hantu wanita seram yang melayang di balkon apartemennya.
Sudah seminggu ini Nay enggan pulang ke apartemennya. Ia memilih tinggal di rumah atau kamar kos beberapa teman dekatnya untuk sementara waktu. Pasalnya hampir setiap malam ia diganggu oleh sosokNay baru sebulan menempati satu unit apartemen tipe satu kamar di Tower F sebuah kompleks apartemen di pusat kota. Ia memutuskan pindah ke apartemen itu setelah merasa tidak betah tinggal di rumah kos. Harga sewa apartemen itu termasuk murah, apalagi jarak apartemen dengan gedung tempat ia bekerja bisa ditempuh dengan bus kota sekali saja.
Dua minggu sebelumnya, di Jumat dini hari yang sepi, Nay tiba-tiba terbangun. Ia merasa sangat haus dan perlu minum. Ia menatap cangkir besar berwarna pink di meja kecil di samping kiri ranjangnya, lalu mengulurkan lengan kanannya untuk meraihnya. Kosong.
Nay menghela nafas panjang. Wanita muda akhir 20an tahun itu berusaha bangkit dari ranjangnya. Ia berjalan dengan langkah gontai ke luar kamarnya seraya membawa cangkir itu ke arah dapur. Ia menyalakan lampu ruang tengah lalu menatap jam dinding di atas televisi, jam 01.30.
Ia mendekatkan cangkirnya ke mulut dispenser air mineral dan menunggunya hingga penuh. Baru tiga perempat penuh, Nay buru-buru mengangkat cangkirnya. Ia segera menempelkan bibir mug itu ke bibirnya lalu meneguk seluruh isinya.
Rupanya Nay masih merasa haus. Ia mengisi cangkirnya lagi, kali ini ia mengisinya hingga penuh nyaris luber. Air mineral dari cangkir pun berpindah ke lambung Nay dalam waktu singkat. Selesai minum, ia menarik nafas panjang lalu meletakkan cangkir itu di atas meja makan.
Tiba-tiba Nay merasakan desiran angin dingin yang datang dari arah balkon, membuat bulu kuduknya seketika berdiri. Bukan angin dari penyejuk udara di ruangan tengah, karena ia sudah mematikannya tadi sebelum masuk kamar.
Pandangannya tersita oleh gerakan tirai di jendela balkon apartemennya yang diterpa angin dari luar. Tirai berbahan polyester berwarna kelam baja itu memang menutupi jendela dan pintu geser menuju balkon.
Nay melihat bagian bawah tirai, tampak bahwa pintu itu sedang terbuka. Ia mengernyitkan dahinya, teringat kalau ia sudah menutup pintu itu dan menguncinya usai rapat daring dengan atasannya yang sedang berada di Eropa.
Lagipula malam tadi hujan deras mengguyur kota disertai petir yang menyambar-nyambar. Bila hujan, biasanya air memercik bagian dalam apartemennya.
Ia melipat kedua tangannya di dadanya seraya berjalan perlahan ke arah pintu balkon. Angin dingin bekas hujan beberapa jam sebelumnya serasa menusuk tulangnya.
Ketika ia menyibakkan tirai untuk menutup pintu, tiba-tiba ia dikejutkan dengan sesosok wanita bermuka putih pucat sedang berdiri di balkon apartemennya. Wanita itu berambut panjang dan berbaju putih panjang.
Nay memekik seraya meraih pegangan pintu, lalu menariknya cepat-cepat hingga menutup dan menguncinya. Ia berjalan mundur secara perlahan dengan nafas tersengal-sengal. Tangan kanannya memegangi dada kirinya.
Khawatir kalau ia sedang dirampok, ia berpikir mencari ponselnya di kamarnya untuk meminta bantuan. Tetapi ia segera sadar unitnya berada di lantai 25, bagaimana mungkin perampok itu bisa masuk dari luar?
Nay juga tidak mendengar pintu itu didobrak dari luar. Bila sosok itu hendak merampoknya, sosok itu pasti sudah mendobrak atau memecahkan pintu kaca itu setelah ketahuan oleh Nay.
Rasanya bukan perampok, pikir Nay. Ia meletakkan ponselnya kembali di atas meja lalu memutuskan berjalan perlahan ke arah pintu itu dengan langkah berjinjit.
Ia berhenti tepat di balik tirai yang menutupi pintu geser itu. Nay memejamkan kedua matanya. Ia merasa takut tetapi ia ingin tahu tentang sosok yang berada di balkon apartemennya.
Perlahan ia menyibakkan tirai itu dengan tangan kanannya, lalu membuka kedua matanya pelan-pelan. Sosok wanita itu masih di sana, melayang kira-kira satu meter di atas lantai balkon. Gaun putihnya berkibar-kibar seperti bendera yang tertiup angin.
Kedua bola mata wanita itu seluruhnya putih tanpa kornea, tapi seakan-akan menatap tajam ke arah Nay. Bibirnya kelabu pucat tertutup rapat, tapi ada semacam cairan merah seperti darah yang mengalir dari ujung kiri bibirnya.
Nay terkesiap, cepat-cepat menutup tirai dan berlari ke kamarnya. Sayangnya karena panik, ia tidak mampu menjaga keseimbangan tubuhnya. Tubuhnya terhempas di lantai ruangan yang berlantai keramik
Pandangan Nay gelap. Ia berada di sana hingga pagi tiba.
***
Selama seminggu lamanya Nay melihat sosok itu di balkon apartemennya, kadang jam 01.30, jam 02.00 atau jam 03.00. Ia selalu terbangun dini hari dengan kerongkongan kering.
Sosok wanita itu selalu di balkon apartemennya dan tidak ada gejala hendak menyerangnya. Tetapi tetap saja ia merasa takut karena pintu menuju teras balkon selalu dalam keadaan terbuka. Padahal ia sudah mengunci rapat sebelum tidur malam.
Ia menceritakan pengalamannya yang menyeramkan itu kepada beberapa sahabatnya di kantor.
"Wahh seram banget, aku bakal cabut dari apartemen itu kali," ujar Zey.
"Aku lebih takut perampok dari pada hantu. Karena perampok lebih kejam, bisa membunuh kita. Kalau hantu ya paling nakut-nakutin aja," tukas Vey.
"Aku bingung mau gimana. Ee, mungkin manggil orang pinter? Aku kenal beberapa teman yang temannya itu punya teman yang kerjaannya membersihkan rumah gitu. Membersihkan maksudnya memngusir hantu-hantu jahat semacam itulah," saran Mey.
Semua komentar temannya ia balas dengan senyuman saja. Ia tidak berniat untuk pindah, apalagi memanggil orang pintar. Kalau perampok, sistem keamanan apartemen lumayan bagus. Kamera CCTV terpasang di berbagai sudut apartemen. Ia juga bisa menghubungi tim keamanan gedung yang siaga 24 jam setiap hari.
Zey menawarkan Nay untuk tinggal bersamanya di kamar kosnya sementara waktu. Awalnya Nay menolak tapi akhirnya ia mengiyakannya.
Begitu juga dengan Mey dan Vey yang masih tinggal bersama kedua orang tuanya. Mereka menawarkan Nay untuk tinggal di rumah mereka. Nay juga menerima tawaran mereka.
Tetapi setelah seminggu tinggal bersama teman-temannya, ia merasa tidak enak telah merepotkan mereka. Mereka memang mengatakan "No problem", tetapi dalam hati mereka siapa yang tahu?
Berbekal sejumput keberanian, Nay berniat kembali ke apartemennya, tak peduli setan apa yang ia hadapi. Mey menawarkan diri untuk menemani Nay. Tentu saja Nay bersuka cita. Ia memeluk rekan bagian penjualan itu dengan erat.
***
Nay merasa senang karena Mey menemaninya di apartemennya setelah seminggu lamanya ia berpindah tempat tinggal. Nay membersihkan apartemennya sekadarnya, lalu memasak makan malam untuk mereka. Kemudian ia menyiapkan kasur lipat untuk tempat tidur temannya.
Mereka juga menikmati kopi hangat dan menyantap camilan di sofa sambil menonton film terbaru dari layanan peraliran video favoritnya di layar televisi digitalnya. Film drama komedi itu membuat suasana lebih ceria.
Ketika sedang menonton film, Nay sesekali menjelaskan kejadian aneh yang ia alami kepada Mey. Tetapi temannya cuma tersenyum sebentar, lalu mengembalikan pandangannya ke arah layar televisi.
Nay menghela nafas panjang. Ia merasa agak kecewa dengan respon Mey. Ia berharap ada percakapan yang mengasyikkan dengan Mey, tetapi temannya itu malah larut dengan film yang mereka tonton.
Nay menatap jam dinding di atas televisi, jam 20.30. Ia memilih beranjak dari sofa lalu berjalan menuju kamarnya untuk mengambil ponselnya yang sedang mengisi ulang daya. Layar ponselnya menunjukkan angka seratus persen, baterai ponselnya sudah penuh. Nay mencabut kabel pengisi daya lalu menyalakan ponselnya.
Ia membalas beberapa pesan singkat dari teman-temannya yang menanyakan tentang kondisinya. Tiba-tiba kedua matanya tertuju pada akun Mey yang mengiriminya pesan singkat:Â
Nay, kamu baik2 aÂ
Pesan itu terpotong. Nay mengetukkan telunjuk kanannya di layar ponselnya untuk membuka pesan lengkap dari Mey.
Kini pesan itu terbaca dengan jelas:Â
Nay, kamu baik2 aja kan? Aku ngerasa khawatir. Harusnya aku nemenin kamu, tapi gimana lagi aku lagi lembur laporan buat pak bos. Besok aja kali ya. Sorry banget 'n take care.
Nay terkejut setengah mati. Tanpa sadar ia melepaskan ponselnya dari jemarinya dan jatuh di atas meja. Kedua matanya membelalak, jemarinya gemetar, nafasnya lebih cepat, dadanya berdegup kencang. Ia menatap layar ponselnya, jam 02.00. Mendadak kecemasan menggelayuti dirinya.
Ia berusaha mengatur nafasnya dan perlahan menolehkan kepalanya ke kanan hingga dagunya mendekat ke bahu kanannya. Dengan perasaan was-was, Nay juga memutar tubuhnya ke kanan secara perlahan.
Layar televisi masih menayangkan film yang sama. Tetapi entah bagaimana lampu di area televisi kini tampak remang-remang. Sesaat kemudian ada kilatan petir, membuat ruangan itu sempat terang selama setengah detik.
Nay melihat kepala seseorang dari belakang sofa. Apakah itu Mey? Ia melangkahkan kakinya ke luar kamar selangkah demi selangkah.
"Emm... emm... Mey?" panggil Nay dengan suara lirih dan bergetar. Wajahnya diliputi kecemasan. Tetapi sosok yang sedang duduk di sofa itu tidak bergerak sedikitpun.
Kini Nay telah sampai di pintu kamarnya. Dari situ ia bisa mendengar suara hujan yang sangat deras di luar gedung apartemennya. Ia melihat pintu geser itu lagi-lagi terbuka. Tirai jendela bergerak diterpa angin dari luar, yang kali ini berhembus lebih kencang.
Nay merasa merinding. Kedua matanya fokus sebuah sosok yang sedang duduk di sofanya, yang hanya terlihat bagian atas kepalanya saja yang berambut hitam. Ia mengucap nama temannya sekali lagi, "Emm.. Mey..!" Kali ini ia setengah berteriak.
Tiba-tiba sosok itu menggerakkan kepalanya ke depan. Kini ia duduk dengan posisi tegak. Nay terkejut karena sosok itu berambut panjang dan berpakaian putih.
Ya Tuhan, itu bukan Mey. Itu hantu wanita yang meneror dirinya selama ini.
Jantung Nay berdegup kencang, apalagi ketika kepala sosok seram itu berputar 180 derajat. Nay merasa sangat takut.
Ia ingin berteriak tetapi entah mengapa ia tidak mampu. Lehernya seakan merapat, mencekik pita suaranya. Nay juga tidak bisa menggerakkan tubuhnya.
Tiba-tiba sosok itu bangkit dari sofa, lalu perlahan tubuhnya terangkat dan kini sepenuhnya melayang di atas sofa. Gaun putihnya berkibar-kibar terterpa angin kencang yang masuk melalui pintu geser itu.
Jantung Nay berdegup semakin kencang tidak karuan, nafasnya ngos-ngosan. Kedua matanya masih menatap hantu wanita itu dengan rasa takut yang amat sangat.
Tiba-tiba sosok itu terbang cepat ke arah Nay, mendorong tubuh Nay begitu kuatnya hingga Nay terhempas dan jatuh telentang di lantai kamarnya.
Pandangan Nay seketika gelap. Gelap sekali.
***
Semua teman-teman kantor Nay merasa cemas. Sudah tiga hari Nay tidak masuk kerja. Ini tidak biasanya karena Nay adalah staf kantor yang paling rajin.
Tidak ada informasi apapun dari Nay. Akun medsos Nay terakhir aktif tiga hari sebelumnya, jam 02.03. Berkali-kali dihubungi lewat telepon tapi selalu terdengar pesan bahwa nomor telepon Nay tidak dapat dihubungi.
Zey, Mey dan Vey sepakat untuk mendatangi apartemen Nay ketika istirahat makan siang. Sesampai di kompleks apartemen, mereka mendatangi lobi dan bertemu dengan resepsionis. Mey menceritakan tentang apa yang terjadi seraya mengutarakan maksud hendak mendatangi unit apartemen Nay.
Sang resepsionis membantu menelusuri daftar penyewa di semua tower lewat komputer, akan tetapi ia tidak bisa menemukan nama Nay di sana. Resepsionis itu juga menghubungi rekan kerjanya di ruangan lain, namun nama Nay tidak dapat ditemukan.
"Ee, Ini pesan yang pernah dia kirim. Nay tinggal di Tower F Unit 2505. Tolong dicek sekali lagi," kata Mey seraya menunjukkan layar ponselnya kepada sang resepsionis itu.
"Maaf, Tower F?" tanya sang resepsionis.
"Iya, Nay tinggal di Tower F Unit 2505. Ini foto wajahnya," kata Mey sambil berpindah ke aplikasi dari aplikasi perpesanan ke galeri foto.
Sang resepsionis mengernyitkan dahinya seraya menggelengkan kepalanya beberapa kali. Ia merasa tidak mengenal wajah yang ia lihat.
"Maaf, saya tidak mengenal Ibu Nay. Dari daftar penyewa juga tidak kami temukan namanya. Tapi saya harus menjelaskan bahwa Tower F di kompleks apartemen kami pernah terbakar sepuluh tahun lalu. Kami mengosongkan tower itu dan memindahkan semua penghuninya ke kompleks apartemen kami lainnya. Ada korban jiwa, seingat saya lima orang, semuanya meninggal dunia di rumah sakit," terang sang resepsionis.
"Tower itu juga kurang laku karena letaknya paling belakang, agak jauh dengan tower lainnya, dipisahkan dengan kolam renang dan area terbuka yang waktu itu adalah taman dan area parkir mobil. Sejak insiden itu, kami membangun pagar tembok tinggi. Sampai saat ini belum ada rencana untuk merenovasi Tower F. Saya dengar rencananya akan dirobohkan tapi belum tahu pasti," lanjut sang resepsionis.
Zey, Mey dan Vey terkulai lemas. Mereka duduk terdiam tanpa berkata-kata di sofa lobi apartemen selama beberapa waktu lamanya.
Sang resepsionis menunjukkan gedung Tower F dari teras lantai 10 Tower E, tower yang posisinya paling dekat dengan Tower F. Gedung itu tampak tak terurus, dikelilingi semak belukar di bagian bawah dan tanaman merambat di sejumlah tempat. Bagian dalamnya gelap.
Ketiganya saling berangkulan dengan mimik sedih. Tidak ada yang tahu dimana Nay kini berada.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H