Mohon tunggu...
Gatot Suryanto
Gatot Suryanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Remaja thn 90an

Bersyukur ada sahabat di Kompasiana yang dapat menjadi inspirasi dan motivasi.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Penghancur Kutukan Sisyphus Itu Bernama Stoikisme

10 Desember 2022   08:53 Diperbarui: 10 Desember 2022   08:56 975
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam proses mendorong batu seperti Sisyphus, kerap kali kita mengalami masa masa sulit dan penuh penderitaan seperti di atas. Baik itu pada saat mendorong ke puncak, maupun pada saat batu itu menggelincir kembali ke bawah. Dalam fase ini, Stoikisme menawarkan sebuah pemikiran etis untuk menggunakan kesadaran kita dalam membuat keputusan sikap bijak yang rasional dan logis.

Berbeda dengan ajaran dogma tiap agama tentang rasa syukur yang bersandarkan pada iman kepasrahan atas apapun yang terjadi sebagai kebajikan Tuhan Allah manusia, Stoikisme mengajak kita untuk mencari jawaban rasional atas pertanyaan mengapa kita mengalami penderitaan dan mengapa harus berpasrah atau bersyukur.

Dalam pemikiran Stoikisme, ada beberapa cakupan yang bisa digarisbawahi. Yaitu bahwa dalam kehidupan ini, ada hal hal yang bisa kita ubah dan kita kendalikan, dan ada hal hal yang di luar kendali kita yang tak bisa kita ubah. Kita diarahkan untuk memiliki kebijaksanaan untuk tahu perbedaan antara keduanya dan mampu melatih diri dalam merespons keduanya secara rasional.

Kita perlu menyadari bahwa kita hanya bisa mengendalikan apa yang ada dalam kendali kita yakni pikiran dan tindakan kita sendiri. Selain itu merupakan hal eksternal di luar kendali kita. Oleh karenanya, yang dapat kita kendalikan adalah penilaian kita terhadap hal eksternal ini; peristiwa, situasi, pikiran, pendapat dan keputusan yang berasal dari  orang lain terhadap kita.

Semakin kita berusaha mengendalikan dan berekspektasi terhadap apa yang ada di luar kendali kita, maka kita akan semakin merasa frustasi, kecewa, atau bahkan patah hati. Jadi, disini stoikisme mengajak kita untuk fokus pada apa yang bisa kita kontrol yaitu diri sendiri. Menterjemahkan apapun yang terjadi dengan bijak dan merubahnya menjadi emosi positif.

Selain itu, kita boleh mengharapkan yang terbaik tapi juga mempersiapkan skenario terburuk. Dan ini perlu melatih diri menciptakan jarak emosi (detachment) yang sehat terhadap hal-hal di sekitar. Berjarak secara emosi tidak menjadikan kita manusia yang dingin atau tidak perduli, namun justru sebaliknya kita akan semakin mengerti dan memahami, bahwa apa yang kita inginkan miliki bisa dapat dan hilang kapan saja.

Hal ini sekilas tampak seperti konsepsi dalam setiap ajaran agama mengenai syukur, ikhlas dan tawakal. Namun, selain  pemikiran ini sudah berkembang jauh sebelum dua agama besar samawi yaitu Kristen dan Islam lahir, stoikisme mengajak kita memahami secara rasional bagaimana reaksi kita menghadapi ketidakpuasan ketidakpuasan atau penderitaan sebagaimana kutukan Zeus kepada Sishypus yang terobsesi untuk selalu mendorong batu besarnya ke puncak bukit dengan susah payah hanya untuk menyaksikan batu itu meluncur kembali ke bawah.

Baik bagi kita bersandar pada rasa syukur secara pasrah total kepada Tuhan, tetapi Stoikisme mengajak kita memahami sebuah kata; `mengapa`.  (S. Gatot Suryanto)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun