Mohon tunggu...
Garvin Goei
Garvin Goei Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog, Akademisi, Penyuka Budaya

Penulis buku Psikologi Positif yang diterbitkan oleh Kompas pada tahun 2021. Pengelola akun instagram @cerdasmental.id. Selain psikologi, suka mempelajari budaya dan mencoba makanan baru.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Paradoks Pilihan: Lebih Banyak Belum Tentu Lebih Baik

30 November 2022   12:14 Diperbarui: 30 November 2022   19:16 1017
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anda berpikir ingin mendapatkan pilihan terbaik agar bisa bahagia; tetapi kenyataannya kita sudah merasa frustrasi dan kelelahan ketika selesai mencari setiap pilihan yang ada. Jikapun kita berhasil mendapatkan pilihan terbaik untuk segala hal, kita sudah terlalu lelah untuk menikmatinya. 

Barry Schwartz mengungkapkan bahwa para maximizer justru lebih sering merasa kecewa karena setelah menemukan pilihan yang ia pikir terbaik dan mengambil keputusan, ternyata muncul pilihan lain yang lebih baik lagi dan waktu sudah tidak bisa diputar. 

Akhirnya, maximizer ini tidak dapat menikmati yang ia miliki (sekalipun sudah bagus dan sesuai kebutuhan), dan tenggelam dalam penyesalan. 

Selain itu, maximizer juga menjadi rentan untuk menyalahkan diri-sendiri karena memiliki ekspektasi yang sangat tinggi dalam setiap hal dan tidak bisa memenuhinya.

Sekilas maximizer memang terlihat lebih baik. Ia menunjukkan bahwa ia berhasil mendapatkan best deal dari berbagai hal. Tetapi ingat, ia hanya menunjukkan sisi baiknya; sedangkan seseorang tidak mungkin menceritakan sisi gelapnya kepada orang lain secara buka-bukaan.

Bagaimana Menyikapi Paradoks Pilihan?

Selanjutnya, apa yang harus kita lakukan terkait ini? Bila terlalu sedikit pilihan itu buruk dan terlalu banyak pilihan juga lebih buruk lagi, bagaimana sikap kita?

1. Kita perlu belajar untuk menjadi satisficer. Orientasi kita bukanlah terus-menerus mengkhawatirkan pilihan terbaik sehingga menghabiskan banyak tenaga, waktu, dan bahkan kesehatan mental kita. 

Kenali kebutuhan kita dan ambil keputusan baik yang dapat memenuhi kebutuhan kita. Jangan salah paham, bukannya kita tidak boleh mencari yang terbaik. 

Kita boleh mencari mobil yang terbaik untuk keluarga kita, mencari guru les terbaik untuk anak, tetapi miliki perspektif bahwa pilihan yang terbaik adalah pilihan yang sesuai dengan kebutuhan kita. 

Boleh saja mencari pilihan yang terbaik, tetapi gunakan pola pikir satisficer (berhenti mencari ketika sudah menemukan pilihan bagus yang memenuhi kebutuhan, dan berpuas hati dengan pilihan setelah keputusan dibuat).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun