Mohon tunggu...
Gatot Tri
Gatot Tri Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

life through a lens.. Saya menulis tentang tenis, arsitektur, worklife, sosial, dll termasuk musik dan film.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Hedonisme di Atas Uang Donasi

5 Juli 2022   19:10 Diperbarui: 5 Juli 2022   19:13 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Publik tanah air dikejutkan dengan pemberitaan mengenai dugaan penyelewengan dana donasi yang dilakukan oleh lembaga kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT). Awalnya majalah Tempo yang mengangkat ceritanya, disusul sejumlah media arus utama ikut memberitakannya sehingga isu ini pun semakin meluas ke seantero negeri.

Kalau media arus utama ramai memberitakan dugaan skandalnya, media sosial juga tak kalah riuh membahas apa yang terjadi di dalam lembaga tersebut. Bahkan ada pula yang menceritakan tentang gaya hidup hedon petinggi lembaga tersebut yang membuat kita cuma bisa geleng-geleng kepala sambil mengelus dada.

Akibatnya, muncul semacam trust issue di tengah masyarakat. Mereka yang pernah mendonasikan uangnya ke lembaga tersebut pun merasa geram dan menyesal karena merasa donasi mereka tidak tepat sasaran. Sebagian lainnya mengikhlaskannya tetapi dengan embel-embel: kelak mereka akan mempertanggungjawabkannya kepada Yang Maha Kuasa. Berarti sebenarnya merasa kurang ikhlas juga. Hmmm...

Kabar terbaru, pihak kepolisian sudah bergerak untuk melakukan penyelidikan. Apalagi setelah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan atau PPATK menemukan sejumlah transaksi janggal yang diduga berkaitan dengan aktivitas terlarang. (sumber: Kompas.tv)

Beberapa skandal di luar negeri

Skandal tentang penyelewengan uang donasi dari masyarakat sudah kerap terjadi. Para pelakunya melakukan berbagai cara-cara persuasif agar orang-orang baik hati mau mendonasikan uangnya. Ada yang nilainya kecil, ada juga yang besar, bahkan mungkin ada yang nilainya sangat besar misalnya donasi dari korporasi.

Organisasi sosial kemanusiaan yang mereka jalankan memang eksis, bukan scam. Akan tetapi mereka dengan lihainya membelokkan dana donasi yang diperoleh untuk membiayai gaya hidup hedon para petinggi organisasi tersebut.

Di Inggris misalnya, seorang pria asal Bristol bernama Brendan Joyce menyelewengkan dana amal rumah sakit untuk membeli ratusan mobil antik. Selain itu, ia juga menilap uang donasi tersebut untuk menyewa 80 garasi guna menampung mobil-mobil antik tersebut.

Nilai pembelian 105 unit mobil antik itu mencapai GBP 560 ribu atau sekira 8,2 miliar rupiah. Itu masih ditambah ongkos sewa garasi sebesar GBP 4.200 atau 62 juta rupiah per bulannya. (sumber: Viva.co.id)

Di Amerika Serikat (AS), skandal penyelewengan dana donasi berulang kali terjadi. Skandal-skandal tersebut dicatat rapi oleh laman CharityWatch.org.

Laman itu membuat daftar khusus para pelaku skandal dengan sebutan "CharityWatch Hall of Shame" yang bisa diartikan sebagai kumpulan orang-orang yang memalukan. Ini seperti plesetan dari frasa "Hall of Fame" yang artinya kumpulan orang-orang terkenal atau orang-orang hebat.

Salah satu penghuni daftar itu adalah William Aramony yang skandalnya cukup menyita perhatian publik AS di tahun 1990an. Aramony adalah Presiden dan CEO United Way of America (UWA) yang merupakan induk dari ribuan organisasi sosial dan kemanusiaan United Way yang tersebar di seantero AS. Ia sosok terkenal di AS dan menjadi salah satu pemimpin lembaga nirlaba paling berpengaruh di sana.

Publik terkejut ketika mengetahui bahwa ia melakukan penyelewengan dana donasi. Sebagian daftarnya, misalnya: pembelian apartemen mewah di kota New York untuk kekasihnya senilai USD 450 ribu atau sekira 900 juta rupiah (kurs tahun 1992, 1 USD kira-kira 2.000 rupiah), kencan keliling kota senilai USD 78 ribu atau sekira 156 juta rupiah, hingga merenovasi rumah pacarnya di Florida senilai USD 4,800 atau sekira 9,6 juta rupiah!

Asal tahu saja, Aramony pada waktu itu berusia 59 tahun dan kekasihnya adalah seorang perempuan remaja yang baru berumur 17 tahun! Sebenarnya Aramony hendak kencan dengan kakak sang gadis, tetapi Aramony malah naksir adiknya. Belakangan, kedua wanita itu juga sama-sama digelontori sejumlah uang dari Aramony.

Daftar expenses selanjutnya bisa membuat para donatur geram, jungkir balik, hingga mungkin pingsan. Aramony dan pacar ABG-nya ternyata juga pernah pelesir cantik ke sejumlah destinasi wisata dunia seperti Mesir, London, Las Vegas dan Atlantic City. Uangnya ya dari hasil donasi yang bejibun itu. Waduhh....

Sosok lain yang juga melakukan penyelewengan dana donasi adalah Roger Chapin. Ia menyebut dirinya sebagai wirausahawan nirlaba karena telah mendirikan lebih dari 30 organisasi amal dan proyek advokasi.

Organisasi amalnya bergerak di bidang perawatan penyakit Alzheimer dan kanker hingga organisasi kemanusiaan bagi para veteran perang. Ia adalah sosok yang pintar menggaet pendonor potensial dan kerap mengajak sejumlah selebritas untuk meng-endorse aktivitasnya.

Selaim mendanai program sosialnya, ia juga menggunakan uang hasil donasi untuk membiayai gaya hidup hedon Chapin dan istrinya. Hasil investigasi pemerintah AS menyebutkan bahwa antara tahun 2004 hingga 2006, Chapin mendulang uang donasi sebesar USD 168 juta atau sekira 1,5 triliun rupiah (kurs tahun 2006-2007, 1 dolar AS sekira 9.000 rupiah). Namun dari jumlah tersebut hanya sekira 25 persen yang ia salurkan untuk kegiatan sosialnya.

Selain itu, pemerintah AS juga menemukan penyelewengan uang donasi pada rentang tahun yang sama senilai USD 446 ribu atau sekira 4 milyar rupiah (kurs tahun 2006-2007, 1 dolar AS kira-kira setara dengan 9.000 rupiah). Chapin menggunakan dana itu untuk membeli sebuah apartemen mewah. Waoww...

Tapi dari sekian banyak penyelewengan dana donasi di AS, mungkin yang paling terkenal adalah skandal Tammy Faye Bakker atau Tammy Faye Messner. Ia sukses bermetamorfosis from no one to someone berkat donasi masyarakat dengan mengatasnamakan religi. ABCNews pernah mengulas tentang sepak terjangnya.

Jadi Tammy dan suaminya mengelola acara keagamaan di televisi yang terbilang sukses. Mereka mengajak orang berdonasi untuk mendukung kegiatan mereka. Orang mendonasikan apa saja kepadanya, mulai dari uang, pakaian mewah hingga perhiasaan berlian.

Donasi dari publik membuat kehidupan mereka pun kaya raya makmur sejahtera. Properti Tammy Faye tersebar dimana-mana, salah satunya adalah sebuah hotel 500 kamar dan kompleks waterpark di South Carolina. Widihh...

Fasilitas akomodasi dan rekreasi itu dibangun dari uang donasi yang digalang di tahun 1980an. Nilainya lebih USD 66 juta atau sekira 66 milyar rupiah dengan kurs tahun segitu. Sungguh fantastis!

Kisah kehidupan Tammy Faye diangkat ke layar lebar dengan judul "The Eyes of Tammy Faye" (2021) yang dibintangi oleh Jessica Chastain dan Andrew Garfield. Di anugerah Academy Awards 2022 lalu, Chastain meraih piala Oscar pertamanya berkat perannya sebagai Tammy Faye di film ini.

Mengapa mereka melakukannya?

Uang hasil donasi yang diterima organisasi sosial kemanusiaan bisa mencapai jutaan hingga miliaran rupiah setiap bulannya bergantung skala organisasinya. Semakin besar skalanya, maka semakin banyak uang donasi yang diperoleh.

Bila pemimpin suatu organisasi nirlaba memiliki kecakapan bekerja, beretika, bermoral dan berintegritas tinggi, uang sebanyak itu pasti akan membuat kepalanya pening. Ia akan berusaha memastikan sebagian besar atau bahkan semua program yang dilakukan organisasinya bisa mendapatkan alokasi dana semaksimal mungkin.

Akan tetapi bila pemimpinnya tidak cakap, tidak beretika, nihil moral dan mengabaikan integritas, uang sebesar itu justru akan membuatnya ngiler. Ia akan tergoda untuk memanfaatkan uang sebanyak itu demi memenuhi syahwat pribadinya. Awalnya sedikit, lama-lama ya gitu deh... ketagihan.

Bahkan orang-orang yang kesehariannya nampak religius bisa menjadi sosok yang tamak ketika melihat uang yang begitu banyak dan tak berhenti mengalir setiap harinya. Dengan sedikit niat jahat, uang hasil donasi pun bisa ditilap.

Misalnya kasus korupsi infak masjid yang menyeret eks bendahara sebuah masjid di wilayah Sumatera Barat. Ia terbukti menyelewengkan dana zakat dan infak kegiatan hari raya keagamaan masjid yang nilainya mencapai miliaran rupiah. (sumber: Detik.com)

Satu kasus lainnya terjadi di Riau. Pelakunya juga menjabat sebagai bendahara masjid. Ia menngambil uang infak sedikit demi sedikit sejak tahun 2015 hingga kira-kira tahun 2019 untuk kebutuhan sehari. Padahal ia bekerja sebagai seorang ASN. Kurang apa coba? (sumber: Suara.com)

DPR merasa sudah saatnya ada instrumen hukum

Kembali ke isu ACT, kabar ini sudah sampai di telinga DPR yang meminta polisi untuk mengusutnya. Menurut salah satu anggota DPR, proses hukum penting agar menjadi pelajaran bagi lembaga-lembaga filantropi lainnya agar tidak melakukan tindakan penyelewengan serupa. (sumber: Tempo.co)

Lebih lanjut, sebagaimana dilansir oleh Suara.com, kasus ACT ini bisa membuka jalan penyusunan undang-undang tentang pengumpulan dana amal atau "UU Charity". Bisa jadi isu yang saat ini mengemuka merupakan fenomena gunung es dimana pelakunya mungkin bisa lebih banyak lagi.

Di Inggris misalnya, sudah ada instrumen hukum berkaitan dengan pengelolaan dana amal atau donasi yang disebut dengan "Charity Law" yang di dalamnya terdapat sejumlah instrumen hukum seperti "Charities Act 2011" dan "Charities (Protection and Social Investment) Act 2016" . Begitu juga Australia yang telah memiliki instrumen hukum "Charities Act" yang berlaku sejak Januari 2014 lalu.

Sebenarnya instrumen hukum tersebut positif, tapi bila diterapkan di Indonesia ada kemungkinan orang-orang menjadi kurang nyaman. Mau donasi kok ada aturan-aturannya. Tetapi dari kacamata hukum, dari pada diselewengkan maka harus dilindungi dengan payung hukum. Jadi instrumen hukumnya nanti mengikat lembaga pengelola donasi, bukan donaturnya.

Tetapi dari semua pihak di seputar isu penyelewengan dana donasi ini, pihak yang paling dirugikan pastinya orang-orang atau lembaga yang berhak menikmati donasi. Karena donasi dari masyarakat bisa jadi tidak sampai kepadanya atau cuma sedikit yang sampai. Dalam konteks rumah ibadah seperti masjid atau mushola misalnya, bangunannya mungkin tidak jua jadi.  

Di AS, guna mencegah atau meminimalisir terjadinya penyelewengan dana donasi, pemerintah setempat membuat laman khusus bertajuk "Donating to Charity" yang berisi segala informasi mengenai kegiatan donasi mulai dari mencari informasi tentang lembaga donasi, penjelasan mengenai bentuk donasi, hingga mewaspadai scam. Begitu pula dengan Lembaga Perlindungan Konsumen AS yang juga membuka laman khusus "Before Giving a Charity" yang berisi panduan sebelum masyarakat menyampaikan donasinya.

Badan intelijen FBI juga membuat laman khusus bertajuk "Scams and Safety" untuk memberitahu orang-orang agar waspada terhadap aktivitas amal bodong. Badan tersebut juga memberikan sejumlah saran praktis untuk orang-orang dermawan nan baik hati yang hendak mendonasikan hartanya agar tidak tersalurkan di lembaga atau organisasi yang salah.

Sebagai penutup, rasanya kita perlu menyimak lagu lawas dari ABBA berjudul "Money, Money, Money" yang pernah hits di tahun 1976 silam. Lagu itu menceritakan tentang betapa nikmatnya bila punya banyak uang. Boleh banyak uang, tapi dari usaha atau bisnis sendiri ya, bukan dengan menilap uang donasi. Hehe..


***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun