Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ketika BPK Ber-Shakespeare dalam Kasus Sumber Waras

22 April 2016   07:51 Diperbarui: 22 April 2016   20:27 4028
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Denah Sumber Waras Sumber: arrahmahnews.com/2015/12/08/telak-dokumen-ini-mematahkan-tuduhan-bpk-kepada-ahok-terkait-sumber-waras/"][/caption]Sebelumnya, ada yang menarik untuk dikunyah dari skandal Sumber Waras (SW).

Pemprov DKI Jakarta yang membeli sebagian lahan milik RS Sumber Waras, mengaku baru mengetahui kalau RS Sumber Waras ternyata memiliki 2 sertifikat kepemilikan tanah.

"Pemiliknya sama, (sertifikat) atas nama RS Sumber Waras sama Bu Kartining Mulyono yang punya Tempo Scan (kepemilikan pribadi)," kata Kadis Kesehatan Kusmedi di gedung DPRD DKI Jakarta, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Selasa (11/8/2015).

Kusmedi mengatakan, pihak Pemprov tidak ada yang berusaha menyalahgunakan tempat. Namun ia mengakui, karena ketidaktahuan mereka, urusan jual beli tanah ini menjadi rumit.

"Mungkin kalau tahu dari awal semuanya, mungkin kejadiannya nggak gini," kata Kusmedi.

Itulah yang diberitakan Detik.com Pemprov DKI Baru Tahu RS Sumber Waras Punya 2 Sertifikat Tanah  

Sebagai catatan, Kusmedi baru menjabat sebagai Kapala Dinas Kesehatan setelah transaksi terjadi. Ia dilantik pada 2 Januari 2015 atau hanya 2 hari berselang dari tanggal transaksi (1 Januari 2015 hari libur tahun baru)

Menarik bukan!

Muncul pertanyaan, pertama, sejak kapa Pemprov DKI mengetahui kalau tanah SW memiliki 2 sertifikat? Kedua, apa yang dimaksud dengan "Mungkin kalau tahu dari awal semuanya, mungkin kejadiannya nggak gini," Ketiga, kalau Pemrov DKI sudah tahu lahan SW memiliki 2 sertifikat dan lahan yang dibeli berada di “sayap” kanan RS, apakah Pemprov DKI keukeuh membelinya?

Dan pertanyaan yang paling “mengerikannya”, apakah sebelum menyetujui pembelian lahan SW, Pemprov DKI dalam hal ini Dinkes DKI sempat membandingkan sertifikat lahan atas nama Sumber Waras dengan PBB atas nama Sumber Waras?

Pertanyaan lainnya, siapakah yang mewakili Pemprov DKI saat BPN melakukan proses pengukuran ulang atas lahan SW? Dan, apakah pegawai Pemprov DKI tersebut melaporkan kesaksiannya dengan selurus-lurusnya tentang lokasi lahan yang diukur?

Oke, sekarang masuk ke soal lahan yang kemarin masih ribut-ribut di artikel saya dan belakangan di media sosial tersebar dua versi denah lahan SW.

Pertama, Menurut Direktur Umum RS Sumber Waras (SW) Abraham Tedjanegara, pada November 1970, Sin Ming Hui. menyerahkan sebagian tanahnya kepada Yayasan Kesehatan Sumber Waras. Dengan demikian tanah yang awalnya satu bidang dipisah menjadi dua bidang.

Penyerahan sebagian bidang tanah ini mengakibatkan RS terdiri atas dua sertifikat. Sertifikat pertama adalah hak guna bangunan atas nama Yayasan Kesehatan Sumber Waras. Sertifikat itu untuk lahan seluas 36.410 meter persegi. Lahan bersertifikat inilah yang dijual kepada Pemprov DKI. Sedangkan sertifikat kedua dengan  luas 33.478 meter persegi. Setifikat kedua ini berstatus hak milik atas nama Sin Ming Hui. 

Ini denah lahan yang dimuat sejumlah media arus utama.

 [caption caption="Peta Gambar Situasi Rumah Sakit Sumber Waras (Sumber Merdeka.com)"]

[/caption]Di situ terlihat ada pembagian lahan menjadi dua, sebelah kiri dan kanan. Lalu, lahan sebelah mana yang dibeli Pemprov DKI.

 [caption caption="Ahok tunjukan tanah yang dibeli (Sumber Kompas.com)"]

[/caption]Dari Kompas.com, Ahok menunjukkan lokasi tanah yang dibeli Pemprov DKI berada di sebelah kanan (Pada foto berada di sebelah kiri karena diambil dari Jln Kyai Tapa. Jadi, di mana posisi lahan SW yang dibeli Pemprov DKI sudah jelas dan tidak perlu diperdebatkan lagi.

Kalau dari denah yang terdapat pada sertifikat, lahan yang dibeli Pemprov DKI jelas tidak berbatasan dengan Jl Kyai Tapa, tetapi Jl Tomang.

Sekalipun sagat jelas, mutlak, dan tidak bisa ditolak, Ahok bersikukuh kalau lahan tersebut berada di Jl. Kyai Tapa. Kenapa Ahok keukeuh?

 [caption caption="sertifikat (Sumber Merdeka.com)"]

[/caption]Perhatikan “Nama Jalan/Persil” di situ tertulis “JLN KIAI TAPA”.

(Mungkin) Dari nama jalan pada sertifikat itulah Ahok bersikukuh kalau lahan yang dibelinya berada di Jl Kyai Tapa. Sebaliknya, bagi BPK “What’s in a name?”. “Apalah arti sebuah nama” begitu yang ditulis Shakespeare dalam “Romeo and Juliet”.

BPK tidak membaca nama jalan yang tercantum pada sertifikat, tetapi melihatnya dari “Peta Gambar Situasi” yang ada pada sertifikat tanah. Kemudian “Peta Gambar Situasi” pada sertifikat itu dibandingkan dengan lokasi fisik tanah. Dan, ternyata antara “Peta Gambar Situasi” sesuai dengan lokasi fsik tanah.

Jadi, sekalipun pada sertifikat tertulis “Jl Merdeka Utara”, tapi kalau Peta Gambar Situasi pada sertifikat  menunjukkan lokasinya berada di Ujung Berung dan lokasi fisik juga berada di Ujung Berung, maka BPK tidak kan menjadikan Jl Merdeka Utara sebagai acuan audit, tetapi Ujung Berung yang sesuai dengan Peta Gambar Situasi dan lokasi fisik lahan.

NJOP Jl Merdeka Utara pastinya berbeda dengan NJOP Ujung Berung pastinya berbeda. NJOP Jl Merdeka Utara sudah pasti lebih tinggi ketimbang NJOP Ujung Berung. Jadi, kalau membeli tanah di Ujung Berung dengan NJOP Jl Merdeka Utara sudah pasti pembelinya dirugikan.

Begitu juga dengan NJOP Jl Kyai Tapa dan NJOP Jl Tomang. NJOP Jl Kyai Tapa pastinya lebih tinggi dari NJOP Jl Tomang. Jadi kalau membeli lahan di Jl Tomang dengan menggunakan NJOP Kyai Tapa, sudah pasti si pembeli dirugikan, sebaliknya si penjual diuntungkan.  

Kalau dari foto-foto yang diunggah sejumlah media, jelas masalahnya di mana! Dari sini bisa dinilai siapa yang benar, Ahok atau BPK?

Tapi, tunggu!

Sebelum proses pembelian, BPN melakukan pengukuran ulang. Dalam proses pengukuran ulang tersebut ada kemungkinan, dengan berbagai sebab, terjadi pergeseran batas lahan. Lahan SW yang sebelumnya tidak berbatasan dengan Jl Kyai Tapa, dengan kesepakatan antara Yayasan kesehatan SW dan Sin Ming Hui , bisa digeser menjadi berbatasan dengan Kyai Tapa.

 Apakah ada pergeseran batas lahan pada saat proses pengukuran ulang? Inilah yang perlu diklarifikasi pada BPN. Sekalipun sertifikat baru belum terbit, tetapi wartawan bisa menanyakannya langsung pada BPN.

Sekali lagi, pergesaran lahan itu mungkin saja terjadi.

Sayangnya, persoalan tidak berhenti sampai di situ. Kenapa dalam transaksi itu menggunakan NJOP Rp 20.7 juta per M2?

Dasar NJOP Rp 20.7 dijadikan patokan diperolah dari Dinas Pelayanan Pjak DKI yang diterima Dinkes DKI pada pada 29 Desemder 2014. Celakanya, data Dinas Pelayanan Pajak ini terdapat cacat.

Cacat itu bisa dilihat dari luas bumi/ tanah yang tertera pada PBB atas nama Sumber Waras yaitu 69.888 M2. Padahal pada sertifikat tertera 36.410 M2. Luas tanah 69.888 itu ternyata penggabungan antara sertifikat atas nama YKSW (36.410 M2) dan sertifikat atas nama Sin Ming Hui (33.478 M2). Sederhananya, luas tanah 69.888 M2 adalah luas tanah sebelum dipisah menjadi 2 sertifikat.

[caption caption="PBB Sumber Waras (Sumber Kompasiana)"]

[/caption]Karena luas tanahnya masih 69.888 M2 yang berarti mencakup tanah milik Sin Ming Hui berarti tanah tersebut memiliki batas Jl Kyai Tapa. (Jln Kyai Tapa juga tercantum pada PBB sebagai alamat wajib pajak dalam hal ini Sumber Waras). Dengan demikian, NJOP tanah tersebut mengikuti zona Kyai Tapa yaitu Rp 20.7 juta per M2.

Dengan sengkarut tanah itu, siapa yang salah? Ahok tidak salah. Dinkes DKI tidak salah. BPK juga tidak salah. Kesalahan jelas ada pada Dinas Pajak yang memproduksi data tanpa berdasarkan data pada sertifikat tanah atas nama Sumber Waras.

Pertanyaannya, kenapa Pemprov DKI tetap meneruskan transaksi di atas kesemrawutan data? Kenapa tidak menunggu sampai data tersebut diluruskan oleh instansi terkait. Ini masalah yang harus dijelaskan oleh Ahok. Kenapa transaksi pembelian tanah RS terburu-buru? Ada apa sebenarnya?

Bukan hanya itu. Masih ada “sesuatu” pada Skandal SW jika melihat kronologinya. (Diedit dari Kompas.com ) Menelisik Peran Ahok dalam Kasus Pembelian Lahan RS Sumber Waras  

12 Mei 2014, Ahok sebagai Plt Gubernur itu pertama kali menyampaikan niatnya membangun RS khusus kanker dan jantung kepada media. Alasannya, RS Kanker Dharmais dan Harapan Kita yang pasiennya membeludak. Bahkan, Pemprov DKI mengaku telah mempersiapkan anggaran sebesar Rp 1,5 triliun untuk pembelian lahan RS Sumber Waras.

16 Juni 2014, pihak RS Sumber Waras menyatakan lahan tersebut tidak dijual karena sudah terikat kerja sama dengan PT Ciputra Karya Utama dengan NJOP Rp 15 juta per M2. 

Pada 27 Juni 2014, pihak RS Sumber Waras bersurat kepada Pemprov DKI dan menyatakan bersedia menjual lahan tersebut.

Sudah jelas. Jadi Ahok yang mengincar lahan itu sejak Mei 2014. Hanya dalam hitungan 13 hari, keinginan Ahok itu mampu membuat YKSW membatalkan kerja sama jual belinya dengan PT Ciputra. Karena Pemprov DKI membeli lahan tersebut dengan Rp 20.7 juta per M2, maka YKSW mendapat keuntungan lebih dengan selisih sekitar Rp 5 juta per M2.

Apa hanya sampai disitu?

Tidak masih ada yang menarik lainnya. Di-copas dari Kompas.com. AhokTentang Ciputra Bangun Mal di Lahan RS Sumber Waras  

Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) DKI Jakarta Heru Budi Hartono mengatakan, Pemprov DKI sedari awal berencana membangun RS Jantung dan Kanker. Ia menyebut pemilihan lahan milik RS Sumber Waras dilatarbelakangi ketidaksetujuan Pemprov atas rencana PT Ciputra Karya Utama yang hendak mengubah lahan itu menjadi mal.

Menurut Heru, Gubernur Basuki Tjahaja Purnama menyatakan tak setuju dengan rencana PT Ciputra Karya Utama itu. Atas dasar itu, Ahok, sapaan Basuki, kemudian menawarkan RS Sumber Waras agar melepaskan tanahnya itu ke Pemprov DKI.

Ternyata, penjelaskan Heru yang kini menjadi bakal cawagub Ahok ini dibantah oleh  Direktur Utama RS Sumber Waras, Abraham Tejanegara,

Di-copas dari Kompas.com Kronologi Pembelian Lahan Sumber Waras Menurut Pihak Rumah Sakit 

Sebab, sejak November 2013, RS Sumber Waras tengah melakukan pengikatan jual beli dengan PT Ciputra Karya Utama (CKU).

Dalam perjanjian jual beli, kata dia, PT CKU akan menjadikan lahan tersebut sebagai wisma susun.

Namun, karena dalam waktu yang ditentukan PT CKU tidak dapat memenuhi perjanjian tersebut, maka proses jual beli pun dibatalkan.

Selain itu, proses jual beli pun dibatalkan karena Pemprov DKI tidak mengizinkan pembangunan wisma susun tersebut.

Dari pernyataan Heru muncul kesan kalau Ahok anti pada pembangunan mal. Karena ke-anti-an itu, Ahok ,menawarkan RS Sumber Waras agar melepaskan tanahnya itu ke Pemprov DKI.

Benarkan Ahok anti-mal? Ternyata, diberitakan Ahok berencana membangun plaza di atas lahan bekas gusuran Luar Batang. Mungkin bagi bagi Ahok, plaza berbeda dengan mal.

Terakhir, selamat bekerja KPK

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun