Sore tadi, 14 Februari 2017, sebuah link melintas. Link itu merujuk ke
berita yang dipublikasikan oleh Sindonews pada Jumat, 10 Fenruari
2017. Berita itu diberi judul, “E-KTP Palsu Pakai Chip Dan Material
Asli”.
Begini beberapa poin penting dalam berita tersebut.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) meyakinkan sudah memiliki langkah mencegah
penggunaan e-KTP aspal pada hari pemungutan suara, 15 Februari nanti.
KPU juga menyebarkan surat edaran (SE) ke seluruh jajaran panitia
penyelenggara pemilu agar tidak kebobolan.
Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan Direktorat Jenderal (Ditjen)
Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri, walaupun data
identitas yang terdaftar berbeda dengan identitas di fisik kartu
kependudukan itu, e-KTP aspal dari Kamboja yang disita Bea Cukai
ternyata menggunakan chip asli yang digunakan Kemendagri.
Dari fakta
tersebut muncul dugaan server Kemendagri dibobol hingga data asli bisa
dimanfaatkan pihak yang tidak berkepentingan.
Selain chip asli, material e-KTP palsu tersebut sama persis dengan
yang asli. Kepastian ini diperoleh setelah Ditjen Dukcapil memeriksa
data melalui card reader.
Untuk menelusuri kasus yang kali pertama terjadi tersebut Ditjen
Dukcapil akan berkoordinasi dengan Bea Cukai dan Kepolisian RI.
“Nanti kami selidiki, bagaimana mereka bisa dapat material yang mirip
seperti itu. Bagaimana mereka dapat chip dengan data asli, pokoknya
semuanya akan kami selidiki. Begitu juga adanya dugaan orang dalam
yang membocorkan identitas,” katanya.
Oke, kasus sudah terjadi di depan mata. e-KTP palsu ternyata memiliki
chip dan material yang sama dengan e-KTP keluaran Kemendagri. Dengan
chip tersebut jelas e-KTP palsu akan terbaca oleh server.
Lebih menarik lagi adalah adanya dugaan orang dalam yang membocorkan
identas. Dari sini dapat disimpulkan kalau data pada e-KTP palsu sama
dengan data yang ada pada server. Artinya, ketika e-KTP palsu digesek
ke card reader, server akan membacanya dan mengirim notiffikasi kalau
e-KTP tersebut asli.
Lantas, dan ini yang terpenting, bagaimana KPU mengatasi masalah
penyebaran e-KTP palsu ini?
Komisioner KPU Hadar Nafid Gumay menyatakan telah memiliki langkah
mencegah penggunaan e-KTP ilegal pada hari pemungutan suara 15
Februari nanti. Salah satu yang dilakukan ialah mengecek warga yang
datang ke TPS hanya berbekal e-KTP dan tidak memiliki formulir C6
(pemberitahuan memilih).
Mereka (pengguna e-KTP) juga baru bisa dimasukkan dalam DPTb setelah
ada kecocokan dengan identitas lain. “Kami sarankan mengecek identitas
lain yang juga ada fotonya. Jadi kalau dia cocok sebetulnya tidak
perlu kami ragu juga,” ujar Hadar Nafis Gumay kemarin.
Kalau membaca pernyataan Haidar tersebut, jelas karena e-KTP bisa
dibaca oleh server dan data kependudukan antara e-KTP dan server pun
sama, maka satu-satunya cara tinggal mencocokkan wajah pemilih dengan
foto pada e-KTP. Artinya, setelah alat elektronik berperan dalam
fungsi pengecekkan data, selanjutnya mata manusia kembali mengambil
peran.
Tetapi, memang ada cara lain. Untuk itu langkah KPU ini harus diapresiasi.
Masalahnya, foto pada server belum tentu sama dengan wajah asli.
Masalah lainnya, TPS tidak memiliki alat untuk mendeteksi e-KTP palsu.
Kalau pun, alat itu disediakan di suatu tempat di luar TPS, maka saksi
dari setiap paslon harus juga dihadirkan, karena persoalan pengecekan
e-KTP terkait dengan perolehan suara.
Banyak yang mengatakan, “Berapa banyak sih pengguna e-KTP palsu?
Paling cuma puluhan ribu.” Mereka pun kemudian menegaskan kalau jumlah
sebanyak itu tidak mempengaruhi hasil pemilu.
Padahal, dalam pemilu one man one vote, di mana satu suara dapat
mempengaruhi hasil pemilu, jangankan ratusan ribu, satu suara pun
dapat membuat kontestas memenangi pemilu atau sebaliknya. Itulah
kenapa pemenang untuk Pilpres dan Pilgub DKI Jakarta, pemenang pemilu
harus mengantongi suara 50 % plus 1. Dan “1” pada “50 % plus 1”itu
sama dengan satu suara.
Namun demikian, ada informasi yang menarik dari berita tersebut.
Pertama, kasus pemalsua e-KTP ini baru pertama kali terjadi (atau
setidaknya terungkap), Kedua, adanya dugaan keterlibatan orang dalam.
Dari informasi tersebut, jelas kasus penggandaan e-KTP ini bukan saja
berpotensi menimbulkan gugatan pada hasil pemilu, tetapi juga harus
melibatkan pihak yang berwajib dalam pengusutannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H