Sudah seminggu demo 411 berlalu. Tetapi masih ada satu pertanyaan yang belum juga terjawab. Di mana posisi Presiden RI Joko Widodo pada saat unjuk rasa besar-besaran berlangsung di depan Istana? Inilah yang masih menjadi misteri.
Kamis kemarin, 10 November 2016 Juru Bicara Kepresidenan Johan Budi menjelaskan kalau sebenarnya pada hari Jumat 4 November 2016, Jokowi berniat shalat Jumat di Masjid Istiqlal. Berjamaah bersama rakyatnya yang datang dari segala penjuru tanah air.Hanya saja, Presiden sebagai simbol negara harus mentaati protokoler, apalagi yang menyangkut soal keamanan.
Sebelumnya, Sekretaris Kabinet Pramono Anung menjelaskan kalau Jokowi yang saat itu berada di luar Istana tidak dapat kembali pada waktunya karena alasan lalu lintas. Penjelasan kader PDIP ini jelas blunder. Sebab sangat tidak masuk akal kalau dipenuhinya akses masuk oleh pendemo menyebabkan presiden tidak bisa masuk Istana. Bukankan negara sudah menyiapkan heli untuk Presiden. Dan, bukankah pelataran Istana bisa didarati oleh heli.
Berbeda dengan penjelasan Pramono, keterangan Johan bisa disebut sebagai jawaban ngeles. Dalam keterangan Johan tidak menjawab pertanyaan yang disampaikan kepadanya. Bukankah pertanyaannya kenapa Presiden tidak jadi menemui pendemo 411 di Istana, bukan kenapa Presiden tidak shalat berjamaah di Istiqlal pada Jumat 4 November 2016.
Tidak ditemuinya 25 delegasi pendemo oleh Jokowi pun pastinya bukan karena alasan keamanan. Ke-25 delegasi demo 411 itu pastinya akan diperlakukan sama dengan tamu-tamu Istana lainnya.
Untuk memasuki Istana Negara, sekurangnya ada 3 pos keamanan yang harus dilewati. Pertama pos yang berada di gerbang Istana. Di situ bebawaan sudah diperiksa dengan menggunakan metal detektor. Selanjutnya, tamu kembali di periksa di pos kedua, Di sana KTP ditinggal dan ditukar dengan tanda pengenal. Melewati pos kedua, tamu wajib melintasi metal detektor. Dan, sebelum memasuki pintu Istana, semua bebawaan ditinggal, termasuk ponsel. Selebihnya, Istana dijaga oleh ribuan personel Paspampres yang sangat profesional.
Alasan batalnya Jokowi shalat Jumlat berjamaah di Istiqlal karena faktor keamanan masih bisa dipahami dan diterima. Tapi, apa alasan Jokowi batal menemui tamunya di Istana?
Pada 4 November 2016, Jokowi keluar dari Istana sekitar pukul 11 WIB Bersama rombongan, Jokowi menuju Terminal 3 Bandara Soeta untuk meninjau proyek kereta api. Menurut media Jokowi datang ke lokasi proyek sekitar pukul 12.30 WIB atau selepas Shalat Jumat. Presiden berada di lokasi proyek selama sekitar 30 menit. Jadi, Jokowi sudah selesai meninjau proyek sekitar pukul 13 WIB.
Dalam kondisi lancar, waktu tempuh dari bandara menuju Istana sekitar 45 menit (berdasarkan waktu tempuh bus DAMRI jurusan Stasiun Gambir-Bandara Soeta). Dengan demikian seharusnya Jokowi sudah kembali ke Istana sekitar pukul 13.45 WIB.
Di sisi pendemo. Selepas shalat Jumat sekitar pukul 12.45, pendemo tidak langsung bergerak ke istana. Sebelum berjalan kaki ke Istana, pendemo mendapat pengarahan dari beberapa tokoh dan korlap. Tidak jelas kapan pendemo dari Istiqlal mulai bergerak menuju depan Istana. Tidak jelas juga kapan pendemo mulai memadati jalan di sekitar Istana. Namun demikian, pendemo sudah nampak di lokasi sejak pukul 10 WIB. Pendemo pun bukan hanya bertolak dari satu titik, yaitu Istiqlal, tetapi juga dari sejumlah titik lainnya.
Sebagai gambaran, sekitar pukul 14 WIB, Menko Polhukam Wiranto tidak bisa menggunakan mobilnya dari kantornya menuju kantor Kementerian Sekretarian Negara karena akses jalan sudah ditutup. Akhirnya, Wiranto memutuskan berjalan kaki.
Kalau begitu, penjelasan Pramono tentang sulitnya akses masuk Istana lewat jalur darat ada benarnya. Namun demikian, kesulitan akses tersebut tidak bisa diterima sebagai alasan bagi Jokowi untuk memasuki Istana dan menemui delegasi pendemo sebagaimana yang telah direncanakan pada malam sebelumnya.
Jangan-jangan Jokowi sudah kembali ke Istana sebelum pukul 14 WIB. Sewaktu Jokowi keluar dari Istana sekitar pukul 11 WIB, pendemo yang melihat rombongan Presiden mengabarkannya lewat Twitter. Padahal saat Jokowi keluar belum banyak pendemo yang berada di sekitar Istana. Kalau Jokowi sebelum pukul 14 WIB seharusnya lebih banyak lagi pendemo yang melihat kepulangannya. Kecuali kalau kepulangan Jokowi dirahasiakan, tanpa iring-iringan mobil yang mencolok atau lewat “jalan khusus”.
Pertanyaan menariknya, kemana saja Jokowi setelah meninjau proyek? Kenapa tidak satu pun media yang memberitakannya?
Media baru memberitakan keberadaan Jokowi di Istana beberapa saat sebelum digelarnya rapat terbatas pada pukul 22.45 WIB. Artinya, Jokowi sudah berada di Istana sebelum rencana rapat terbatas itu diberitahukan kepada wartawan. Kapan Jokowi tiba di Istana? Tidak satu pun media yang memberitakannya.
Taruhlah, karena jalanan menuju Istana dipadati pendemo, Jokowi tidak bisa kembali ke Istana. Dengan alasan ini, Jokowi baru tiba di Istana setelah pendemo membubarkan diri, sekurangnya setelah jalanan mulai bisa dilalui mobil-mobil rombongan presiden. Pertanyaannya, selagi menunggu jalanan sampai lengang, di mana posisi Jokowi? Pertanyaan tentang posisi Jokowi setalah meninjau proyek sampai sekarang masih menjadi misteri. Belum lagi pertanyaan tentang apa yang dilakukan Jokowi di tempatnya menunggu tersebut. Ini juga misteri.
Tetapi, sesuatu yang patut dicermati. Setelah 411, Jokowi menemui sejumlah ulama, baik di luar maupun di dalam Istana. Dalam sejumlah pertemuan tersebut, Jokowi menyempatkan waktu untuk menyampaikan sesuatu secara tertutup. Artinya, ada sesuatu yang bersifat rahasia yang disampaikan Jokowi kepada para ulama.
Ketika Jokowi menyampaikan sesuatu yang bersifat rahasia kepada ulama, artinya Jokowi mempercayai ulama untuk menjaga rahasianya. Dan, terbukti, sekalipun masih menyelipkan kritiknya atas respon Jokowi terkait 411, tetapi bertemu dengan Jokowi dan berbicara dalam forum tertutup, para ulama tidak lagi mempersoalkan masalah ketidakhadiran Jokowi di Istana saat 411 Inilah yang menarik dan patut dicermati.
Dari situ ada satu poin yang bisa diambil. Dalam situasi yang tidak menentu ujungnya ini, Jokowi masih mempercayai para ulama. Dan memberikan kepercayaan kepada ulama untuk menyimpan informasi penting yang disampaikannya.
Jokowi meninggalkan Istana sebelum pendemo memadati ruas-ruas jalan di sekitar Istana. Kunjungan Jokowi ke proyek tersebut diketahui tidak diagendakan sebelumnya. Artinya, ada sesuatu yang mendesak Jokowi untuk meninggalkan Istana. Pastinya, kepergian Jokowi tersebut bukan karena keamanan dirinya.
Soal keamanan, Jokowi lebih aman jika berada di lingkungan Istana. Buktinya, pada 21 Mei 1998 saat situasi negara semakin tidak menentu setelah Pangab Jenderal Wiranto menyampaikan adanya gerakan tentara Kostrad yang berada di luar kendali Panglima ABRI, BJ Habibie dan keluarganya diamankan di Wisma Negara yang berada di Komplek Istana Kepresidenan. Lantas, dalam situasi yang diprediksikan genting, kenapa Jokowi berada di luar Istana?
Menariknya, keberadaan Jokowi itu di luar pantauan media. Padahal dalam situasi normal sangat sulit bagi Presiden beserta rombongan dan sepasukan pengawalnya untuk lepas dari pantauan. Bagaimana Jokowi bisa melepaskan diri dari pantauan, bukan saja dari media tetapi juga masyarakat yang dilewatinya. Kemungkinan besar, Jokowi “menyelinap” menuju lokasi tertentu dengan pengawalan yang sangat minimalis. Tentu saja, kalau benar, dengan pengawalan minimalis, keamanan Jokowi pun menjadi minimalis.
Kalau benar, artinya ada persoalan yang harus diselesaikan Jokowi pada saat itu juga. Jelas persoalan itu tidak menyangkut kepentingan dirinya. Kalau Jokowi mementingkan dirinya, pasti akan lebih memilih kembali ke Istana dengan menggunakan heli. Bukankah Istana lebih aman ketimbang berada di luar dengan pengamanan yang sangat minimalis.
Kalau benar, sekali lagi kalau benar, artinya Jokowi sudah mengorbankan reputasinya demi “sesuatu” yang lebih besar. Jokowi, pastinya akan lebih memilih menemui delegasi pendemo ketimbang menyelesaikan urusan yang tidak menyangkut kepentingan pribadinya.
Jokowi blunber. Ya, Jokowi memang blunder. Dengan tidak ditemuinya delegasi pendemo sama saja dengan menghancurkan kepercayaan rakyat. Dan, pastinya berdampak negatif pada saat Pilpres 2019 nanti. Pada hari itu, 4 November 2016, Jokowi telah menghancurkan dirinya sendiri demi sesuatu yang lebih besar dari dirinya, bahkan keselamatan dirinya. Dan ini adalah sikap seorang pemimpin.
Kepercayaan yang diberikan Jokowi kepada ulama dan persoalan negara yang lebih penting dari keselamatan jiwa inilah yang seharusnya menjadi poin penting yang harus diangkat oleh pendukung Jokowi ketimbang menghujat dan menistakan para ulama dengan kata-kata yang sangat merendahkan. Apalagi selama ini para pendukung Jokowi selalu memamerkan strategi komunikasi Jokowi yang merangkul bukan memukul.
Para pendukung Jokowi sudah buta kalau ulama memiliki umat yang jumlahnya bisa mencapai jutaan. Seorang ulama bisa menerima dirinya dicaci maki, sebagaimana dulu yang dialami oleh Gus Dur, tetapi belum tentu jamaahnya akan menerima perlakuan buruk yang dialamatkan kepada ulama yang dipanutinya.
Sekarang bisa dibilang masa depan politik Jokowi sudah nyaris tamat, Ditambah lagi dengan perilaku pendukungnya yang justru menambah kerusakan dengan menyerang membabi buta setiap pihak yang dianggap sebagai lawan. Sulit bagi Jokowi untuk memenangi Pilpres 2019.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H