Mohon tunggu...
Garvin Goei
Garvin Goei Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog, Akademisi, Penyuka Budaya

Penulis buku Psikologi Positif yang diterbitkan oleh Kompas pada tahun 2021. Pengelola akun instagram @cerdasmental.id. Selain psikologi, suka mempelajari budaya dan mencoba makanan baru.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Paradoks Pilihan: Lebih Banyak Belum Tentu Lebih Baik

30 November 2022   12:14 Diperbarui: 30 November 2022   19:16 1017
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang teman saya yang belajar Neuro-Linguistic Programming atau NLP sering mengatakan, "Satu pilihan berarti tidak ada pilihan, dua pilihan berarti dilema, tiga pilihan baru sebuah pilihan." Kemudian dia mengatakan bahwa kita harus memiliki sangat banyak pilihan untuk menjadi orang yang berdaya guna.

Logika kita mungkin dapat dengan mudah mencerna kalimat itu. Nalar kita mungkin berpikir: semakin banyak pilihan yang kita miliki, semakin besar keputusan baik yang bisa kita peroleh, dan dengan demikian kita akan lebih bahagia.

Tapi siapa yang mengira bila pemikiran "semakin banyak pilihan, semakin baik" justru terbukti salah secara empiris, melalui berbagai penelitian yang ilmiah?

Eksperimen Psikologi

Dua orang peneliti bernama Iyengar dan Lepper pada tahun 2000 melaporkan hasil eksperimen mereka. 

Pertama, mereka bekerja sama dengan sebuah toko bahan makanan dan membuka sebuah booth untuk menawarkan selai. Para pengunjung dapat mencoba selai-selai tersebut dan kemudian mereka akan diberikan kupon belanja jika membeli selai itu.

Mereka melakukan dua percobaan pada waktu yang berlainan. Pada percobaan pertama, mereka hanya menawarkan 6 varian selai; sedangkan di lain waktu pada percobaan kedua, mereka menawarkan 24 macam selai.

Kira-kira mana booth yang lebih ramai didatangi penunjung? Booth yang menawarkan hanya 6 jenis selai atau 24 jenis selai?

Jawabannya masih sesuai dengan logika kita. Booth yang menawarkan pilihan rasa yang lebih banyak (24 varian) justru lebih ramai dikunjungi oleh pengunjung yang hendak mencicipi selai. Tetapi mind blowing-nya di sini: meskipun booth dengan 24 varian selai lebih ramai didatangi pengunjung, tetapi hanya 3% dari total pencicip yang membeli selai itu. Sedangkan booth yang menawarkan pilihan rasa yang lebih sedikit (6 varian) justru berhasil mendapatkan lebih banyak pembeli, yakni sebesar 30% dari total orang yang datang mencicipi selai.

Ilustrasi pilihan (Sumber gambar: pixabay.com)
Ilustrasi pilihan (Sumber gambar: pixabay.com)

Lebih banyak pilihan mungkin terlihat lebih baik, tetapi justru pembelian lebih mungkin terjadi ketika pilihannya lebih sedikit. Itu temuan dari penelitian tadi.

Baik, mungkin Anda berpikir bahwa penelitian ini hanya sebuah kebetulan. Oleh karena itu, penelitian lain dilakukan untuk mengonfirmasi temuan ini.

Para mahasiswa dikumpulkan untuk menilai berbagai varian jenis coklat, dalam dua kondisi yang berbeda. 

Pada percobaan pertama, para mahasiswa ditunjukkan 6 jenis coklat dan diminta untuk mencicipinya, kemudian melakukan penilaian. 

Pada percobaan kedua, para mahasiswa yang berbeda ditunjukkan 30 jenis coklat dan diminta untuk mencicipi dan menilainya. 

Kira-kira, mana kelompok mahasiswa yang merasa lebih puas dengan coklat-coklat itu, atau dengan kata lain, yang memberikan penilaian lebih baik?

Ternyata, kelompok mahasiswa yang mencicipi 6 jenis coklat merasa lebih puas daripada kelompok mahasiswa yang mencicipi 30 jenis coklat.

Lagi-lagi, ternyata lebih banyak pilihan tidak selalu menjamin kepuasan atau keputusan pembelian.

Masalah dari Terlalu Banyak Pilihan

Penulis Alvin Toffler pada tahun 1970an dalam bukunya mengatakan bahwa di masa depan - yang sesungguhnya adalah saat ini - kita akan dibombardir dengan berbagai macam pilihan, sehingga kita menjadi sulit untuk mengambil keputusan. 

Alih-alih menjadi lebih mudah, terlalu banyak pilihan justru membuat kita menghabiskan waktu untuk mencari informasi dan belum tentu mendapatkan keputusan.

Kalau kita lihat, ini ada benarnya juga. Misalnya kita hendak membeli sebuah meja, lalu kita mengetik kata "meja" diaplikasi marketplace, akan muncul banyak sekali opsi meja yang hendak kita beli; mulai dari variasi model, variasi ukuran, variasi warna, bahkan variasi ongkos kirim. 

Mungkin kita akan menghabiskan waktu untuk meng-scroll ponsel kita untuk memutuskan 1 meja yang akan kita beli, termasuk membaca review-review-nya. 

Oh iya, itu baru dari 1 marketplace saja, sedangkan ada banyak aplikasi marketplace, itu saja kita sudah sebuah pilihan lagi. Jadi, untuk membeli 1 buah meja saja, mungkin kita bisa menghabiskan banyak waktu.

Dan belum tentu setelah menghabiskan banyak waktu, kita bisa langsung mengambil keputusan. Kadangkala justru muncul kebingungan, meja yang mana yang mau saya beli? 

Yang A modelnya bagus, tapi ongkos kirimnya mahal; sedangkan yang B modelnya biasa saja, tetapi reviewnya bagus; atau yang C ongkos kirimnya murah dan modelnya bagus, tetapi ukurannya kurang sesuai.

Ternyata semakin banyak pilihan belum tentu membuat hidup kita semakin baik. Inilah yang oleh Barry Schwartz, profesor psikologi dari Amerika Serikat, katakan sebagai "tirani kebebasan". 

Beliau berpendapat bahwa pilihan yang banyak belum tentu lebih baik, justru bisa membuat kehidupan kita semakin buruk. 

Ada 3 masalah utama yang muncul jika kita memiliki terlalu banyak pilihan:

1. Masalah informasi: kita akan terobsesi untuk mendapatkan semua informasi terkait pilihan-pilihan yang amat banyak itu, tetapi apakah waktu dan energi kita cukup untuk melakukannya?

2. Masalah kesalahan: semakin banyak pilihan, justru semakin besar kemungkinan kita salah mengambil keputusan.

3. Masalah psikologis: terlalu banyak pilihan ternyata membuat kita menjadi cemas, karena kita menjadi terobsesi untuk memilih yang terbaik (atau sangat takut memilih pilihan yang keliru).

Simpulan dari beberapa contoh penelitian dan penjelasan di atas adalah: memiliki lebih dari satu pilihan itu baik, tetapi semakin banyak pilihan belum tentu semakin baik.

Dua Tipe Manusia

Terkait dengan cara merespons pilihan, manusia tergolong menjadi dua jenis, yaitu: (1) satisficers adalah orang merasa puas hati setelah mendapatkan sesuatu yang sudah sesuai dengan kebutuhan mereka, dan (2) maximizers adalah orang yang benar-benar mencari pilihan terbaik dan berusaha melihat semua kemungkinan pilihan.

Anda masuk ke dalam golongan satisficer atau maximizer?

Seorang satisficer adalah orang yang mencari pilihan, tetapi ketika ia sudah menemukan pilihan yang sesuai dengan kebutuhan, ia mengambil pilihan itu. 

Berbeda dengan maximizer yang akan berusaha mencari semua pilihan yang ada dan mencari pilihan terbaik dari semua pilihan itu. Maximizer tidak mencari sesuatu yang baik atau sesuai kebutuhan, tetapi mereka mencari yang terbaik. 

Secara logika, menjadi maximizer adalah keputusan yang bagus; tetapi pertanyaannya, mungkinkah ada seseorang yang memiliki waktu dan tenaga yang cukup untuk mencari pilihan terbaik dalam semua aspek kehidupan?

Saya ada sebuah cerita. Suatu hari seorang pemuda gelandangan yang kelaparan. Ia tidak punya rumah, tidak punya sanak saudara, tidak punya uang, juga tidak punya makanan. 

Ketika ia sedang duduk termenung di pinggir jalan, seorang pria tua datang dan memberi uang kepadanya untuk membeli makanan. 

Hatinya sangat senang. Pemuda ini kemudian pergi ke pusat kuliner di kotanya. Ia melihat penjual nasi goreng yang aromanya harum dan menggugah selera. 

Pemuda ini berpikir, nasi goreng ini pasti enak sekali, tetapi bila ia berjalan lebih jauh, mungkin ia bisa menemukan nasi goreng yang lebih lezat dengan harga yang sama. Ia kemudian berjalan lagi dan menemukan penjual nasi goreng lain, kali ini aromanya lebih harum dan toppingnya lebih lengkap. 

Pemuda ini sangat tergoda, tetapi ia melihat bahwa di ujung sana masih ada penjual nasi goreng yang lebih ramai, pasti rasanya lebih lezat dan porsinya lebih banyak. 

Akhirnya pemuda ini berjalan lagi dan mendatangi penjual nasi goreng yang ketiga. Kali ini aroma racikan nasi gorengnya lebih harum lagi dan porsinya lebih besar. 

Pemuda ini merasa senang, tetapi ia diberi tahu oleh penarik becak bahwa jika ia berjalan 30 menit lagi, ada penjual nasi goreng yang lebih lezat dan porsinya lebih besar. Pemuda ini kemudian berjalan lagi, dan ternyata penjual nasi goreng yang keempat itu sedang tidak berjualan.

Pemuda ini kecewa, sehingga ia berjalan balik menuju penjual nasi goreng ketiga. Tetapi ketiga ia tiba, penjual nasi goreng yang ketiga mengatakan bahwa dagangannya sudah habis. Pemuda ini pun kecewa lagi, tetapi ia berpikir untuk kembali ke penjual nasi goreng kedua. Ketika ia tiba ke penjual nasi goreng kedua, ternyata penjualnya sudah selesai berjualan dan sudah pulang ke rumah. 

Demikian pula, ketiga pemuda ini berjalan ke penjual nasi goreng pertama, ternyata penjualnya juga sudah kehabisan bahan. 

Saat itu sudah larut malam di mana para pedagang sudah tutup. Pemuda ini berjalan ke sana kemari mencari penjual makanan yang masih ada, tetapi sudah tidak ada satupun penjual makanan yang masih buka. 

Akhirnya, pemuda ini sadar bahwa ia sudah melewatkan kesempatan untuk membeli makanan, dan harus melewati malam dengan kelaparan. 

Seandainya dia langsung memesan nasi goreng di penjual pertama atau kedua, tentu perutnya sudah kenyang dan ia bisa tidur dengan nyenyak.

Bagaimana pendapat Anda dengan cerita tadi? Kisah tadi hanya sebuah ilustrasi, dan kata "makanan" atau "nasi goreng" bisa diganti dengan aspek lainnya dalam hidup.

Perangkap Maximizer

Mendapatkan pilihan terbaik untuk semua aspek kehidupan adalah tidak mungkin. Atau jika mungkin, harga yang dibayar akan terlalu besar, Anda harus menghabiskan terlalu banyak waktu, tenaga, dan mungkin uang.

Anda berpikir ingin mendapatkan pilihan terbaik agar bisa bahagia; tetapi kenyataannya kita sudah merasa frustrasi dan kelelahan ketika selesai mencari setiap pilihan yang ada. Jikapun kita berhasil mendapatkan pilihan terbaik untuk segala hal, kita sudah terlalu lelah untuk menikmatinya. 

Barry Schwartz mengungkapkan bahwa para maximizer justru lebih sering merasa kecewa karena setelah menemukan pilihan yang ia pikir terbaik dan mengambil keputusan, ternyata muncul pilihan lain yang lebih baik lagi dan waktu sudah tidak bisa diputar. 

Akhirnya, maximizer ini tidak dapat menikmati yang ia miliki (sekalipun sudah bagus dan sesuai kebutuhan), dan tenggelam dalam penyesalan. 

Selain itu, maximizer juga menjadi rentan untuk menyalahkan diri-sendiri karena memiliki ekspektasi yang sangat tinggi dalam setiap hal dan tidak bisa memenuhinya.

Sekilas maximizer memang terlihat lebih baik. Ia menunjukkan bahwa ia berhasil mendapatkan best deal dari berbagai hal. Tetapi ingat, ia hanya menunjukkan sisi baiknya; sedangkan seseorang tidak mungkin menceritakan sisi gelapnya kepada orang lain secara buka-bukaan.

Bagaimana Menyikapi Paradoks Pilihan?

Selanjutnya, apa yang harus kita lakukan terkait ini? Bila terlalu sedikit pilihan itu buruk dan terlalu banyak pilihan juga lebih buruk lagi, bagaimana sikap kita?

1. Kita perlu belajar untuk menjadi satisficer. Orientasi kita bukanlah terus-menerus mengkhawatirkan pilihan terbaik sehingga menghabiskan banyak tenaga, waktu, dan bahkan kesehatan mental kita. 

Kenali kebutuhan kita dan ambil keputusan baik yang dapat memenuhi kebutuhan kita. Jangan salah paham, bukannya kita tidak boleh mencari yang terbaik. 

Kita boleh mencari mobil yang terbaik untuk keluarga kita, mencari guru les terbaik untuk anak, tetapi miliki perspektif bahwa pilihan yang terbaik adalah pilihan yang sesuai dengan kebutuhan kita. 

Boleh saja mencari pilihan yang terbaik, tetapi gunakan pola pikir satisficer (berhenti mencari ketika sudah menemukan pilihan bagus yang memenuhi kebutuhan, dan berpuas hati dengan pilihan setelah keputusan dibuat).

2. Boleh menjadi maximizer, tetapi untuk hal-hal yang sangat penting saja. Misalnya keputusan untuk memilih pasangan hidup atau sekolah anak, boleh saja menjadi maximizer karena ini keputusan yang sangat besar. Tetapi berikan tenggat waktu pencarian. 

Misal, setelah 6 bulan mencari, maka pilihan yang terbaik dalam 6 bulan pencarian itulah yang diambil. Setelahnya jangan dicemaskan lagi. Dan hanya lakukan ini untuk hal-hal yang sangat penting saja, jangan lakukan untuk setiap hal karena akan melelahkan.

3. Persempit pilihan kita. Memiliki 3-4 pilihan mungkin baik, tetapi memiliki 20 hingga 30 pilihan hanya akan membuat kita kebingungan. 

Kenali kebutuhan kita dan persempit pilihan kita menjadi 3-4 pilihan yang paling sesuai kebutuhan, kemudian diskusikan dengan orang terdekat atau evaluasi pilihan-pilihan itu untuk mengambil keputusan yang paling sesuai dengan kebutuhan.

Simpulan

Semoga bermanfaat. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun