Ia menduga, Revolusi Hijau punya kaitan dengan politik pangan global. Ini terjadi ketika gandum menjadi komoditas, yang awalnya masuk ke Indonesia sebagai bantuan pangan. Ketika itu negara-negara maju terutama Amerika Serikat, yang karena ekstensifikasi gandumnya bagus, maka "melempar" bantuan gandum ke negara-negara miskin. Di Indonesia, gandum itu kemudian diolah mejadi tepung terigu.
Selama 40 tahun terakhir, menurut Arif, gandum menggeser ragam pangan lokal nasional. Sekitar 25 persen pangan didominasi gandum, yang sumber asalnya dari impor.
Arif mencontohkan kedaulatan pangan yang berdampak positif. Kabupaten Timor Tengah Selatan, menjadi salah satu wilayah yang tingkat stunting atau kurang gizinya tertinggi di Indonesia. Tapi di sana, ada komunitas adat yang justru tidak punya kasus stunting. Komunitas Adat Boti, namanya.Â
"Masyarakat di Boti menganggap bumi sebagai ibu, sehingga mereka mengolah bumi dengan hormat. Termasuk pantang menjual tanah miliknya kepada siapapun. Mereka menanam beragam macam tanaman, salah satunya sorgum yang masih mereka tanam dan mereka konsumsi. Kalau di Boti, kita akan disuguhi beragam macam-macam budidaya panganan, pagi makan jagung, pisang, jagung bose, kunci mereka adalah makan yang beragam. Mereka beradaptasi dengan iklim yang kering, terbatas airnya, terbatas daya dukung alamnya," jelasnya.
Kasus sebaliknya malah terjadi di Sumba Timur, sebelum dampak Revolusi Hijau menguat di era '70-an. Ketika itu, Sumba Timur masih bisa sukses memenuhi kebutuhan pangannya sendiri, salah satunya dengan sorgum. Sorgum itu tanaman biji-bijian yang mampu beradaptasi dengan iklim Sumba yang sangat kering. "Tapi kemudian sorgum bergeser kepada padi, sesudah program tanam padi diintensifkan oleh pemerintah, akibatnya kedaulatan pangan di Sumba Timur pun hilang. Kita harus belajar dari pengalaman kegagalan  melakukan penyeragaman pangan yaitu beras," terangnya.
Arif menegaskan, dirinya mengusulkan konsep pangan Indonesia yaitu konsep pangan berbasiskan nusantara, yang beragam. Keragaman ekologi, keragaman budaya harus menjadi konsep dasar. "Jangan sampai kita di-drive, pangan harus seragam, harus beras apalagi hanya gandum saja, misalnya. Tapi juga kita tidak bisa memaksakan sorgum ada di seluruh daerah, itu enggak bisa juga. Di daerah-daerah lain, seperti sagu dan lainnya yang cocok, ya harus terus dikembangkan," pintanya.
Penganekaragaman pangan lokal, lanjutnya, harus dilakukan secara terintegrasi dari aspek budidaya hingga konsumsi. Aspek petani menjadi kunci dari semua yang harus dilakukan. "Jangan sampai misalnya, petani didorong untuk menanam gandum yang kualitasnya baik, tapi ia menjualnya dan membeli penggantinya dalam bentuk beras miskin dan lainnya. Tanaman yang dibudidayakan juga harus memperkuat daya tahan ekonomi petaninya sendiri," ujarnya.
Selain juga aspek konsumsi yang harus diperhatikan dan jadi pekerjaan rumah  besar, menurut Arif, pangan adalah soal selera juga. "Kedaulatan pangan kita kalau tidak dimulai dari lidah akan sulit juga. Saya percaya pangan yang terbaik adalah yang memang ditumbuhkan di alam kita sendiri dan memiliki sejarah panjang serta dibudidayakan juga dikonsumsi oleh masyarakat itu sendiri," jelasnya.
o o O o o