Sudah lebih dari setahun ini saya tinggal di kota. Sebuah kota megapolitan dengan ratusan gedung pencakar langit di sana. saya tinggal di lantai tiga puluh satu sebuah unit apartemen yang hanya seluas 30 meter persegi. Saya menyebutnya rumah. Tidak masalah bukan saya menyebutnya demikian? Bukankah tempat dimana kita tinggal dengan nyaman adalah rumah? Home? Tidak peduli itu sempit atau lebar.
Hari ini hari Minggu, jam 07.14 pagi. saya belum mampu beringsut dari ranjang saya. Di ujung ranjang saya adalah dinding dengan jendela lebar yang menyuguhkan pemandangan hamparan kota yang indah tapi sepi. Kota pagi ini terasa sunyi. Hampir kosong melompong. Orang-orang yang sehari-hari mengisi kesibukan kota hari Senin hingga Sabtu mungkin sedang melakukan hal yang sama dengan saya. Mager di ranjang.
Tapi mereka melakukannya di rumah-rumah mereka yang terletak di pinggiran kota atau di beberapa kota satelit. Mereka mungkin lebih pantas mendapatkan hari Minggu daripada saya. Setiap pagi dan sore atau malam hari mereka pasti berjibaku dengan kemacetan lalu lintas. Berdesak-desakan di bus kota, kereta api ataupun subway. Mereka bahkan sudah lelah ketika sampai kantor, dan mungkin empat kali lebih lelah ketika sampai rumah pada malam harinya.
Saya sendiri di hari Senin hingga Sabtu bekerja di beberapa proyek konstruksi gedung di luar kota, kadang luar pulau. Sebagai electrical engineer di sebuah perusahaan kontraktor yang punya banyak proyek di berbagai tempat, saya harus siap berpindah-pindah proyek dan tempat tinggal.
Suatu hari, saya tinggal di sebuah rumah yang disewa perusahaan bercampur dengan puluhan orang lain yang tidak saya kenal baik. Suatu hari lainnya saya tinggal di sebuah tempat semacam barak yang lebih mirip kandang ayam. Serius.
Usai bekerja selama sehari penuh, aroma peluh para kru proyek bercampur baur menjadi satu. Ruangannya juga super berantakan. Tapi bau itu akan pudar sepenuhnya setelah kami membersihkan diri satu per satu. Kecuali kondisi berantakan yang tidak akan pernah menjadi rapi.
Hari Minggu adalah hari saya yang tidak bisa diganggu gugat. Well, tak ada salahnya saya menikmati mager sepanjang hari Minggu di rumah saya sendiri, menikmati kesendirian di kota. Apalagi matahari agak redup menyinar usai hujan mengguyur kota semalam. Cuacanya cukup syahdu untuk bersantai seharian. Beberapa awan kelabu masih terlihat di atas gedung-gedung perkantoran dan apartemen.
Mungkin nanti siang saya akan turun ke bawah mencari makanan dan kudapan untuk teman menonton televisi. Tapi rasanya penat ini masih menggelayut, masih cukup kuat menahan saya untuk keluar dari ranjang. Bahkan untuk meraih gelas berisi air putih sekalipun di meja di sebelah ranjang. Dengan susah payah, akhirnya saya berhasil meraih gelas itu dan meminum isinya dengan sekali teguk. Tandas.
Saya kembali ke ranjang, menatap layar televisi tanpa suara. Sengaja saya buat mute karena saya ingin ketenangan. Lama-lama kedua mata saya terasa berat dan nampaknya saya bakal terhempas di alam mimpi lagi.
Brrrtttt... brrrtt.... Tiba-tiba suara getar dari ponsel di atas meja kecil di samping ranjang sontak mengejutkan saya, membatalkan perjalanan saya ke dunia mimpi.
Riza, Â teman kantor. Ia perlu beberapa dokumen instalasi jaringan listrik untuk proyek pertokoan besar di luar pulau. Hari ini ada beberapa orang yang akan lembur mengerjakannya. Saya menggeleng-gelengkan kepala, mereka tetap masuk di hari Minggu ini. Tapi yah, sudahlah. Dengan beberapa kali tap, file desain instalasi kelistrikan berukuran hampir lima gigabita sukses terkirim ke emailnya.