Kita kerap melihat tayangan atau membaca artikel tentang rumah bergaya modern minimalis, yang artinya rumah dengan arsitektur modern yang memiliki ruang-ruang dan perabot yang diperlukan saja.Â
Rumah seperti ini umumnya tidak luas. Oleh karena itu desain interiornya harus menciptakan kesan lapang dan lega bagi penghuninya.
Nah, ternyata kini selain hunian minimalis, manusia modern juga mengenal gaya hidup minimalis. Gaya hidup ini tidak sekadar menghuni rumah modern minimalis, tetapi juga meminimalisasi barang-barang yang dimiliki.
Misalnya, hanya memiliki satu set peralatan makan bagi yang masih lajang. Bila telah berkeluarga, jumlah set peralatan makan disesuaikan dengan jumlah anggota keluarganya. Begitu juga dengan peralatan tidur hanya tersedia satu bantal, satu selimut dan satu kain sprei misalnya.
Penganut gaya hidup minimalis juga memiliki pakaian yang bisa dihitung dengan jari. Tidak banyak barang yang disimpan di lemari. Hanya ada beberapa buku yang terpajang di rak buku.Â
Tidak ada pernak-pernik unik di rumahnya, misalnya ragam souvenir dari negara atau tempat wisata yang pernah dikunjungi.
Gaya hidup minimalis berlawanan dari gaya hidup maksimalis yang cenderung memenuhi tempat tinggalnya dengan banyak barang yang belum tentu bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari.
Perkembangan gaya hidup minimalis
Gaya hidup minimalis mulai berkembang pada tahun 1950-an hingga 1960-an di kota New York, Amerika Serikat.Â
Pada waktu itu terjadi perubahan seni ke bentuk-bentuk yang sederhana yang mendorong seni geometris sederhana yang marak di akhir abad ke-20, demikian menurut Alice Healy di laman Johns Chronicle.
Sebutan lain gaya hidup minimalis adalah simple living atau diartikan sebagai hidup sederhana. Sederhana bukan berarti tidak mampu membeli barang, tetapi mungkin karena sikap realistis.Â
Harga hunian yang meroket tajam di New York City membuat orang mulai berpikir untuk memperkecil space atau ruangan tetapi tetap memberikan kualitas hidup yang tidak berubah.
New York City bisa disebut sebagai kota sejuta apartemen. Nyaris tidak ada manusia yang hidup di rumah tapak di seantero kota yang dipenuhi dengan gedung-gedung jangkung. Karena unit apartemen umumnya memliki luasan terbatas, gaya hidup minimalis pun menjadi satu-satunya pilihan.
Misalnya hanya memiliki satu unit ranjang, bahkan kadang hanya satu matras untuk tidur. Hanya ada satu lemari pakaian, satu lampu yang menerangi seluruh ruangan, dan lain-lain. Intinya hanya perabot yang betul-betul esensial yang mereka perlukan untuk kehidupan sehari-hari.
Sebetulnya gaya hidup minimalis ini sudah ada sejak dulu kala, biasanya dilakukan oleh orang-orang saleh dengan tingkat religi/spiritualisme yang tinggi. Tak heran karena mereka biasanya anti materialistis yang menomorsekiankan duniawi.
Sebelum berkembang di kota New York, gaya hidup minimalis dilakukan oleh sejumlah figur di masa lalu. Misalnya Henry David Thoreau, penulis dari AS yang melakukan eksperimen hidup sederhana selama dua tahun di tepian danau Walden, di wilayah Concord, Massachusetts.
Thoreau tinggal di sebuah ruangan dengan unit perapian yang hanya terdiri dari satu ranjang, satu set meja makan dan satu set meja kerja. Hasil eksperimennya ia tulis dalam buku berjudul Walden (1854).
Edisi bahasa Inggris buku tersebut menjadi nomor satu di Amerika Serikat versi New York Times. Buku tersebut sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan telah dicetak ulang hingga ke-14 kalinya.
Kondo, seorang konsultan kebersihan dari Jepang memperkenalkan metode revolusioner beres-beres rumah yang diberi nama KonMari, metode menyederhanakan, mengatur, dan menempatkan barang-barang di rumah. Inspirasinya dari nilai-nilai religius Shintoisme.
Dalam buku tersebut, Kondo memberikan masukan praktis secara bertahap sedikit demi sedikit, dari ruang ke ruang yang akan membuat orang tidak mengulang kembali kekacauan di rumah. Hal ini mendorong orang untuk membeli barang yang sangat diperlukan saja.
Sejumlah tayangan video beres-beres ala Marie Kondo di YouTube sangat menarik dan bermanfaat. Tips itu bermanfaat buat anak muda masa kini. Apalagi kalangan milenial punya mindset praktis yang sejalan dengan konsep gaya hidup minimalis.
Sebuah survey dari Harris Poll and Eventbrite yang dikutip oleh Bloomberg di tahun 2016 lalu mengindikasikan bahwa kalangan milenial lebih senang pengalaman daripada membeli barang.
Lihat saja gaya hidup milenial masa kini yang senang melakukan perjalanan ke spot wisata tanah air bahkan luar negeri. Tidak hanya sekadar mendapat pengalaman tetapi juga demi feed media sosial mereka.
Sebuah artikel di Forbes, juga di tahun 2016 lalu menjelaskan tentang Robin Report yang dibuat oleh pakar retail Robin Lewis.Â
Laporan tersebut mengungkapkan bahwa generasi milenial adalah generasi yang lebih mementingkan style of life (gaya hidup) dari pada stuff of life (barang-barang).
Gaya hidup minimalis dan kesadaran lingkungan sekitar
Less is more adalah prinsip hidup minimalis yang lebih mementingkan nilai atau manfaat suatu barang daripada kuantitas barang.Â
Pada tataran yang lebih tinggi, gaya hidup minimalis tidak hanya sekadar membatasi pengeluaran-pengeluaran yang tidak perlu demi barang-barang tertentu.
Sebagian orang yang menerapkan gaya hidup minimalis oleh karena kesadaran akan kelestarian lingkungan.Â
Penganut gaya hidup minimalis memiliki pemahaman yang sama dengan konsep green living/eco living/eco lifestyle atau sebutan lain tentang gaya hidup ramah lingkungan.
Ini karena mereka hanya menggunakan apa yang mereka butuhkan saja. Misalnya hemat menggunakan listrik, AC, lampu, air bersih, bahan bakar, dan sebagainya.Â
Bahkan ada yang menyingkirkan sejumlah item dalam kehidupannya, misalnya microwave atau toaster. Bahkan yang paling ekstrim hidup tanpa uang.
Bila mereka memerlukan suatu barang, mereka membeli barang yang betul-betul diperlukan. Mereka tidak merasa sayang bila melewatkan suatu promosi barang tertentu yang tidak betul-betul diperlukan.
Bahkan pada level yang lebih tinggi terdapat pembatasan barang yang mereka beli. Misalnya ada yang membeli bahan makanan untuk dimasak dan dikonsumsi di hari itu juga.Â
Mereka tidak ingin berlebihan menyimpan bahan makanan karena bisa kedaluwarsa dan akhirnya terbuang sia-sia.
Dalam hal pakaian, misalnya, mereka hanya memiliki beberapa helai pakaian saja yang paling mereka perlukan. Bila berlebihan, mereka akan menyingkirkannya dari rumah, misalnya dengan menjualnya kembali atau menyumbangkannya.
Pakaian sepintas nampak sepele, tetapi bila semakin banyak akan menjadi bumerang. Kita tidak mungkin terus-terusan membeli lemari baru untuk menampung seluruh pakaian yang kita beli.Â
Gaya hidup minimalis dapat menekan nafsu membeli dan menimbun pakaian lebih banyak lagi.
Padahal masih banyak orang di sekitar kita yang tidak mampu membeli baju. Dengan menyumbangkan sebagian baju-baju layak pakai kepada mereka, khususnya kepada para korban bencana alam, maka kita bisa memberikan kebahagiaan pada orang lain.
Terkadang memilih gaya hidup minimalis memiliki konsekuensi mengorbankan memori atau kenangan. Souvenir dari tempat wisata memang menarik untuk dikoleksi.Â
Seiring dengan frekuensi traveling yang semakin meningkat, biasanya jumlah souvenir di rumah akan meningkat pula. Rumah pun menjadi sarang souvenir yang semakin penuh.
Tetapi bagi penganut minimalis, souvenir bukan tujuan mereka. Pengalaman adalah hal terpenting ketika melakukan perjalanan. Bahkan foto-foto perjalanan pun lebih praktis disimpan di layanan cloud server alih-alih mencetaknya di atas kertas foto atau membeli media penyimpanan yang tidak murah dan rentan rusak atau hilang.
Gaya hidup minimalis menekan gaya hidup penuh utang
Di bagian sebelumnya sudah dibahas bahwa gaya hidup minimalis adalah mengutamakan hal yang esensial saja dalam kehidupan sehari-hari.Â
Oleh karena itu, gaya hidup ini dapat mendorong kehidupan seseorang ke arah yang positif, tidak konsumtif, tidak obsesif yang dengan sendirinya akan memperkecil potensi hidup penuh hutang.
Kadang kita memaksakan diri untuk berutang demi bisa membeli gawai atau kendaraan yang sama dengan atau lebih oke dari milik teman atau tetangga.Â
Kadang ada rasa bahagia bila memiliki itu semua. Padahal harga gawai atau kendaraan terbaru dengan fitur terlengkap sering di atas kemampuan kita. Hati-hati, bisa saja terjerat hutang yang besar yang bisa menjerumuskan hidup kita.
Gaya hidup minimalis mampu menekan sebagian besar keinginan yang kadang tidak beralasan.Â
Gaya hidup minimalis membuat kita berdialog dengan diri sendiri: Apakah kita perlu barang ini? Apakah kita ingin barang ini? Apakah barang ini berguna dalam jangka pendek atau jangka panjang? Dan lain-lain.
Bahkan kalau toh kita mampu membelinya, gaya hidup minimalis mencegah kita untuk berbuat tamak. Selama item barang tersebut masih bisa dipakai, mengapa tidak? Kecuali bila betul-betul rusak dan tidak dapat digunakan lagi baru mempertimbangkan untuk membeli yang baru.
***
Mengadopsi gaya hidup minimalis dalam kehidupan kita sehari-hari adalah pilihan. Semuanya berpulang pada masing-masing individu. Tetapi dengan banyaknya nilai positif dalam gaya hidup minimalis, tidak ada salahnya kita mencobanya.Â
Siapa tahu bisa membantu kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Berikut salah satu video tentang gaya hidup minimalis yang dilakukan oleh salah seorang penulis dari Jepang, Fumio Sasaki.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H