Mereka tidak ingin berlebihan menyimpan bahan makanan karena bisa kedaluwarsa dan akhirnya terbuang sia-sia.
Dalam hal pakaian, misalnya, mereka hanya memiliki beberapa helai pakaian saja yang paling mereka perlukan. Bila berlebihan, mereka akan menyingkirkannya dari rumah, misalnya dengan menjualnya kembali atau menyumbangkannya.
Pakaian sepintas nampak sepele, tetapi bila semakin banyak akan menjadi bumerang. Kita tidak mungkin terus-terusan membeli lemari baru untuk menampung seluruh pakaian yang kita beli.Â
Gaya hidup minimalis dapat menekan nafsu membeli dan menimbun pakaian lebih banyak lagi.
Padahal masih banyak orang di sekitar kita yang tidak mampu membeli baju. Dengan menyumbangkan sebagian baju-baju layak pakai kepada mereka, khususnya kepada para korban bencana alam, maka kita bisa memberikan kebahagiaan pada orang lain.
Terkadang memilih gaya hidup minimalis memiliki konsekuensi mengorbankan memori atau kenangan. Souvenir dari tempat wisata memang menarik untuk dikoleksi.Â
Seiring dengan frekuensi traveling yang semakin meningkat, biasanya jumlah souvenir di rumah akan meningkat pula. Rumah pun menjadi sarang souvenir yang semakin penuh.
Tetapi bagi penganut minimalis, souvenir bukan tujuan mereka. Pengalaman adalah hal terpenting ketika melakukan perjalanan. Bahkan foto-foto perjalanan pun lebih praktis disimpan di layanan cloud server alih-alih mencetaknya di atas kertas foto atau membeli media penyimpanan yang tidak murah dan rentan rusak atau hilang.
Gaya hidup minimalis menekan gaya hidup penuh utang
Di bagian sebelumnya sudah dibahas bahwa gaya hidup minimalis adalah mengutamakan hal yang esensial saja dalam kehidupan sehari-hari.Â
Oleh karena itu, gaya hidup ini dapat mendorong kehidupan seseorang ke arah yang positif, tidak konsumtif, tidak obsesif yang dengan sendirinya akan memperkecil potensi hidup penuh hutang.
Kadang kita memaksakan diri untuk berutang demi bisa membeli gawai atau kendaraan yang sama dengan atau lebih oke dari milik teman atau tetangga.Â