Tak usah banyak polesan dan pesanan "ini-itu". Kalaupun harus tampil dengan membawa secarik kertas berisi point-point yang akan disampaikan dalam debat, tak masalah. Bukankah, sosok Gibran yang masih belia dan ingin "melanjutkan serta menyempurnakan" pembangunan saat ini, itu saja sudah cukup menjadi modal penampilannya.
Lagipula ingat, pelatih sepak bola penuh bintang prestasi, Jose Mourinho saja, setiap kali pertandingan selalu membawa pulpen dan kertas. Ia menulis juga mencatat, lalu mengambil banyak keputusan terbaik dari hasil goresan tangannya itu.
Gibran harus mengambil inspirasi dari Jose Mourinho yaitu tampil pede, percaya diri. Bila perlu, Gibran juga bisa mengucapkan kalimat seperti yang pernah diungkapkan Jose "the special one" Mouinho itu. Kalimat penggalannya adalah "Please do not call me arrogant because what I say is true. I think I'm a special one!" Ya, Gibran harus berani bilang, dirinya adalah juga "seseorang yang sangat istimewa".
Selain itu, pengalaman Gibran selama berurusan dengan APBN dari Pusat dan APBD Kota Solo, keuangan, investasi wilayah, perpajakan, infrastruktur dan perkotaan selama menjabat Wali Kota Solo, bisa jadi pengetahuan dasar untuk beradu sanggah tentang perekonomian.
Memang, tidak bisa "apple to apple" membandingkan antara mengurus pelayanan publik Kota Solo dengan melayani publik di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tapi modal dasar, Gibran sudah punya pengalaman sebagai eksekutif wilayah. Sebagai pengusaha catering, Gibran juga pasti punya pengalaman dan menyelami denyut wirausaha plus urusan perpajakan. Ini modal dasar berikutnya.
"Amunisi debat" lainnya, Gibran sempat berkunjung ke Pasar Pandansari, Balikpapan, Kalimantan Timur, Sabtu (16 Desember 2023). Ia berbelanja sejumlah kebutuhan bahan pokok. Nah, ini bisa "dimainkan" Gibran dalam Debat Cawapres. Kebersamaan singkatnya bersama kalangan pedagang di pasar itu bisa disampaikan terkait sub tema debat yakni ekonomi kerakyatan.
Apa yang Harus Gibran Lakukan?
Dalam perdebatan, problem komunikasi bawaan yang melekat pada Gibran, kurang menguntungkan apabila suami Selvi Ananda itu harus memaparkan lugas visi dan misinya. Gibran bukan tipe orang yang bisa mengomunikasikan program kerjanya secara runut, lugas dan sanggup mempengaruhi khalayak. Paling tidak problem komunikasi itu  untuk sementara ini, masih menjadi musuh utama bagi Gibran pribadi. Tapi yakinlah, lambat laun seperti ayahnya juga, gaya komunikasi Gibran pasti akan semakin baik.
Apa yang Gibran alami mirip seperti yang terjadi pada Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Dari semula yang tampil kaku dan "kekanak-kanakan" karena digelayuti nama besar sang ayah, mantan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, AHY kini setahap demi setahap sudah menjadi "macan panggung". Ia perlahan tapi pasti berubah menjadi orator nan (mulai) cakap. Penilaian terkait perubahan gaya komunikasi AHY ini sudah saya tuliskan di sini: Surprise, AHY Bisa Kayak Gitu!
Alhasil, Gibran dengan segala problema gaya komunikasinya bolehlah dianggap akan menjadi "bulan-bulanan" lawan dalam perdebatan.
Tapi yakinlah, Cak Imin maupun Prof Mahfud bukanlah lawan debat yang akan begitu saja menjadikan Gibran sebagai "bulan-bulanan" keduanya. Tidak. Keduanya pasti tawadhu dan akan memegang teguh petuah dari Syaikh Ibn 'Atha'illah as-Sakandari dalam Kitab Al-Hikam. Yaitu: "Adakalanya cahaya wawasan (ilmu) hakikat itu memudar tatkala engkau belum diberi izin (oleh Allah) untuk mengungkapkannya."