Kalau buka Google dengan kata “sby disadap”, Banyak bermunculan berita-berita serta artikel-artikel yang mengarahkan pembacanya tentang penyadapan yang pernah dialami oleh Jokowi saat masih menjabat sebagai Gubernur DKI dan mantan Presiden SBY yang diopinikan sedang play victim dengan berpura-pura menjadi korban penyadapan.
Benarkah Jokowi pernah disadap? Dan benarkan SBY berpura-pura menjadi korban penyadapan untuk mencari simpati rakyat? Kalau membuka-buka berita lawas tentang penyadapan, ternyata ternyata Jokowi tidak ada berita tentang penyadapan Jokowi, sementara SBY memang diberitakan kalau nomor ponselnya disadap oleh mata-mata asing.
Jokowi memang ridak pernah disadap. Jadi kalau ada yang memberitakan kalau Jokowi menjadi korban penyadapan, maka itu sudah termasuk informasi hoax.
Coba perhatikan pernyataan Jokowi tentang penyadapan yang dipublikasikan oleh media pada 20 Februari 2014. Menurut Jokowi, ia mendapati ada 3 alat sadap di rumah dinasnya di Jl Taman Suropati, Menteng, Jakarta Pusat. Jokowi sendiri tak melaporkan hal itu ke aparat. Jokowi malah melaporkan ke PDIP, kini dia menganggap persoalan itu selesai.
“Curhat” Jokowi yang disampaikan kepada media ini ditegaskan oleh politisi PDIP Tjahjo Kumolo. Seperti yang diungkapkan oleh Jokowi, Tjahjo pun mengatakan ketiga alat sadap itu ditemukan di kamar tidur, ruang tamu pribadi, dan ruang makan yang biasa digunakan untuk rapat pada Desember 2013.
Kalau memang benar Jokowi menemukan tiga alat “sadap” di balaikota, seharusnya Jokowi menunjukkan alat itu kepada media, atau setidaknya melaporkannya kepada Polri. Faktanya, Jokowi tidak pernah melaporkan temuannya itu ke Polri. Anehnya, penemuan alat itu dilaporkan kepada PDIP. Jadi, publik tidak pernah melihat foto dari ketiga alat yang menurut Jokowi adalah alat penyadap.
Sengaja kata “sadap” diapit tanda petik, karena alat yang ditemukan di rumah dinas Gubernur DKI Jakarta bukan alat penyadap, tapi transmiter. Alat ini akan merekam (bukan menyadap) suara-suara yang ada di sekelilingnya. Itulah kenapa ketiga alat ini ditemukan di kamar tidur, ruang tamu pribadi, dan ruang makan yang biasa digunakan untuk rapat pada Desember 2013. Dari alat transmiter yang ada di rumah dinas itulah suara dikirim ke sebuah alat penerima.
Ada berbagai macam aktivitas mata-mata atau spionase, dari yang tradisional sampai yang paling mutakhir, dari yang mengandalkan kemampuan intelijen manusia sampai yang bertopang pada kecanggihan alat. Dan, metode spionase yang banyak diterapkan adalah penyadapan dan perekaman.
Dalam dunia mata-mematai pemasangan transmiter bukanlah hal yang asing. Skandal besar penempatan transmiter terjadi pada Januari 2006 saat televisi pemerintah Rusia merilis video pengintaian yang dilakukan kontra-intelijen Rusia FSB. Video itu memperlihatkan seorang diplomat Inggris Christopher Pirt sekretaris kearsipan di kedutaan Inggris saat tengah mengambil sebuah batu di satu jalan di kota Moscow. Selain Pirt, beberapa staff kedutaan Inggris lainnya juga seperti Marc Doe dan Andy Fleming diketahui berulang kali “mengunjungi” Spy Rock (Sumber: theguardian.com)
Dan alat trasmiter yang ditemukan (kalau memang benar) di rumah dinas Jokowi ini adalah alat spionase yang terus dikembangkan. Pada pertemuan tahunan AUSA (Association of the United States Army) di Washington, DC yang berlangsung pada 25 Oktober 2013, Lockheed Martin memamerkan perkembangan teknologi transmiter mata-mata yang disebut SPAN (Self-Powered Ad-hoc Network).
SPAN merupakan generasi terbaru dari Spy Rock. Alat pemata-mata ini selain lebih murah dari Spy Rock juga dapat bertahan bertahun-tahun lantaran dapat mengisi energi sendiri dengan menggunakan sinar matahari (Sumber: wired.com)
Tentu bentuk luar dari Spy Rock atau pun SPAN bisa disesuaikan dengan kebutuhan. Misalnya, berbentuk batu-bata yang akan disisipkan di dinding. Berbentuk keramik, mamer, atau granit yang bisa dipasangkan di lantai. Atau berbentuk handphone sehingga bisa dibawa ke mana-mana mengikuti targetnya tanpa khawatir dicurigai.
