Mohon tunggu...
Gatot Suryanto
Gatot Suryanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Remaja thn 90an

Bersyukur ada sahabat di Kompasiana yang dapat menjadi inspirasi dan motivasi.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Penghancur Kutukan Sisyphus Itu Bernama Stoikisme

10 Desember 2022   08:53 Diperbarui: 10 Desember 2022   08:56 975
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah untuk yang ke berapa ribu kali terulang. Raja Ephyra, Sisyphus kembali mendorong batu besar yang sama itu ke atas bukit. Tangannya yang berotot bergetar mendorong batu besar di depannya. Keringat mengalir bagaikan anak sungai yang diciptakan Dewa Sungai Asopus di kening dan pipi Sisyphus. Kakinya berusaha melangkah tertatih walau kadang terpeleset hingga tumitnya memerah. Namun demikian, tak ada sedikitpun terpancar keinginan menyerah di wajahnya. Sisyphus berdarah darah, tetapi tetap terus  mendorong batu besar itu ke atas bukit, walau pada akhirnya sia sia. Karna sesampainya dipuncak bukit , batu itu akan meluncur kembali ke bawah. Sisyphus terobsesi, ambisinya yang besar untuk membawa batu itu ke atas bukit membuatnya berlari mengejar batu itu untuk didorong kembali ke atas bukit.

Ambisinya itulah yang membuat Sisyphus tak lelah. Beribu ribu kali mendorong dan mendorong batu besar itu kembali ke atas bukit. Ya. Zeus telah mengutuk Sisyphus, seorang raja besar dari kerajaan Ephyra dengan kutukan yang membuatnya memiliki ambisi untuk selalu mendorong batu besar ke atas bukit, walau tiap kali sampai di puncak, batu itu akan segera menggelinding ke bawah kembali.

Dalam mitologi Yunani, sosok Sisyphus bukanlah tokoh yang asing. Ia awalnya adalah raja di Ephyra yang sangat cerdas, cerdik bahkan cenderung  licik. Dan kecerdikannya kerap  digunakan untuk hal yang kurang bijaksana. Suatu ketika, Sisyphus membuat Zeus sangat marah, karna ia  berani membocorkan rahasia Dewa Zeus yang tak pantas kepada Dewa Asopus, dengan imbalan supaya diberi pengairan yang subur bagi kerajaannya. Bahkan dengan kecerdikannya, Sisyphus berhasil merantai Dewa kematian Thanatos yang sedianya diperintahkan menangkap Sisyphus dan merantainya. Setelah apa yang dilakukan Sisyphus telah dianggap melampaui batas, Zeus murka. Dengan segenap kewenangannya, ia menjebloskan Sisyphus ke neraka, dan mengutuknya menjadi pendorong batu besar ke atas bukit lagi dan lagi.

Kita adalah Sisyphus?

Kita mungkin sebenarnya juga adalah Sisyphus. Ketidak pernah puasnya kita boleh jadi adalah kutukan Zeus seperti yang ditimpakan kepada Sisyphus. Pernahkah kita menyadari, bahwa setiap hal yang kita raih dan miliki, tidak pernah membawa kita pada kata selesai dan puas?

Setiap Goal yang telah kita capai melalui perjuangan yang berat dan terjal tidak akan pernah membuat kita berhenti ketika kita memandang ada yang lebih baik di luar sana menurut pandangan kita. Pada titik ini, kita akan selalu kembali mempersiapkan perjuangan baru untuk mencapai goal yang baru. Begitu terus dan terus. Kita selalu insecure dengan apapun yang kita telah raih. Dan berusaha berjuang mencapai hal lain yang kita anggap lebih baik itu. Oleh karenanya seberapapun kekayaan seseorang, tidak akan membuatnya berhenti dan merasa selesai.

Wolter Robert van Hovell, seorang prosais Belanda di sekitar abad ke-19 pernah menceritakan alegori ketidakpuasan manusia secara satir dalam cerita pendek berjudul Japanse Steenhower (Pemecah Batu Jepang). Cerita pendek ini  terbit pertama kali dalam Tijdschrift voor Nederlandsch-Indi (Jurnal Hindia Belanda), majalah yang didirikan oleh Hovell sendiri dengan tujuan menyampaikan gagasan dan tujuan moral politiknya

Sedikit cerita dari cerpen Japanse Steenhower adalah dimana ada seorang Jepang yang bekerja sebagai kuli pemecah batu. Sebenarnya ia adalah seorang pekerja keras dan giat. Namun suatu hari, ia dihinggapi rasa bosan dan jenuh dengan pekerjaan rendahnya. Ia sangat ingin hidupnya berubah. Menjadi orang kaya dan santai tanpa perlu bekerja keras.

