Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

(HORORKOPLAK) Logika Cerdas Lelembut Pengetuk Pintu Rumah Kontrakan

7 Januari 2017   14:50 Diperbarui: 7 Januari 2017   21:48 604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lelembut aka makhluk lembut memang diciptakan untuk menggoda manusia. Percaya atau tidak memang begitulah kenyataannya. Dan, karena sudah mengantongi jam terbang yang sangat tinggi, lelembut sudah lebih jago mengggoda ketimbang cewek cantik semlohai manapun.

Buktinya, setan itu belum menggoda saja “korbannya” sudah salah tingkah. Contohnya, pas kita ketakutan pas mau tidur. Merem salah. Melek pun salah. Kalau melek, takut kalau di depan kita berkelebat bayangan putih.  Kalau merem, takut kalau pas melek si lelembut sudah berdiri di depan kita.

Itu kalau bobonya telentang. Sialnya kalau tungkurep atau menghadap tembok juga sama, sebelas-dua belas. Malah rerasanya lebih serem lagi. Taruhlah kita tengkurep. Maksudnya sihsupaya tidak melihat penampakan. Tapi ujung-ujungnya sama saja. Rerasanya si demit ada di belakang kita, berdiri dengan matanya yang melotot. Kalau sudah begitu, mau balik telentang juga takut. Padahal makhluk yang bikin kita takut tidak ada sama sekali.

Nah, dari pengalaman empiris itulah kita bisa menarik kesimpulan kalau makhluk lelembut itu belum eksyen saja sudah bisa bikin kita jadi serba salah tingkah tak karuan. Mau begini salah. Mau begitu salah.

Soal memedi (yang membuat wedi. Wedi dari bahasa Jawa yang artinya takut), saya ada sedikit pengalaman. Tidak banyak. Kalau banyak pasti sudah saya sumbangkan ke Chaca. Dari semua pengalaman “perjumpaan” dengan memedi itu, ada satu pengalaman yang berbeda dari yang lainnnya.

Sekitar tahun 1996-1997, saya bersama Widodo (nama lengkapnya susah dihapal) dan Masagus Denny Afrizal mengontrak rumah di Dusun Dero, Condong Catur, Sleman, DIY. Di sekitar rumah kontrakan ada tiga rumah kontrakan lainnya dengan pemilik yang sama. Dari gang Sadewa, lokasi rumah agak masuk ke dalam sekitar dua puluh meter. Tepat di sebelah utara rumah membentang persawahan. Sementara di belakang rumah yang menghadap ke timur itu terdapat kebun aneka macam tanaman. Jadi, rumah yang kami kontrak benar-benar mojok.

Suatu malam di kamar yang ditempati Widodo, pas makan bersama, Widodo bercerita kalau beberapa melihat kali kain gorden jendela kamarnya dibuka-tutup.

“Kalau aku sering dengar pintu depan diketok-ketok, “timpal saya. “Tapi, pas dilihat nggak ada sapa-sapa. Pas dilongok nggak ada orang.”

“Kalau yang itu, aku juga sering,” tambah Denny.

“Sama,” kata Widodo. “Biasanya dua atau tiga kali.”

Pada malam itu saya baru tahu kalau gangguan ketuk-ketuk pintu itu dialami juga oleh kedua teman kontrakanku. Biasanya terdengar kalau saya sedang sendirian. Buat saya, suara-suara ketukan pintu itu tidak masalah karena tidak begitu menakutkan. Yang penting pengetuknya tidak menampakan diri. Itu saja!

“Amit-amit jabang bayi”, jangan sampai melihat penampakan memedi. Ngebayang Suzana pas jadi Nyi Blorong saja sudah serem. Apalagi kalau melihat kunti beneran. Dan, Alhamdulillah, sampai seumur ini, saya belum sekali pun melihat penampakan.

Waktu masih di SD, pas liburan di Tasikmalaya, saya melihat ember timba yang penuh oleh air sumur terangkat naik sampai bibir sumur. Waktu itu saya tidak berpikir macam-macam. Terus mandi sampai selesai. Sehabis mandi, barulah saya ngeh, kalau ember timba yang dipenuhi air tidak mungkin terangkat, apalagi sampai setinggi bibir sumur. Logikanya, pasti ada yang meng-ngerek ke atas. Sekali lagi keterlambatan berpikir telah menyelamatkan saya dari rasa takut.  

Sewaktu SMA, pas manjat Gunung Ciremai, secara hampir bersamaan beberapa teman berteriak kaget dan berlarian. Saya yang terkejut mendengar teriakan teman-teman, spontan ikut lari. Saya tidak tahu kenapa teman-temen berteriak dan berlari. Yang penting lari dulu supaya selamat. Setelah jauh berlari dan kecapekan, teman-teman yang berteriak kaget itu bercerita kalau meraka melihat bayangan putih yang berkelebat tepat di hadapan mereka. Untung kalau jalan-jalan, saya suka meleng.Coba kalau waktu itu tidak meleng, pasti saya juga melihat seperti yang dilihat teman-teman.

Kalau diingat-ingat, godaan makhluk halus yang beberapa kali saya alami berwujud bebauan. Anehnya, jarang saya mencium bau wangi kembang seperti di film-film horor. Seringnya bau gorengan. Seperti waktu lewat Jalan Abu Bakar Ali di Yogyakarta, di situ sering tercium bau kentang yang sedang digoreng. Bau yang sama juga sering tercium di sekitar “lembah” UGM. Entah siapa yang memasak kentang di sekitar “lembah” UGM yang gelap dan rimbun oleh pepohonan itu.

Tapi, gangguan yang paling sering jelas bebunyian. Gangguan memedi dalam bentuk ini sudah tidak terhitung lagi. Pernah suatu hari pas lagi memperbaiki makam kakek. Pas lagi enak-enak duduk-duduk di undakan makam tidak jauh dari makam kakek sambil menunggu tukang yang sedang membeli rokok, saya mendengar suara lelaki tua batuk. Hanya sekali suara batuk itu terdenger. Saya tengok kanan-kiri. Clingak-clinguk. Tapi, tidak ada orang lain selain saya sendiri.

Sekalipun bertekad bulat “amit-amit jangan sampai melihat penampakan”, tapi kadang penasaran juga ingin melihat makhluk halus langsung dengan mata kepala sendiri.

Entah kapan, waktu itu saya, Widodo, dan Denny sedang ngobrol-ngobrol di kamar saya. Pas sedang asyik ngobrol, kami mendengar suara ketukan di pintu depan. Suara ketukannya benar-benar khas. Lembut tapi terdengar dengan begitu jelas.

“Biasanya ada ketokan pintu lagi,” kata Denny.

“Kalau begitu kita tunggu saja,” sahut saya. Kemudian sebuah gagasan berlian melintas. “Tapi,  nunggunya di depan.”

Denny dan Widodo saling berpandangan. “Ayo,” kata mereka hampir bersamaan.

Kemudian kami bertiga beranjak ke luar kamar. Layaknya aksi tokoh bacaan anak Trio Detektif, Julian, George, dan Timmy, kami merindik-rindik mendekati pintu depan. Seolah-olah dengan cara berjalan seperti itu kami bisa menangkap basah si demit tukang ketok pintu. Pintu depan dibuka. Kami longok. Seperti biasa, tidak ada siapa pun di luar.

Kami pun nongkrong-nongkrong di depan pintu depan. Menunggu suara ketukan pintu kedua. Aneh juga kalau dipikir. Apa mungkin si demit ngetok-ngetok pintu lagi kalau pintunya ditunggui seperti itu. Memang tidak ada cara lain, karena tidak mungkin kami memasang CCTV untuk menangkap penampakan si memedi.

“Sepertinya dia nggak bakal ngetok-ngetok lagi,” kata saya mulai pesimis.

“Lha iya, wong ditungguin kaya gini,” sahut Widodo. “Mana mungkin dia datang.”

“Logikanya saja, buat apa ketok-ketok pintu,” sambung Denny, “kan yang punya rumah ada di depan pintu.”

“Jadi, kita ini lebih bego dari si demit itu ya?” celetuk saya sambil ngakak.

Tidak berselang lama kemudian ...

“Tok ... tok ... tok!”

Suara ketukan kembali terdengar. Seperti biasanya, suara ketukan itu terdengar lembut, tapi jelas terdengar. Hanya saja, suara itu bukan datang dari pintu depan seperti biasanya, tapi dari pintu belakang rumah.

Suara ketukan itu membuat kami bertiga memalingkan mata ke arah pintu belakang yang terlihat dari depan rumah.

Dengan suara pelan saya bilang, “Gila juga nih setan. Ditungguin di depan, eh yang diketok pintu belakang.”

Denny pun menyambung, “Kan begitu logikanya ....”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun