Papua kembali bergejolak. Ingatan tentang sosok KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pun kembali membuncah. Gus Dur sosok yang mencintai Papua dan dicintai rakyat Papua hingga sekarang.
Selama ini 1 Desember diperingati sebagai hari ulang tahun kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM). Entah kebetulan atau tidak, Desember disebut sebagai Bulan Gus Dur. Sebab, Gus Dur meninggal bertepatan dengan bulan Desember.
Bicara Papua memang tidak pernah bisa dilepaskan dari sosok Gus Dur. Ia telah memberikan spirit kemanusiaan di tanah Papua dari segala bentuk diskriminasi, marjinalisasi, dan krisis di segala bidang. Papua membutuhkan sekaligus menyayangi Gus Dur.
Dalam tulisannya di SantriNews.com, Abdir Rahman menyebutkan bahwa ketika Gus Dur menjadi presiden, beliau mempersilakan bendera Bintang Kejora dikibarkan di tanah Papua pada peringatan 1 Desember.
Gus Dur menyebut bahwa bendera Bintang Kejora hanya sebuah umbul-umbul seperti yang ada ketika pertandingan sepak bola. Gus Dur pun meminta TNI tidak terlalu risau dengan pengibaran bendera tersebut, karena diantara bendera tersebut masih ada Sang Dwiwarna, sang saka merah putih yang berkibar tinggi di atas bendera Bintang Kejora.
Bahkan Gus Dur pernah mendamprat Wiranto yang menjabat Menko Polkam pada waktu itu gara-gara bendera OPM tersebut.
"Bapak Presiden, kami laporkan di Papua ada pengibaran bendera Bintang Kejora," ujar Wiranto saat melapor kepada presiden (Gus Dur).
Mendengar laporan tersebut, kemudian Gus Dur bertanya, "Apa masih ada bendera Merah Putihnya?"
"Ada hanya satu, tinggi," ujar Wiranto sigap.
Mendengar jawaban itu, Gus Dur kemudian menjawab, "Ya sudah, anggap saja Bintang Kejora itu umbul-umbul," ujar Gus Dur santai.
"Tapi Bapak Presiden, ini sangat berbahaya," sergah Wiranto.
Gus Dur pun marah dan segera mendamprat Wiranto. "Pikiran Bapak yang harus berubah, apa susahnya menganggap Bintang Kejora sebagai umbul-umbul! Sepakbola saja banyak benderanya!," ucap Gus Dur.
Gus Dur jugalah yang mengabulkan permintaan masyarakat Irian Jaya (waktu itu) untuk menggunakan sebutan Papua. Pemberian nama Papua pada Irian Jaya dan pemberian izin pengibaran bendera Bintang Kejora bukan tanda Gus Dur meremehkan terhadap Indonesia. Hal itu justru sebaliknya, Gus Dur mau membantu orang-orang Papua untuk bisa menghayati Ke-Indonesiaan dari dalam.
Gus Dur percaya pada prang Papua. Gus Dur tahu bahwa itulah cara untuk merebut hati suatu masyarakat yang puluhan tahun merasa tersinggung, tidak dihormati, dan bahkan dihina. Karena itulah orang-orang Papua mencintai Gus Dur.
Seperti dilansir di NU Online, seorang santri Gus Dur asal Kudus, Nuruddin Hidayat (2018), menjelaskan bahwa pada 30 Desember 1999 atau tepat dua bulan sepuluh hari setelah dilantik menjadi Presiden, Gus Dur berkunjung ke Irian Jaya dengan dua tujuan, yaitu untuk berdialog dengan berbagai elemen di Papua dan melihat matahari terbit pertama milenium kedua tanggal 1 Januari 2000 pagi.
Pada 30 Desember 1999 dimulai jam 8 malam dialog dengan berbagai elemen dilakukan di gedung pertemuan Gubernuran di Jayapura. Meskipun dengan cara perwakilan, tetapi banyak sekali yang datang karena penjagaan tidak ketat.
"Gus Dur mempersilakan mereka berbicara terlebih dulu, dari yang sangat keras dengan tuntutan merdeka dan tidak mempercayai lagi pemerintah Indonesia hingga yang memuji tapi dengan berbagai tuntutan," demikian dilansir NU Online.
Selanjutnya Presiden berbicara merespon mereka. Banyak hal ditanggapi, tetapi yang penting ini, "Saya akan mengganti nama Irian Jaya menjadi Papua," katanya. "Alasannya?"
"Pertama, nama Irian itu jelek," kata Gus Dur. "Kata itu berasal dari bahasa Arab yang artinya telanjang. Dulu ketika orang-orang Arab datang ke pulau ini menemukan masyarakatnya masih telanjang, sehingga disebut Irian."
Gus Dur lalu melanjutkan, "kedua, dalam tradisi orang Jawa kalau punya anak sakit-sakitan, sang anak akan diganti namanya supaya sembuh. Biasanya sih namanya Slamet. Tapi saya sekarang ganti Irian Jaya menjadi Papua."
Seorang Antropolog bahasa Melanesia mencari asal-usul kata Irian yang diceritakan Gus Dur, tapi tidak pernah menemukannya (kalau tidak ketemu, tidak berarti tidak ada kan? Ini benar-benar cara Gus Dur memecahkan masalah rumit dan besar seperti masalah Papua dengan humor.
Sohibul riwayah, Ahmad Suaedy menduga mengapa Gus Dur menggunakan alasan bahasa Arab dan tradisi Jawa? Gus Dur mencoba "menenangkan" hati orang-orang Islam dan orang-orang Jawa yang berpotensi melakukan protes.
Selain hormat dengan teladan, prinsip, dan keberanian Gus Dur, Manuel Kaisiepo (2017) memiliki cerita. Menteri Negara Percepatan Kawasan Timur Indonesia era Presiden Megawati itu mengisahkan, ketika Kongres Rakyat Papua akan diselenggarakan, maka Gus Dur menyetujui kongres tersebut dilaksanakan.
Ketika kongres itu mau diadakan, semua orang protes. Itu separatis. Tetapi presiden (Gus Dur) menyetujui kongres itu diadakan. Bahkan, Gus Dur juga akan membantu terselenggaranya acara kongres tersebut, yaitu dengan memberikan bantuan pendanaan. Ini langkah Gus Dur yang dianggapnya nyeleneh, lain daripada yang lain.
Saat Gus Dur menemui kelompok separatis tersebut, banyak orang yang protes dan mengira bahwa Gus Dur menyetujui keberadaan mereka.
Gus Dur menegaskan bahwa semua yang ada di Papua adalah saudara-saudara dirinya, saudara sebangsa dan sesama manusia. Hal ini dilakukan Gus Dur tak lain untuk membangun kepercayaan masyarakat Papua kepada pemerintah.
Dalam sebuah diskusi di Kantor PBNU pada tahun 2007, Gus Dur yang sudah tidak lagi jadi presiden, kembali menyebut alasannya memperbolehkan bendera Bintang Kejora berkibar. Gus Dur menganggap bendera Bintang Kejora hanya bendera kultural warga Papua.
"Bintang kejora itu bendera kultural. Kalau kita anggap sebagai bendera politik, salah kita sendiri," kata Gus Dur saat di Kantor PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta.
Gus Dur berkata kepada rakyat Papua; "Kalian boleh minta apa saja, saya akan berikan. Asal jangan berpisah. Saya akan datang ke Jayapura pada 1 Januari 2000, dan saya kembalikan nama Irian Jaya menjadi Papua. Saya juga amanatkan Bendera Papua boleh dikibarkan, sebagai lambang kultural, asal ukurannya lebih kecil dari Bendera Merah Putih, dan berkibar di bawah Bendera Merah Putih."
Bagi Gus Dur, di Indonesia hanya ada satu bendera. Yang lainnya adalah umbul-umbul. Beliau mengakhiri pesannya dengan mengatakan, "Gitu saja ko repot!"
Gus Dur memang aneh tapi nyata. Pemikiran Gus Dur sangat maju melampaui zaman, sehingga banyak ucapan dan tindakan beliau yang sering disalahpahami, memantik kontra, yang kadang datang dari pendukungnya, juga dari kalangan kiai dan internal NU, namun baru diketahui kebenarannya setelah beberapa tahun kemudian.
Diantara pemikiran Gus Dur yang kontroversi adalah pluralisme. Beliau bahkan dianggap liberal atas gagasan pluralisme tersebut. Pluralisme yang merupakan paham hidup bersama dalam sebuah kemajemukan, meliputi suku bangsa, keyakinan beragama, dan lain-lain.
"Dalam hal pluralisme, Gus Dur memiliki sebuah pemikiran yang sangat bagus dalam hal tasamuh (toleransi) antar umat manusia. Toleransi antar umat manusia ini yang akan mampu menciptakan kedamaian dunia, memangkas sekat-sekat pemisah untuk saling berinteraksi dengan damai," kata Abdir Rahman di SantriNews.com.
Namun, kata Abdir Rahman, ada satu hal yang sampai saat ini membuat saya masih bingung untuk mengungkapkannya, yaitu tasamuh intern dalam sesama Islam. Banyak orang yang mempelajari dan mengamalkan dengan mudah pemikiran-pemikiran Gus Dur terutama dalam hal pluralisme di Indonesia yang berbeda adat, suku, budaya, serta agama.
Namun toleransi antar sesama umat Islam cenderung masih sangat sulit diterapkan karena masalah ideologi, sikap, dan pemikiran. Ideologinya ormas A tidak sama dengan ideologinya NU, ideologinya kelompok B berbeda dengan ideologinya Muhammadiyah, begitu juga ideologinya golongan C tidak sama dengan ideologinya gerakan D. Prinsip-prinsip atau ideologi ini seakan menjadi sebuah jurang pemisah yang sangat dalam diantara sesama umat Islam.
Toleransi antar umat beragama, antara Islam dan Kristen, antara Hindu dan Buddha, dan lain-lain dalam beberapa tahun belakangan nampaknya sudah berjalan dengan baik, meski ada riak-riak kecil dalam pelaksanannya.
Saat ini yang berkembang adalah adalah stigma negatif di dalam intern Islam yang tampak saling perang opini sehingga berdampak pada sulitnya wujud pluralisme itu sendiri. Pluralisme yang dimaknai sebagai toleransi secara umum cenderung diabaikan oleh antar ormas yang ada pada penganut Islam.
Mudah mengkafirkan, menganggap diri dan kelompoknya yang paling benar, saling berusaha menjatuhkan, ini merupakan cermin dari belum terserapnya diantara pemikiran-pemikiran Gus Dur. "Ironisnya, paham pluralisme ternyata belum mampu diamalkan oleh semua warga NU, juga para Gus Durian itu sendiri, termasuk saya," kata Abdir Rahman, seperti dilansir SantriNews.com. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H