Sebelum ada pasangan cagub-cawagub, faktor elektabilitas hanya menempati urutan kedua. Elektabilitas hanyalah modal awal. Sedangkan modal utama adalah nilai jual. Kalau salah satu dari pasangan calon itu memiliki nilai jual, elektabilitas pun akan terdongkrak dengan sendirinya menyusul meroketnya popularitas.
Sandiaga Uno tidak memiliki nilai jual yang membuat calon pemilih tergerak untuk mendukungnya. Tidak adanya nilai jual itulah yang menjadi salah satu faktor gagalnya klik antara Sandi dengan calon pemilih. Itulah penyebab dari masih jalan ditempatnya elektabilitas meskipun ia sudah menggelar serentetan sosialisasi selama setahun belakangan ini.
Selain tidak memiliki nilai jual yang menyebabkan elektabilitasnya jalan di tempat, Sandi pun memiliki masalah dengan dugaan keterlibatannya dalam berbagai kasus, mulai dugaan kasus korupsi sampai dugaan kasus pelecehan seksual yang dilakukannya terhadap pedangdut Dewi Persik.
Dugaan kasus pelecehan seksual ini bakal menjadi sandungan terbesar mengingat kasus ini paling mudah dipahami oleh pemilih. Selain itu, mau tidak mau, Sandi akan terserempet oleh kasus Gatot Brajamusti yang juga diduga melakukan sejumlah pelecehan seksual. Persidangan Gatot yang bakal digelar dalam beberapa bulan ke depan pastinya akan dimanfaatkan oleh lawan politik Sandi untuk menyeret Sandi ke dalam pusaran pemberitaan tentang pelecehan seksual.Â
Media, khususnya infotainment yang memiliki rating tinggi akan memburu pengakuan Dewi tentang dugaan pelecehan seksual yang dialaminya. Dan lagi, Ahok pun sudah ketemuan dengan Dewi. Sulit dibayangkan bagaimana mimik wajah kader PKS dan PKB saat wartawan memburunya dengan pertanyaan terkait dugaan kasus ini.
Selain itu, strategi Sandi untuk meraih dukungan rakyat pun hanya direspon dingin oleh rakyat. Contohnya adalah pembentukan Crisis Center di Rawajati. Respon dingin rakyat itu sangat wajar sebab rakyat tahu kalau perhatian Sandi kepada rakyat kecil itu karena ada maunya. Dan rakyat pun akan bertanya, kemana Sandi ketika Kalijodo, Kampungpulo, dan wilayah lainnya dibuldoser (mungkin ini istilah yang tepat dan sesuai fakta mengingat ada perbedaan diksi antara pendukung dan penentang Ahok).
Tidak heran kalau untuk meraih dukungan dirinya, Sandi pun menjual halusinasi. Baru-baru ini Sandi mengaku kalau ia diminta untuk tidak nyagub oleh Sembilan Naga yang ditemuinya. Kata Sandi, Sembilan Naga ogah mendukungnya karena ia sulit dikontrol. Mungkin Sandi ingin menggambarkan kalau dirinya tidak bisa didikte oleh pengusaha. Berbeda dengan pesaingnya, Ahok, yang dekat dan bahkan mengaku sebagai Gubernur Agung Podomoro. Tapi, siapa Sembilan Naga yang dimaksud Sandi?Â
Tidak jelas, dan Sandi pun tidak mungkin bisa menyebutkan satu saja nama Naga yang ditemuinya itu. Dan yang paling tidak masuk akal adalah alasan Sembilan Naga itu menolak Sandi. Apa mungkin alasan tidak bisa dikontrol itu diungkapkan oleh Sembilan Naga kepada Sandi? Bukankah dengan alasan itu sama saja Sembilan Naga tadi sudah menusukkan pedang ke dadanya sendiri. Betapa naifnya Sembilan Naga itu kalau mengatakan itu kepada Sandi.
Mungkin Sandi sedang memperlihatkan posisinya terhadap Ahok. Sayangnya posisinya itu tidak terbangun secara alamiah. Karena tidak terbangun secara alamiah, maka posisinya itu tidak klik dengan rakyat. Bukannya klik, rakyat malah mencibir Sandi dengan posisinya itu.
Kalau diamati, Gerindra pun hanya menyodorkan Sandi karena faktor gengsi. Gerindra yang menempati urutan kedua pemenang pemilu, tetapi tidak memiliki kader yang layak untuk dicalonkan dalam Pilgub DKI 2017 terpaksa mendukung ambisi Sandi. Gerindra sendiri terlihat ogah-ogahan dalam mendukung Sandi.
Hal ini terlihat dari minimnya dukungan Gerindra pada setiap sosialisasi yang digelar Sandi. Gerindra pun seperti tidak serius dalam mencari pasangan buat Sandi. Malah, terlihat kalau Sandi dibiarkan mencari pasangannya sendiri. Hal itu nampak dari wara-wirinya Sandi ke sejumlah tokoh dan parpol. Terakhir Sandi mendapatkan dukungan dari PKS. PKS menyodorkan kadernya, Mardani Ali Sera untuk menjadi pendamping Sandi. Tetapi, dukungan PKS ini pun masih terlihat main-main karena beberapa saat kemudian PKS mengatakan kalau dukungannya kepada Sandi belum final.
Sandi mungkin bisa nyagub, tetapi dengan sejuta keterpaksaan yang menyertainya. Ketidaklayakan Sandi untuk nyagub ini terlihat dari sikap Bupati Batang, Yoyok Riyo Sudibyo yang menolak menjalani fit and proper test sebagai calon pendamping Sandi. Yoyok yang mantan perwira BIN ini pastinya sudah mengamati situasi dan kondisi yang akan dihadapinya jika ia maju mendampingi Sandi.
Posisi berbeda ada pada Boy Ali Sadikin dan Rizal Ramli. Keduanya secara natural berada dalam posisi berseberangan dengan Ahok, khususnya dalam kasus reklamasi teluk Jakarta. Boy mengundurkan diri dari kepengurusan DPD PDIP Jakarta lantaran ia yang tidak menyetujui proyek reklamasi berlawanan pendapat dengan mayoritas kader PDIP yang menjadi anggota DPRD DKI. Terbukti sikap Boy ini benar setelah KPK menangkap tangan M. Sanusi dan dua kolega Ahok dalam kasus pembahasan soal reklamasi. Sementara Rizal menghentikan proyek reklamasi. Karena sikapnya ini, Rizal dicopot dari kabinet Jokowi.
Kasus reklamasi ini pastinya akan menyambar anggota DPRD DKI lainnya, eksekutif. Parpol akan terkena dampak dari kasus ini. Demikian juga dengan Ahok. Tetapi, parpol dapat menekan efek domino dari kasus ini kalau memajukan figur yang memiliki rekam jejak melawan proyek reklamasi.
Saat ini elektabilitas Boy dan Rizal memang rendah, tidak beda dengan Sandi. Tetapi, rendahnya elektabilitas itu tidak bisa jadi patokan kalau keduanya tidak bisa mengalahkan Ahok calon petahana dengan tingkat elektabilitas tinggi. Contohnya Jokowi dan Ganjar Pranowo. Elektabilitas Jokowi hanya 6 % sebelum namanya didaftarkan sebagai cagub pada Pilgub DKI 2012. Sementara elektabilitas Foke sang calon petahana berada di atas angka 30 %. Toh pada akhirnya Jokowi mampu memenangi Pilgub DKI 2012. Demikian juga dengan Ganjar yang mampu memenangi Pilgub Jateng 2013 meski hanya bermodal elektabilitas di bawah 5 %.
Posisi Boy dan Rizal yang berseberangan dengan Ahok dalam proyek reklamasi Jakarta ini pastinya bisa dijual untuk mendongkrak elektabilitas keduanya. Masalahnya, bagaimana caranya? Elektabilitas meningkat setelah popularitas meningkat --tapi belum tentu tingkat popularitas tinggi, elektabilitas pun tinggi. Contohnya Rhoma Irama. Populartas Rhoma 98 %, tetapi elektabilitasnya hanya 2 %--.
Untuk meningkatkan popularitas media memiliki peran penting. Semakin sering diberitakan, semakin moncer popularitasnya. Hanya saja media baru memberitakan sebuah peristiwa kalau memiliki nilai jual. Ahok foto-fotoan dengan warga jadi berita di Kompas.com. Itu karena Ahok memiliki nilai jual. Risma marah-marah pada Ahok diberitakan berhari-hari oleh media. Itu karena baik Risma dan Ahok sama-sama memiliki nilai jual, apalagi saat keduanya berseteru. Keduanya duduk akur satu meja saja jadi bahan berita.
Menurut timbangan dagang media, Boy dan Rizal sampai saat ini kurang menjual. Keduanya baru akan menjadi barang dagangan media kalau secara resmi maju sebagai cagub. Tetapi, kalau pun media masih ogah menjualnya, media sosial masih bisa dimanfaatkan. Apalagi mayoritas penduduk Jakarta diketahui sebagai pengguna media sosial.
Berbeda dengan Boy dan Rizal. Budi Waseso tidak memiliki posisi yang berbeda dengan Ahok. Tetapi, Buwas sudah memiliki modal popularitas yang baik. Popularitas Buwas pun meninggi seiring dengan keberhasilannya saat menduduki jabatan Kabareskrim Polri dan Kepala BNN. Dari sini jelas kalau meningkatnya popularitas Buwas didapat dari prestasinya. Ini mirip dengan Jokowi ketika maju ke Pilgub DKI 2012. Jokowi saat itu telah mengantongi popularitas yang lumayan bagus sebagai hasil dari prestasinya saat menjabat Walikota Solo. Karena popularitas yang diraih dari prestasinya itu, elektabilitas Jokowi pun melesat naik.
Ketiganya, Rizal, Boy, dan Buwas bersih dari kasus korupsi. Rizal dan Boy belum pernah diberitakan keserempet kasus korupsi. Sementara Buwas bersih dari kasus rekening gendut. Soal isu korupsi ini menjadi salah satu pembeda antara posisi ketiganya dengan Ahok ataupun Sandi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H