Pada suatu ketika, Dalam permohonannya yang mendalam, malaikat mendengar dan mengabulkan keinginannya untuk menjadi orang kaya. Dalam keajaiban, iapun menjadi orang kaya yang santai. Namun seiring berjalannya waktu, ia mulai bosan dan tidak puas dengan kekayaannya. Lalu seorang raja lewat di jalan depan rumahnya  lengkap dengan pengawal dan berpayung emas. Lantas iapun mandaraskan permohonan untuk bisa menjadi raja itu. Lalu malaikat yang samapun kembali mengabulkan keinginannya.

Namun suatu ketika, pemecah batu yang sudah menjadi raja itu kecewa dengan payung emasnya yang tak mampu melindunginya dari panas teriknya matahari. Sambil merenung iapun berfikir alangkah hebat dan berkuasanya bila ia menjadi matahari yang tentu tak akan ada yang mampu menghalanginya termasuk seorang raja. Iapun kembali mengeluh dan ingin menjadi matahari. Setelah menjadi matahari segumpal awan lewat menghalangi sinarnya dan ia mengeluh lagi. Ia ingin jadi awan. Awan menjadi hujan besar, hujan besar jadi banjir yang memporak-porandakan semua benda di muka bumi, kecuali sebongkah batu. Dan secercah awan itu jengkel karena lagi-lagi kekuasaannya ternyata begitu terbatas. Ia kemudian ingin jadi batu.

Ketika ia telah menjadi batu, seorang lelaki kekar datang membawa beliung. Si batu akhirnya sadar, bahwa sesungguhnya seorang pemecah batu adalah sosok yang punya secuil kuasa, setidaknya pada sebongkah batu yang keras dan ngotot. Untuk terakhir kalinya ia meminta, ingin dikembalikan wujudnya menjadi pemecah batu.

van Hovell,  melalui satire klasik yang ditulisnya itu berusaha memberitahukan tentang apa yang menjadi penyebab lahirnya keluhan keluhan manusia,  yaitu ketidakpuasan dan ambisi mencari keidealan  yang berasal dari fikirannya sendiri..

Dalam mengejar sesuatu yang diinginkan, manusia dihadapkan pada dua kemungkinan; Berhasil atau Gagal. Sesuai ekspektasi atau tidak.  Sayangnya, kedua kemungkinan tersebut mengalir pada muara yang satu, yaitu ketidakpuasan.

Ketidakpuasan itu bisa muncul dalam bentuk kegagalan, depresi, stress, kecewa, perasaan hancur, kehilangan harapan, dan emosi negatif lainnya ketika dalam memperjuangkan sesuatu kita gagal dan tidak sesuai ekspektasi.

Ketidakpuasan juga muncul dalam wujud bosan, ingin lebih atau perasaan resah, insecure, merasa tidak lagi berharga, walau apa yang kita perjuangkan sebelumnya berhasil diraih sehingga kita memiliki keinginan untuk meraih yang lebih tinggi lagi dari yang ada di luar sana menurut fikiran kita.

Dalam proses menggapai keinginan yang lebih tinggi lagi menurut fikiran kita itu, siklus berulang kembali dengan menawarkan dua kemungkinan yang sama, dan mengalir pada muara yang sama pula. Ketidakpuasan.

Ketidakpuasan itu adalah batu besar milik Sisyphus yang selalu menggelincir kembali ke dasar bukit setelah batu itu sampai di puncak. Dan disadari atau tidak, kita,seperti ikut dalam kutukan itu, selalu  kembali mendorongnya menaiki bukit,dengan penuh penderitaan.

Namun, sepertinya menjadi Sisyphus adalah kodrat. Secara umum, manusia sepertinya memang tak mudah untuk bisa mencapai kehidupan yang puas dan bahagia.  Dalam rentang panjang perkembangan peradaban manusia, catatan sejarah menuliskan bahwa manusia  memiliki naluri untuk selalu berubah dan menyesuaikan diri.

Manusia memang diberi kemampuan untuk  tumbuh dan berkembang. Secara alamiahpun manusia sudah diberikan naluri untuk bertahan hidup, mengendalikan alam dengan mengubah diri serta lingkungannya. Inilah penyebab alami lahirnya kutukan Sisyphus.  ketidakpuasan.

Selain faktor alami, ketidakpuasan juga muncul dari faktor faktor lain seperti kecenderungan manusia untuk bersaing dengan manusia lain ( ini sudah terjadi sejak kita masih dalam bentuk zigot ), faktor keinginan untuk berubah, keinginan untuk menyenangkan orang lain hingga faktor  mencari pengakuan dan eksistensi sebagai mahluk sosial.

