Tapi, Petruk sadar benar, ia tidak memiliki wahyu atau mandat untuk memimpin. Karenanya ia hanya melakoni apa saja yang bisa dikerjakannya.
Tapi, begitu ia mendapat mandat, eng ing eng, semua dihajarnya. Para ndoro yang dulu main perintah, sekarang diperintahnya. Kemapanan para ndoro diobrak-abriknya, dijungkirbalikkannya.
Tindakan Petruk yang mengobrak-abrik kemapanan para mafia ini membuat resah raja-raja pem-backing-nya. Sampai-sampai Junggring Saloka pun terimbas. Kawah Candradimuka mendidih perlambang adanya “ontran-ontran” yang membahayakan kekuasaan para dewa.
Sontak Petruk menjadi musuh bersama para elit. Kemudian, para elit ini berunding. Lahirlah skenario untuk memakzulkan Petruk dari kekuasaannya.
Segala tindakan Petruk wajib dianggap salah. Kesalahan kecil dibesar-besarkan. Apa saja harus dikaitkan dengan Petruk.
Petruk sudah seperti Teh Botol Sosro. Apapun peristiwanya dan di mana poun kejadiannya, Petruk yang disalahkan.
Sebaliknya, keberhasilan Petruk malah ditutup-tutup dipandang seolah tidak pernah terjadi.
Sayangnya usaha ini gagal total. Petruk malah semakin menjadi-jadi melabrak siapa pun yang dianggapnya sebagai biang kerok.
Kresna dan Baladewa dikepret sampai babak belur. Batara Guru sang penguasa kahyangan ngiprit terbirit-birit.
Di situlah perbedaan sudut pandang “penonton” dalam menyerap pesan yang terkandung dalam lakon “Petruk Dadi Ratu”. Bagi yang memposisikan diri sebagai kaum elit, Petruk dianggap sebagai monster yang harus dibinasakan.
Sebaliknya, jika memandang Petruk dengan kacamata kawulo yang gerah dengan perilaku kaum elit, Petruk justru dipandang sebagai pahlawan. Tindakannya diapresiasi. Petruk is the new hope.