Oke, sekarang masuk ke soal lahan yang kemarin masih ribut-ribut di artikel saya dan belakangan di media sosial tersebar dua versi denah lahan SW.
Pertama, Menurut Direktur Umum RS Sumber Waras (SW) Abraham Tedjanegara, pada November 1970, Sin Ming Hui. menyerahkan sebagian tanahnya kepada Yayasan Kesehatan Sumber Waras. Dengan demikian tanah yang awalnya satu bidang dipisah menjadi dua bidang.
Penyerahan sebagian bidang tanah ini mengakibatkan RS terdiri atas dua sertifikat. Sertifikat pertama adalah hak guna bangunan atas nama Yayasan Kesehatan Sumber Waras. Sertifikat itu untuk lahan seluas 36.410 meter persegi. Lahan bersertifikat inilah yang dijual kepada Pemprov DKI. Sedangkan sertifikat kedua dengan luas 33.478 meter persegi. Setifikat kedua ini berstatus hak milik atas nama Sin Ming Hui.
Ini denah lahan yang dimuat sejumlah media arus utama.
[caption caption="Peta Gambar Situasi Rumah Sakit Sumber Waras (Sumber Merdeka.com)"]
[caption caption="Ahok tunjukan tanah yang dibeli (Sumber Kompas.com)"]
Kalau dari denah yang terdapat pada sertifikat, lahan yang dibeli Pemprov DKI jelas tidak berbatasan dengan Jl Kyai Tapa, tetapi Jl Tomang.
Sekalipun sagat jelas, mutlak, dan tidak bisa ditolak, Ahok bersikukuh kalau lahan tersebut berada di Jl. Kyai Tapa. Kenapa Ahok keukeuh?
[caption caption="sertifikat (Sumber Merdeka.com)"]
(Mungkin) Dari nama jalan pada sertifikat itulah Ahok bersikukuh kalau lahan yang dibelinya berada di Jl Kyai Tapa. Sebaliknya, bagi BPK “What’s in a name?”. “Apalah arti sebuah nama” begitu yang ditulis Shakespeare dalam “Romeo and Juliet”.
BPK tidak membaca nama jalan yang tercantum pada sertifikat, tetapi melihatnya dari “Peta Gambar Situasi” yang ada pada sertifikat tanah. Kemudian “Peta Gambar Situasi” pada sertifikat itu dibandingkan dengan lokasi fisik tanah. Dan, ternyata antara “Peta Gambar Situasi” sesuai dengan lokasi fsik tanah.