Keluar dari kutukan Sisyphus dengan Stoikisme

Stoikisme adalah pola pikir yang populer dan berkembang selama ratusan tahun sejak Zeno (334-262SM) hingga Seneca  (1-65M) dan Marcus Aurelius (121-180M) dan merupakan aliran filsafat klasik yang paling banyak diterima. Pasalnya, banyak orang menganggap filosofi kehidupan ini sangat berguna dalam keseharian kita karena mengajarkan untuk hidup bijaksana, tetap tenang manakala menghadapi situasi sulit tak terduga. Stoikisme juga membantu kita mengontrol emosi negatif dan mensyukuri segala sesuatu yang kita miliki sekarang (be present). Meskipun Stoikisme atau Stoa ini  tergolong aliran filsafat klasik, namun pemikirannya tetap relevan dan berkembang hingga saat ini karna dinilai mampu  membantu kita berpikir secara logis, menjernihkan pikiran, dan mengambil keputusan dengan tepat. Bahkan, di jaman sekarang stoikisme banyak dijadikan sebagai psikoterapi untuk depresi, cognitive behavioral therapy (CBT).

Dalam proses mendorong batu seperti Sisyphus, kerap kali kita mengalami masa masa sulit dan penuh penderitaan seperti di atas. Baik itu pada saat mendorong ke puncak, maupun pada saat batu itu menggelincir kembali ke bawah. Dalam fase ini, Stoikisme menawarkan sebuah pemikiran etis untuk menggunakan kesadaran kita dalam membuat keputusan sikap bijak yang rasional dan logis.

Berbeda dengan ajaran dogma tiap agama tentang rasa syukur yang bersandarkan pada iman kepasrahan atas apapun yang terjadi sebagai kebajikan Tuhan Allah manusia, Stoikisme mengajak kita untuk mencari jawaban rasional atas pertanyaan mengapa kita mengalami penderitaan dan mengapa harus berpasrah atau bersyukur.

Dalam pemikiran Stoikisme, ada beberapa cakupan yang bisa digarisbawahi. Yaitu bahwa dalam kehidupan ini, ada hal hal yang bisa kita ubah dan kita kendalikan, dan ada hal hal yang di luar kendali kita yang tak bisa kita ubah. Kita diarahkan untuk memiliki kebijaksanaan untuk tahu perbedaan antara keduanya dan mampu melatih diri dalam merespons keduanya secara rasional.

Kita perlu menyadari bahwa kita hanya bisa mengendalikan apa yang ada dalam kendali kita yakni pikiran dan tindakan kita sendiri. Selain itu merupakan hal eksternal di luar kendali kita. Oleh karenanya, yang dapat kita kendalikan adalah penilaian kita terhadap hal eksternal ini; peristiwa, situasi, pikiran, pendapat dan keputusan yang berasal dari  orang lain terhadap kita.

Semakin kita berusaha mengendalikan dan berekspektasi terhadap apa yang ada di luar kendali kita, maka kita akan semakin merasa frustasi, kecewa, atau bahkan patah hati. Jadi, disini stoikisme mengajak kita untuk fokus pada apa yang bisa kita kontrol yaitu diri sendiri. Menterjemahkan apapun yang terjadi dengan bijak dan merubahnya menjadi emosi positif.

Selain itu, kita boleh mengharapkan yang terbaik tapi juga mempersiapkan skenario terburuk. Dan ini perlu melatih diri menciptakan jarak emosi (detachment) yang sehat terhadap hal-hal di sekitar. Berjarak secara emosi tidak menjadikan kita manusia yang dingin atau tidak perduli, namun justru sebaliknya kita akan semakin mengerti dan memahami, bahwa apa yang kita inginkan miliki bisa dapat dan hilang kapan saja.

Hal ini sekilas tampak seperti konsepsi dalam setiap ajaran agama mengenai syukur, ikhlas dan tawakal. Namun, selain  pemikiran ini sudah berkembang jauh sebelum dua agama besar samawi yaitu Kristen dan Islam lahir, stoikisme mengajak kita memahami secara rasional bagaimana reaksi kita menghadapi ketidakpuasan ketidakpuasan atau penderitaan sebagaimana kutukan Zeus kepada Sishypus yang terobsesi untuk selalu mendorong batu besarnya ke puncak bukit dengan susah payah hanya untuk menyaksikan batu itu meluncur kembali ke bawah.

Baik bagi kita bersandar pada rasa syukur secara pasrah total kepada Tuhan, tetapi Stoikisme mengajak kita memahami sebuah kata; `mengapa`.  (S. Gatot Suryanto)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun