Mohon tunggu...
Garin Nanda
Garin Nanda Mohon Tunggu... Freelancer - @garinnanda_

Mengemas sebuah cerita jadi lebih bermakna.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Sering Mendapat Kritik, Cara Red Bull Kuasai Industri Sepak Bola Layak Dipuji

2 April 2023   07:39 Diperbarui: 7 April 2023   17:00 691
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemain muda Red Bull Salzburg, Benjamin Sesko, saat beraksi pada laga persahabatan kontra Liverpool di Red Bull Arena, Kamis (28/7/2022) dini hari WIB. Nama Sesko menjadi salah satu perbincangan utama di bursa transfer musim panas 2022. (Foto: AFP/JOE KLAMAR via kompas.com) 

Sepak bola saat ini tidak hanya menjadi tontonan semata. Pertandingan di akhir pekan yang mulanya bertujuan untuk ciptakan hiburan belaka, kini jadi ladang bisnis dengan keuntungan yang luar biasa besar. 

Maka, tak jarang kita melihat para investor handal menanam modal di dunia si kulit bundar. Pengusaha Amerika dan China, sampai pada sultan timur tengah dan pangeran Arab, semua berlomba-lomba membangun kekuatan untuk tingkatkan popularitas sebuah klub tertentu guna bisa diambil keuntungannya.

Selain para pengusaha tersebut yang memang sudah mahir dalam mengelola bisnis di dunia kejar-kejaran bola, terdapat satu nama lainnya yang semua tak akan pernah lupa. Adalah Dietrich Mateschitz, pria 78 tahun yang merupakan pendiri perusahaan minuman kaleng, Red Bull.

Dengan kekayaan yang kini mencapai 25,3 miliar USD menurut Forbes, Dietrich Mateschitz turut mendapat keuntungan dari dunia sepak bola. Dia menciptakan sebuah dinasti dalam payung Red Bull di sejumlah liga populer dunia.

Sejarah Singkat Perjalanan Red Bull

Red Bull yang merupakan perusahan minuman berenergi didirikan Dietrich Mateschitz di Austria pada 1987 silam. Dalam membangun Red Bull, Dietrich bekerjasama dengan pengusaha asal Thailand, Chaleo Yoovidhya. 

Selama kurang lebih tiga tahun berdiri, Red Bull lalu berhasil menembus pasar Internasional, dimana Hungaria dan Slovenia jadi negara pertama yang merasakan produk luar biasa Red Bull.

Pada saat pertama kali membangun Red Bull, Dietrich Mateschitz yang merupakan sosok handal dalam dunia bisnis menyadari bila belum banyak orang yang mengenal produk minuman berenergi. Namun dia tetap bertekad membangun bisnis ini dengan berkata,

"Ketika kami pertama kali memulai, kami mengatakan bahwa tidak ada pasar yang tersedia untuk Red Bull. Tapi Red Bull akan menciptakannya. Dan inilah yang akhirnya menjadi kenyataan."

Benar saja, pada akhir 90-an, minuman kaleng ini kemudian berhasil menembus pasar Amerika hingga memunculkan negara-negara lain yang menjadi konsumen besarnya. 

Dikatakan, Red Bull sudah beredar di 167 negara dan berhasil menjual sekitar 7,9 miliar kaleng pada tahun 2020 lalu. Dengan pesatnya perkembangan perusahaan tersebut, nilai pasar Red Bull diketahui mencapai 16 miliar euro.

Sebagai produsen minuman berenergi, Red Bull menyasar kalangan pekerja dan anak-anak muda. Maka untuk bisa dikenal oleh tujuan pasarnya, Red Bull tak segan untuk mendanai acara-acara yang lekat dengan anak muda, yaitu semacam event olahraga yang memiliki karakter ekstrem. 

Ketika itu, Amerika tengah berjaya dengan sejumlah olahraga seperti panjat tebing, BMX, ski, skateboard, dan paralayang, sepeda gunung, dan yang lainnya.

Untuk melebarkan sayap, Red Bull juga tak hanya menjadi sponsor sebuah event saja, namun mereka juga menyasar langsung sang atlet untuk digunakan sebagai media iklan. 

Pada tahun 1989, atlet pertama yang disponsori Red Bull adalah Gerhard Berger, yang merupakan mantan pembalap F1 Austria.

Dari situ, Red Bull yang mulai muncul di balapan Supercars, Mobil Rally, Moto GP, Superbike, hingga Motocross, juga menempatkan sosok populer macam Dani Pedrosa, Marc Marquez, hingga Brian Vickers untuk menerima dana sponsor langsung dari si perusahaan minuman kaleng.

Setelah merasa menguasai olahraga ekstrim dan juga dunia balap, Red Bull lalu melebarkan sayap ke dunia olahraga terpopuler di dunia, yaitu sepak bola.

Red Bull Masuk ke Dunia Sepak Bola

Tim Sepak Bola Red Bull (sumber gambar: Footy Headlines)
Tim Sepak Bola Red Bull (sumber gambar: Footy Headlines)

Memiliki dana melimpah tak membuat Red Bull kesulitan mengakuisisi sebuah klub sepak bola. Mereka tak hanya jadi sponsor, namun masuk ke jajaran manajemen untuk menciptakan sebuah dinasti baru.

Tepat pada tahun 2005, Red Bull yang merupakan buatan orang kelahiran Austria, mengambil alih kursi kepemilikan klub SV Austria Salzburg, yang berjarak 24 kilometer dari Fuschl am See, wilayah perusahaan itu bermarkas.

SV Austria Salzburg merupakan klub papan tengah sebelum dikuasai Red Bull. Berdiri sejak 1933, mereka hanya berhasil mengumpulkan sebanyak tiga gelar juara liga saja. 

Namun setelah Red Bull masuk dan mendanai segalanya, lihat saja daftar pemenang kompetisi Bundesliga Austria dalam setidaknya sepuluh tahun terakhir.

Setahun setelah mengakuisisi klub asal Austria, Red Bull mengambil alih kursi kepemilikan klub asal Amerika, New York Metrostars, yang kemudian dikenal dengan New York Red Bull. 

Masih berlanjut, pada tahun 2008 tangan-tangan gurita Red Bull berhasil menjangkau pasar Ghana dengan membentuk klub bernama Red Bull Ghana, meski kemudian kesebelasan tersebut bubar pada tahun 2014.

Yang paling menghebohkan, tentu akuisisi mereka atas klub asal Jerman bernama SSV Markranstadt, yang kemudian berubah nama menjadi RB Leipzig.

Tak berselang lama, perusahaan itu berkembang di negara penghasil bakat sepak bola terbaik, Brasil, dengan mengakuisisi Clube Atltico Bragantino, yang kemudian berganti nama menjadi Red Bull Bragantino.

Hebatnya lagi, setelah menjangkau pasar Eropa, Amerika, hingga Afrika, Red Bull baru-baru ini telah menjalin kerjasama dengan klub asal Asia yang berbasis di Vietnam, Hoang Anh Gia Lai.

Cara Red Bull memperkenalkan diri setelah menguasai tim-tim yang telah disebutkan, adalah dengan mengganti seluruh identitas klub menjadi kesebelasan dengan wajah khas perusahaan tersebut. Red Bull akan mengganti seragam, stadion, logo, sampai nama menjadi wujud merk kebesaran mereka.

Konsep dasar yang diterapkan itu kemudian diikuti dengan pengumpulan bakat-bakat terbaik dari seluruh dunia. Dalam hal ini, Red Bull tidak terlalu membutuhkan jasa scout. 

Mereka menggunakan sistem MCO, atau Multi Club Ownership. Kepemilikan multi-klub tersebut memungkinkan Red Bull untuk memutar bakat dari klub satu ke klub yang lain, tanpa mengalami kendala berarti.

Siklusnya, Red Bull menjelaskan bila dari setiap klub yang dimiliki, mereka biasanya akan mengambil bakat terbaik dari Brasil, kemudian dikembangkan di RB Salzburg, dan bila pemain itu telah siap tampil di kompetisi tertinggi Eropa.

Sehingga, RB Leipzig siap menampungnya. Lalu, setelah sang pemain merasa masanya telah habis, mereka bisa bergabung dengan New York Red Bull untuk menghabiskan sisa karirnya.

Akan tetapi siklus tersebut juga tidak selalu memunculkan nama New York Red Bull sebagai pemberhentian terakhir. Terkadang ada pula pemain muda berbakat asal Amerika yang kemudian digaet oleh klub terbaik Eropa yang dinaungi oleh Red Bull.

Adalah Tyler Adams, pemuda asal Amerika yang baru berusia 23 tahun, sukses berkembang di klub sekelas RB Leipzig.

Dari sistem MCO itu pula, muncul nama Naby Keita, yang awalnya berkembang bersama RB Salzburg lantas menjadi kian populer bersama nama RB Leipzig.

Jasa pencari bakat yang kemudian tidak semata-mata disingkirkan oleh sistem perekrutan pemain klub yang dinaungi Red Bull, juga sukses mengumpulkan bintang seperti Sadio Mane, Erling Haaland, Timo Werner, Valentino Lazaro, Lukas Klostermann, Stefan Lainer, sampai Joshua Kimmich, yang memberi keuntungan sangat besar bagi klub dari hasil penjualan mereka.

Plus Minus Kehadiran Red Bull di Sepak Bola

Dengan kehadiran Red Bull di dunia sepak bola, terdapat plus minus yang layak digarisbawahi. Dari nilai plus itu sendiri, terdapat beberapa manfaat yang kemudian didapat oleh klub yang dinaungi oleh perusahaan minuman kaleng tersebut.

Dengan dana melimpah, Red Bull tak sulit untuk mengembangkan fasilitas dan memberi biaya yang tak sedikit untuk menambah kualitas klub yang dinaungi. 

Melalui cara tersebut, pemain-pemain berbakat yang kemudian berhasil dikumpulkan mampu menyabet trofi yang diinginkan. RB Salzburg sudah jadi contoh nyata. Mereka berhasil menjadi jawara sembilan musim beruntun di kompetisi Bundesliga Austria.

Kemudian ada RB Leipzig yang kita tahu berhasil merangsek naik dari divisi lima ke kompetisi Bundesliga Jerman dalam kurun waktu yang kurang dari delapan tahun. 

Tak hanya tampil di kompetisi tertinggi, RB Leipzig juga berhasil memberi kompetisi baru bagi klub semacam Borussia Dortmund hingga FC Bayern yang memang sudah mendominasi.

Tak hanya di kompetisi lokal saja, kita semua tahu bila prestasi RB Leipzig sampai ke kancah Eropa dimana mereka muncul sebagai pesaing baru yang kekuatannya sama sekali tak bisa dipandang sebelah mata.

Dalam sebuah survei yang dilakukan surat kabar berita lokal, Leipziger Volkszeitung, lebih dari  70% populasi Leipzig senang dengan perkembangan sepak bola disana.

Namun ketika bicara tentang poin minus dari kehadiran Red Bull di sepak bola, seluruh klub yang dinaungi haru benar-benar merelakan sejarah mereka. 

Dimulai dari RB Salzburg, sebagian penggemar sempat menentang kebijakan klub yang merubah identitas klub. Sebagai bentuk protes, basis suporter tersebut sampai rela melahirkan klub SV Austria Salzburg yang baru.

Para penggemar yang merasa sakit hati itu juga sempat geram dengan ucapan CEO baru klub, yang mengatakan, "ini adalah klub baru tanpa sejarah."

Hal serupa juga dialami oleh RB Leipzig. Kompetisi Bundesliga yang sejatinya tidak memperbolehkan sebuah perusahaan menjadi nama klub, langsung diakali oleh Red Bull. RB pada penamaan klub Leipzig bukanlah Red Bull, namun Rasenballsport atau yang memiliki arti olahraga bola rumput.

Red Bull disebut telah melanggar aturan asosiasi sepak bola Jerman yang tidak memperbolehkan adanya investor besar untuk memiliki sebuah klub. Dengan peraturan 50+1, saham mayoritas harus dimiliki oleh anggota klub. Lebih lanjut, hanya investor yang sudah bersama sebuah klub selama lebih dari 20 tahun lah yang dapat melewati peraturan 50+1 tersebut.

Banyak yang menyayangkan tindakan tersebut dan tidak sedikit pula yang menyebut bila Red Bull hanya ingin mengeruk keuntungan pribadi lewat sepak bola.

"Mereka (RB Leipzig) melakukan hal yang sangat bagus dari aspek olahraga. Tapi klub itu dibangun untuk meningkatkan pendapatan Red Bull, tidak lebih dari itu," ujar CEO  Die Borussen, Hans-Joachim Watzke, kepada BBC.

Namun kembali lagi, inilah wujud sepak bola masa kini.

Red Bull yang sejatinya merupakan perusahaan pengejar profit, sudah tentu membawa nama sepak bola sebagai ladang bisnis. 

Sama halnya dengan proses yang sering disebut sebagai disneyfication, Red Bull akan terus membuka cabang di berbagai belahan dunia, agar lebih dikenal dan bisa meraup untung lebih banyak dari produk yang dipasarkannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun