“Ada sekitar 40-an toko. Itu baru di desa ini saja,” tandas Asnawi yang ditemui di Kantornya pada 4 Novemner 2016 lalu.
Saat ditanya tentang pemasaran online, Asnawi yang juga pengrajin batik ini mengungkapkan kalau hampir semua pedagang batik di desanya sudah melek internet.
“Hampir semua orang di sini, terutama anak mudanya sudah bisa internetan,” kata lelaki asli Desa Trusmi Kulon ini. “Anak-anak itu pada Facebook-an, BBM-an, dan macam-macem,” lanjutnya dengan logat Plered.
Setelah memastikan informasi kepada staf desa lainnya, Asnawi mengaku kalau pemerintah belum pernah memberikan pelatihan tentang pemasaran online kepada warga di desanya.
“Kemarin pernah ada. Kalau tidak salah tahun ini juga. Tapi bukan dari pemerintah,” jelas Asnawi sambil menyebut nama operator selular.
Akses internet di daerah Trusmi memang cukup baik. Banyak warga, khususnya anak muda, di desa itu yang memiliki sejumlah akun Facebook, Twitter, Whatsapp, BlackBarryMassenger, Instagram, dan lain sebagainya. Hanya saja tidak sedikit pedagang batik di Trusmi yang belum memanfaatkannya sebagai sarana berjualan.
Di Pasar Batik Trusmi, misalnya, sekalipun pengelola pasar sudah menyediakan fasilitas WiFi, namun belum banyak pemilik kios yang memanfaatkannya.
“Tidak tahu kenapa Bapak (pemilik kios) belum berjualan online,” jawab Rahayu, pelayan di salah satu kias di Blok A Pasar Batik Trusmi, saat ditemui di teras kiosnya pada 4 November 2016 lalu.
Sementara Sri menjalani usaha online setelah mendapat pelatihan yang digelar oleh komunitas sebuah bank swasta. Menurut pengakuannya, pemerintah belum pernah memberikan pelatihan tentang jual-beli online kepada pengrajin batik di desanya.
Sebagaimana yang diakui oleh Heri penjualan online memiliki konstribusi yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Bahkan, lewat perdagangan online, batik karya Dian mampu menembus pasar dunia. Menurut Dian, pemesan dari luar negeri berdatangan setelah UNESCO mengakui batik sebagai warisan dunia pada 2 Oktober 2019.