfie.

Rasa-rasanya wajah lelaki itu kukenal. "Kokoh Ustadz ... Kokoh Ustadz," panggilku. "Bukankah Kokoh itu ustad yang terkenal itu? Ustadz yang dikenal mengharamkan apa saja, termasuk selfie."

"Itu semua berkat media sosial. Tanpa itu saya ini bukan siapa-siapa."

"Oh ya, ngomong-ngomong sedang demo apa nih?"

"Begini Akhi. Kami mendapat informasi kalau Gatot Swandito masuk surga pada hari ini." Ustadz bermata sipit itu memandangiku dari atas sampai bawah.

"Kenapa dengan Gatot?" tanyaku pura-pura tidak mengenal Gatot.

"Masa Akhi tidak tahu?" ujar ustadz yang tergabung dalam gerakan politik yang berencana mendirikan kekhilafahan ini. "Dia itu, Gatot itu, thagut, anti-Islam, kafir laknatullah, musailamah al kadzab dari Indonesia."

"Kok mirip dengan Khadafi seperti yang diunggah situs yang dikelola kader dakwah," kataku dalam hati. (Mengungkap Rahasia Kelam Sosok Qaddafi : Fir'aun, Toghut, Dan Musailamah Al-Kadzab Dari Libya (1))

"Hmmm...," gumamku.

Mendadak ada yang menggelitiki otakku. Mereka, para kader dakwah menyebut siapa pun yang dianggap musuhnya sebagai Firaun. Padahal, Firaun sendiri tidak pernah memaki musuh-musuhnya dengan "Firaun lo!".

"Bukan hanya itu, Akhi. Gatot juga punya banyak trik licik dalam membela aliran sesat Syiah," lanjutnya sambil menyebut satu persatu trik yang dimaksudnya.

Mendengar pembeberannya, aku hanya bisa tersenyum. Sebab trik-trik yang disebutkannya itu mirip dengan yang pernah ditudingkan kader dakwah kepada Habib Rizieq Shihab (Inikah trik-trik Habib RS dalam membela aliran sesat Syi'ah?)

"Kalau Gatot seperti itu, bagaimana bisa dia masuk surga?"

"Itulah yang kami tidak tahu. Makanya  kami demo. Soalnya kami yakin ini adalah konspirasi jahat zionis, Freemason, Illuminati, asing, aseng, asong, PKI, ...."

"Kalau Kokoh Ustadz dan kader dakwah lainnya sendiri bagaimana bisa masuk surga," tanyaku penasaran.

"Oh, kalau itu gampang sekali," jawab Kokoh Ustadz sambil mengambil pose lantas memotret dirinya sendiri. "Itu karena kami jago nyamar. Di dunia kami nyamar dengan membawa-bawa bendera hitam yang kami tulisi dengan kalimat tauhid. Dengan begitu banyak orang yang percaya kalau kami adalah kader dakwah, pejuang Islam, dan lainnya."

"Terus ..."

"Nah, untuk bisa masuk surga, kami tinggal menyamar dengan mengibarkan bendera NU dan Banser."

"Dasar penyamun ...."

(Cemburu) Dan, Aku pun Setengah Mati Membenci Habibie

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun