Tapi, dengan kepercayaan 100 % atas klarifikasi Kemendagri, sejumlah artikel yang terkait kecurangan pemilu lewat penggandaan e-KTP tetap ditayangkan. Tentu saja, kepercayaan 100 % itu bertentangan dengan keyakinan para pendukung Ahok-Djarot. Lewat buzzer, akun-akun medsos, media arus utama, media abal-abal yang dimanfaatkan sebagai alat propaganda, pendukung Paslon Nomor 2 ngotot mengatakani informasi tersebt sebagai hoax.
Perlahan, media arus utama pun mulai membuka matanya. Satu persatu tulisan tentang penggandaan e-KTP diturunkan. Pada Rabu, 8 Februari 2017, sejumlah media menurunkan berita tentang pengiriman e-KTP aspal dari Vietnam lewat FedEx. Padahal, dalam artikel “Soal Isu Beredarnya E-KTP Aspal, Kemendargi, Dukcapil, Bawaslu dan Lainnya, Jangan Sembunyi Dibalik Kata "Hoax", ditulis kalau e-KTP aspal itu dikirim dari Kamboja tanpa menyebut nama perusahaan pengirimnya.
Tetapi, pada Kamis, 9 Febriari 2017, media mulai meralat isi dan judul beritanya. Setelah Sidak Komisi I DPR RI, diketahui bahwa negara pengirim e-KTP aspal adalah Kamboja, bukan Vietnam. Pada Jumat, 10 Februari 2017, Tempo.co merilis berita tentang sidak DPR RI ke Bea Cukai Soeta yang mendapati 36 e-KTP asal Kamboja. Tidak hanya itu, dalam sidak tersebut, DPR pun diberitakan mendapati 32 NPWP, 1 buku tabungan BCA, dan 1 kartu ATM BCA.
Kalau saja para pendukung Ahok-Djarot memiliki keahlian membaca yang cukup, seharusnya mereka justru melihat kalau isu ini merugikan mereka. Dan, seharusnya reaksi para Ahoker bukan ngotot membantah, tetapi justru malah mendorong pencarian kebenaran atas informasi tersebut. Karena reaksi Ahoker tersebut, malah mengesankan kalau pendukung Ahok seperti penjahat yang dipergoki sebelum perbuatannya dilakukan.
Tetapi, peredaran e-KTP ini pun yang disertai agenda politik tertentu, sebenarnya merugikan Paslon Nomor 1 dan Paslon Nomor 2, karena diinformasikan peredaran e-KTP ini dilakukan oleh etnis tertentu untuk memenangkan Ahok-Djarot. Padahal, setiap etnis dapat melakukan hal yang sama demi kemenangan salah satu Paslon. Sederhananya, saat kita mencurigai seseorang akan melakukan tindak kejahatan, maka orang lainlah yang akan melakukannya.
Sekarang, seluruh Timses seharusnya mewaspadai perdedaran e-kTP aspal ini. Carilah celah-celah pada aturan Pemilu yang dapat dijadikan pintu masuk bagi e-KTP palsu. Dan salah satunya, adalah Keputusan MK yang ditulis pada artikel “Inilah Kerancuan Keputusan MK yang Berpotensi Timbulkan Rusuh pada Pilgub DKI 2017”, Menurut Profesor Romli Atmasasmita, yang juga guru besar hukum pidana ini, artikel tersebut masuk akal. Karena logika dalam artikel itu memang masuk akal dan pelanggarnya bisa dipidanakan.
Lewat akun Twitter-nya @rajasundawiwaha yang dikirimkan ke @gatotswandito dan @kompasiana, Romli mengatakan, “masuk akal krn kecenderungan pemilih nakal bisa terjadi ygbpenting pengawas2 TPS.”
Semoga, pengawas-pengawas TPS yang dimaksud oleh Romli berbeda dengan pernyataan Ketua KPUD DKI Sumarmo yang diberitakan meminta warga untuk mengawasi TPS. Karena kalau berita itu benar, artinya setiap warga mendapatkan “legitimasi” untuk mengawasi TPS dan permintaan ini akan mendatangkan kecauan tersendiri pada saat pemilu berlangsung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H