Jadi secara kondisi finansial, para guru honorer ini tidak secure. Selain itu, mereka juga tidak mendapatkan hak yang sama dengan guru-guru yang telah menjadi ASN, misalnya tunjangan sertifikasi. Selama menjadi guru honorer, jaminan kesehatan dan hari tua pun tidak mereka miliki, tunjangan pensiun apalagi.
Padahal bila menengok beban kerja mereka tidak berbeda dengan guru yang berstatus ASN. Di Solo misalnya, sebagaimana dilansir oleh Solo Pos, ada seorang guru honorer bernama Ina yang digaji hanya Rp 250.000 per bulan. Bahkan bila sekolah tempatnya mengabdi tidak memiliki cukup dana, ia hanya menerima Rp 100.000 per bulan. Kadang pernah tidak digaji sama sekali.
Anda masih ingat dengan Nur Kalim? Ia guru asal Gresik, Jawa Timur yang pernah tenar karena video viral yang merekam perilaku buruk salah satu muridnya yang berani menantangnya. Sebagai guru honorer, kabarnya ia mendapat gaji sebesar Rp 450.000 per bulan. (sumber)
Jumlah guru honorer seperti Ina dan Nur Kalim di sekolah-sekolah negeri di Indonesia cukup banyak, angkanya 736 ribu orang! Angka ini merupakan hasil survei yang dilakukan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada akhir tahun 2018 lalu. Dalam survei tersebut, terdapat temuan bahwa sekira 30 ribu guru honorer sudah tidak bekerja lagi di sekolah dimana ia pernah terdaftar. Demikian informasi dari Kompas.com.
Lalu mengapa ada guru honorer? Tribun News Kaltim pada 15 April 2019 lalu mengutip informasi yang disampaikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy bahwa peran guru honorer masih sangat dibutuhkan, yakni sebagai guru pengganti karena adanya guru pensiun, adanya penambahan sekolah baru, adanya penambahan ruang kelas baru, atau sebagai pengganti guru meninggal maupun mengundurkan diri.
Pada Juni 2018 lalu, sebagaimana dilansir oleh detik.com, Mendikbud mengungkapkan bahwa sektor pendidikan memang mengalami kekurangan guru PNS sehingga guru honorer sangat dibutuhkan. Tercatat kekurangan guru di sekolah negeri sebanyak 988.133 orang. Sedangkan, jumlah guru PNS yang telah pensiun mencapai 295.779 orang.
Pernyataan Mendikbud mengenai kebutuhan guru honorer tersebut sekilas logis karena berdasarkan pada data-data primer dari Kemendikbud. Namun di sisi lain, tertangkap kesan bahwa Kemendikbud kurang memiliki langkah strategis dalam manajemen tenaga kependidikan sehingga karut-marut isu guru honorer selalu mengemuka.
Bisa jadi ketika pihak sekolah sangat memerlukan guru baru untuk menggantikan guru yang memasuki masa pensiun, maka pihak sekolah merekrut guru baru sendiri yang diangkat oleh kepala sekolah. Sekolah memberikan gaji guru honorer sesuai kemampuan sekolah, bahkan terkadang ala kadarnya. Padahal banyak diantara gur honorer yang bergelar sarjana, bahkan ada yang telah berkeluarga.
Beberapa diantara mereka hidup bak gali lubang tutup lubang. Sebagian ada yang memiliki hutang dimana-mana karena gaji yang diberikan oleh pihak sekolah kurang memadai. Ada sebagian sekolah yang mampu menggaji guru honorer dengan gaji setara UMR / UMK tetapi itu tidak banyak, misalnya sekolah-sekolah negeri di kota-kota besar.
***
Baru-baru ini ada angin segar menerpa, membuat hati para guru honorer berbunga-bunga. Sebuah sistem rekrutmen ASN baru yang bernama Seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (Seleksi PPPK) memberikan kesempatan para guru honorer menjadi ASN meski usia mereka telah melewati batas maksimal ASN baru.