Namun, kata Abdir Rahman, ada satu hal yang sampai saat ini membuat saya masih bingung untuk mengungkapkannya, yaitu tasamuh intern dalam sesama Islam. Banyak orang yang mempelajari dan mengamalkan dengan mudah pemikiran-pemikiran Gus Dur terutama dalam hal pluralisme di Indonesia yang berbeda adat, suku, budaya, serta agama.
Namun toleransi antar sesama umat Islam cenderung masih sangat sulit diterapkan karena masalah ideologi, sikap, dan pemikiran. Ideologinya ormas A tidak sama dengan ideologinya NU, ideologinya kelompok B berbeda dengan ideologinya Muhammadiyah, begitu juga ideologinya golongan C tidak sama dengan ideologinya gerakan D. Prinsip-prinsip atau ideologi ini seakan menjadi sebuah jurang pemisah yang sangat dalam diantara sesama umat Islam.
Toleransi antar umat beragama, antara Islam dan Kristen, antara Hindu dan Buddha, dan lain-lain dalam beberapa tahun belakangan nampaknya sudah berjalan dengan baik, meski ada riak-riak kecil dalam pelaksanannya.
Saat ini yang berkembang adalah adalah stigma negatif di dalam intern Islam yang tampak saling perang opini sehingga berdampak pada sulitnya wujud pluralisme itu sendiri. Pluralisme yang dimaknai sebagai toleransi secara umum cenderung diabaikan oleh antar ormas yang ada pada penganut Islam.
Mudah mengkafirkan, menganggap diri dan kelompoknya yang paling benar, saling berusaha menjatuhkan, ini merupakan cermin dari belum terserapnya diantara pemikiran-pemikiran Gus Dur. "Ironisnya, paham pluralisme ternyata belum mampu diamalkan oleh semua warga NU, juga para Gus Durian itu sendiri, termasuk saya," kata Abdir Rahman, seperti dilansir SantriNews.com. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H