Memasang alat transmiter di beberapa ruangan bukanlah hal yang sulit bila pelakunya memiliki akses atau aset yang ada di sekitar sasaran. Contohnya, pelaku penyadapan merekrut pembantu rumah tangga Jokowi untuk dijadikan “agennya”. Merekrut orang yang memiliki akses di lingkungan target merupakan cara yang paling efektif dengan tingkat resiko rendah ketimbang harus menginfiltrasi sendiri lokasi target.
Bagaimana dengan SBY? SBY memang diberitakan menjadi korban penyadapan. Pada 2011 Dua harian Australia, The Age dan Sydney Morning Herald memuat berita utama tentang penyalahgunaan kekuasaan oleh Presiden SBY dan istrinya, Ani Yudhoyono. Laporan harian itu berdasarkan kawat-kawat diplomatik rahasia Kedutaan Besar Amerika Serikat AS di Jakarta yang dibocorkan situs WikiLeaks
Menurut whistleblowerintelijen AS, Edward Snowden,badan intelijen Inggris, melaluiGovernment Communications Headquarters (Markas Komunikasi Pemerintah/GCHQ), telah menggunakan perangkat yang memungkinkan saluran komunikasi disadap. Perangkat tersebut mampu menyadap layanan BlackBerry guna memantau e-mail dan panggilan telepon. Pada saat yang sama, instansi itu juga menyediakan layanan internet yang bisa melakukan intersepsi delegasi yang hadir sehingga seluruh aktivitas bisa dipantau.
Sebagaimna diberitakan intelijen Inggrismemata-matai Presiden SBY beserta rombongan saat menghadiri pertemuan puncak G-20 di London pada April 2009. Menurut Sydney Morning Herald, Jumat (26/7/2013), Perdana Menteri Australia Kevin Rudd memperoleh keuntungan atas kegiatan mata-mata itu. Konon, tanpa kerja mata-mata Inggris tersebut Australia tidak akan mendapat kursi di Dewan Keamanan PBB. Entah bagaimana cara kerja intelijen Inggris tersebut.
Wajar kalau SBY sebagai Presiden RI disadap. Bahkan setelah turun dari kekuasaan pun SBY masih layak untuk diintai. Hal ini dikarenakan aktivitas harian SBY sebagai pemimpin dari sebuah partai politik. Jangankan SBY, semua tokoh penting di negara ini juga disadap.
Dari kawat-kawat diplomatik yang dibocorkan oleh Wikileaks menyebutkan, SBY secara pribadi telah campur tangan untuk memengaruhi jaksa dan hakim demi melindungi tokoh-tokoh politik korup. SBY juga disebutkan menekan musuh-musuhnya serta menggunakan badan intelijen negara demi memata-matai saingan politik,
Setidaknya, seorang menteri senior dalam pemerintahannya sendiri. Informasi ini diketahui dari bocoran yang menyebut SBY pernah diam-diam memerintahkan Kepala Bada Intelijen Negara, Syamsir Siregar, untuk memata-matai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yusril Ihza Mahendra. Pengintaian dilakukan saat Menteri Yusril melakukan perjalanan rahasia ke Singapura untuk menemui seorang pebisnis Cina.
Jadi, sudah sangat jelas, menurut berita Jokowi mengaku disadap tanpa memperlihatkan alat trasmiter yang ditempatkan di rumah dinas yang ditinggalinya. Sementara, SBY memang diberitakan telah menjadi korban penyadapan. Tidak sebagaimana Jokowi yang seharusnya dapat menunjukkan ketiga transmiter yang ditemukannya, SBY tentu saja tidak mampu menunjukkan bukti penyadapan karena penyadapan dilakukan lewat sistem operator seluler.
Kalau Jokowi direkam lewat alat transmiter yang dipasang di rumah dinas yang dihuninya dan SBY disadap lewat sistem digital yang digunakannya, lantas apa bedanya rekaman dengan penyadapan atau merekam dengan menyadap?
Menurut UU ITE Pasal 31 Ayat 1, “Yang dimaksud dengan “intersepsi atau penyadapan” adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi.”
Jelas di situ tertulis “transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” dan “pancaran elektromagnetis atau radiofrekuensi”.Pertanyaannya, apakah suara manusia, kodok tungtet, gelas, garpu dan piring yang ditangkap di sekitar rumah dinas Jokowi termasuk dalam informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik? Jawabannya bukan!
Jadi, menurut UU ITE Jokowi direkam, bukan disadap. Sebaliknya, SBY-lah yang menjadi korban penyadapan. Namun demikian, menurut berita, SBY juga merupakan pelaku penyadapan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H