Dalam soal pengumpulan informasi dan mengolahnya, Wiranto bukanlah sosok yang bisa dipandang sebelah mata. "Selamatnya" Wiranto dari konflik 1998 merupakan bukti nyata atas kemampuan dalam mengumpulkan dan mengolah informasi.
Bagi Wiranto yang pada saat reformasi bergulir memegang tongkat komando ABRI, keakuratan informasi menjadi kunci atas tindakan-tindakan yang harus diambilnya.
Dalam situasi di mana tidak jelas lagi siapa kawan siapa lawan, sedikit saja kesalahan pada informasi atau salah dalam mengolah data, maka sejarah perjalan bangsa ini tidak bakal seperti sekarang ini.
Bahkan, sebagai pemain kunci 1998, keterlambatan atas pasokan dan olahan informasi dapat mengakibatkan kerusakan fatal. Ketepatan Wiranto yang datang mendahului Prabowo Subianto ke Cendana untuk menemui Presiden Soeharo menjadi buktinya.
Karenaya tidak mengherankan jika dalam situasi politik tanah ar seperti sekarang ini, Wiranto mendapat kepercayaan sebagai Menko Polhukam.
Lantas, apakah mungkin hanya soal pengadaan senjata saja Wiranto tidak berhasil mendapatkan informasi utuh sehingga tidak mengetahui rencana kedatangan persenjataan di Bandara Soekarno Hatta?
Bagaimana pun juga, Gatot Nurmantyo adalah yunior dari Wiranto. Keduanya pun menapaki puncak karir kemiliterannya di jalur yang sama. Baik Gatot maupun Wiranto sama-sama menjabat Pangkostrad yang berlanjut dengan memangku jabatan KSAD sebelum kemudian menjadi panglima angkata bersenjata di republik ini.
Jika saja data yang dikeluarkan oleh Wiranto sama dengan data tentang persenjataan milik Polri yang ditahan oleh BAIS, sudah pasti serangan kepada Gatot akan semakin menggila. Stempel penyebar hoax sudah pasti dilekatkan pada Gatot Nurmantyo. Bebulian akan semakin menjadi-jadi.
Saat berlangsungnya referendum Timor Timur, Wiranto yang saat itu memegang tongkat komando tertinggi ABRI sempat merasakan perihnya mendapat serangan, bukan saja dari media nasional, tetapi juga media internasional.
CNN misalnya. Media internasional ini menayangkan rekaman Wiranto saat menyanyikan lagu lawas "Feeling"yang dipopulerkan oleh Morris Albert. Rekaman itu hanya ditayangkan setengah layar. Sementara setengaah lainnya ditampilkan rekaman seorang nenek yang tengah bersusah payah mendaki sebuah bukit kecil.
Sebagai senior dan purnawirawan TNI, Wiranto tidak mungkin membiarkan Gatot Nurmantyo "dilukai". Apalagi jika luka itu sampai menjalar ke institusi yang saat ini dikomandoi oleh Gatot.