Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Menjelajah Bunker Masjid Al-Aqsa, Yerusalem (1)

11 April 2020   15:34 Diperbarui: 14 April 2020   21:15 852
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kompleks Masjid Al-Aqsa, Yerusalem, Palestina. (Foto: kasihpalestina.com)

Keluar masuk lorong dan koridor di kota tua Yerusalem, saya mulai dari Pintu Gerbang Jaffa (Jaffa Gate). Tak berapa lama, sampailah saya di Kompleks Masjid Al-Aqsa. Semua kisahnya sudah saya tuangkan di tulisan sebelumnya: Blusukan di Yerusalem dan Kaos “I Love Israel”.

Masjid Al-Aqsa, kata sebagian pendapat, merupakan sebuah KOMPLEKS SELUAS 144.000 meter persegi. (Bandingkan dengan Masjid Istiqlal di Jakarta yang luas tanahnya 93.200 meter persegi).

Kompleks Masjid Al-Aqsa dinamakan juga Al-Haram Asy-Syarif (Tanah Suci yang Mulia), ada juga yang menyebut Al-Haram Al-Qudsi Asy-Syarif (Tanah Suci Yerusalem yang Mulia). Sedangkan Israel dalam Bahasa Ibrani menyebut Har HaBayit atau Bukit Bait (Suci).   

Di kompleks berbentuk mirip trapesium - yang lahan dikelilingi tembok batu alam - itu ada Masjid Al-Qibli - ada yang menyebutnya sebagai Masjid Jami’ Al-Aqsa -, dan ada juga Masjid Qubah Batu/Masjid ash-Shakrah (Dome of The Rock) dengan kubah keemasan. Jadi, kalau ditanya, yang mana Masjid Al-Aqsa itu? Tidak sedikit yang jawabannya, Masjid Al-Aqsa itu adalah kompeksnya, sedangkan dua masjid tadi ada di dalam kompleksnya. (Meskipun sejatinya, masih ada lagi sejumlah masjid dan mushala di Kompleks Masjid Al-Aqsa ini, lho)

Pasukan terakhir Utsmani penjaga Al-Aqsa. (Foto: permatafm.com)
Pasukan terakhir Utsmani penjaga Al-Aqsa. (Foto: permatafm.com)

Masjid Jami’ Al-Aqsa atau Masjid Al-Qibli. (Foto: Gapey Sandy)
Masjid Jami’ Al-Aqsa atau Masjid Al-Qibli. (Foto: Gapey Sandy)

Jadi bingung soal penamaan? Tak perlu. Karena, bahkan untuk Kota Yerusalem saja, sejarah mencatat punya banyak nama. Penamaan kota suci ini tergantung dari otoritas siapa yang sedang berkuasa di zamannya.

Bangsa Kan’an misalnya, pada sekitar 3.000 tahun SM menamainya “Ursalim” yang berarti Kota Tuhan yang Damai. Lalu dalam Bahasa Ibrani penyebutannya menjadi “Yerusalem” yang artinya “Baitul Maqdis” (rumah suci). Kemudian di masa otoritas Yunani, namanya diubah lagi jadi “Elia” artinya “Baitullah”.

Belum selesai. Ketika Kabilah Yabus - salah satu klan Kan’an Arab - tinggal pada 2.500 tahun SM, Yerusalem mereka namakan “Kota Yabus”. Sedangkan saat otoritas Yahudi berkuasa, namanya diganti lagi jadi “Kota Dawud”.

Saat Khalifah Umar bin Khattab ra memasuki Yerusalem pada 636 M/15 H - usai tentara Islam memenangkan pertempuran dibawah kepemimpinan Abu Ubaidah bin al-Jarrah -, nama Kota Elia diganti menjadi “Kota al-Quds”.

Begitulah. Kota Yerusalem selalu jadi rebutan (sejak dulu, kini, bahkan sampai kiamat nanti). Masya Allah.

Masjid Jami’ Al-Aqsa atau Masjid Al-Qibli dipotret sekitar tahun 1856-1860. (Foto: @firstqiblah)
Masjid Jami’ Al-Aqsa atau Masjid Al-Qibli dipotret sekitar tahun 1856-1860. (Foto: @firstqiblah)

Masjid Jami’ Al-Aqsa atau Masjid Al-Qibli. (Foto: umroh.com)
Masjid Jami’ Al-Aqsa atau Masjid Al-Qibli. (Foto: umroh.com)

Akhir dari rute blusukan saya di Kota Tua Yerusalem - dengan start dari Jaffa Gate - adalah pintu gerbang Chain Gate. “Gerbang Rantai” yang selalu dijaga personel militer Israel. Begitu saya keluar pintu besi berwarna hijau itu, pandangan langsung menatap anak tangga batu yang panjang. Di bagian atas tangga ada gapura yang melengkung.

Dari sisi bawah Chain Gate, saya sudah bisa melihat kubah keemasan Masjid ash-Shakrah (Dome of The Rock) di sebelah kiri pandangan, dan kubah abu-abu tua kebiruan Masjid Al-Qibli di sisi kanan.

Hari sudah sore. Waktu shalat masih menunggu Maghrib. Menaiki tangga batu, langkah kaki saya langsung mengarah ke sisi kanan atau ke Masjid Al-Qibli. Beberapa teman saya malah ambil arah kiri, karena seolah belum mau begitu saja melepas nuansa keindahan dan keagungan Masjid ash-Shakrah. “Ayo, ayo cepat. Jalannya ke arah sini, ke Masjid Al-Qibli,” ujar tour guide memanggil sejumlah rekan yang masih asyik berfoto dengan latarbelakang Dome of The Rock.

Sebelum sampai masjid, kita melewati jalan bebatuan (paving stone) dengan di kiri kanannya menghijau rerumputan, pohon Zaitun, dan ada juga pohon berbatang besar semacam Cemara. Semuanya rimbun. Subhanallah.

Tempat wudhu di alun-alun Masjid Jami’ Al-Aqsa/Masjid Al-Qibli. Berlatarbelakang Masjid Ash-Shakrah/Dome of The Rock). (Foto: Gapey Sandy)
Tempat wudhu di alun-alun Masjid Jami’ Al-Aqsa/Masjid Al-Qibli. Berlatarbelakang Masjid Ash-Shakrah/Dome of The Rock). (Foto: Gapey Sandy)

Tempat wudhu yang terbuka dengan latarbelakang Masjid Jami’ Al-Aqsa/Masjid Al-Qibli. (Foto: Leo Kencono/UTM)
Tempat wudhu yang terbuka dengan latarbelakang Masjid Jami’ Al-Aqsa/Masjid Al-Qibli. (Foto: Leo Kencono/UTM)

Ketika itu hari habis hujan. Hembusan udara dingin sesekali menampar wajah. Tidak usah bingung dengan lokasi berwudhu. Karena di halaman depan  Masjid Al-Qibli tersedia tempat wudhu. Lokasinya terbuka dan agak sedikit ke bawah, sehingga kita harus menuruni tiga anak tangga dulu. Ada belasan tempat duduk dari batu marmer berbentuk kotak. Satu baris, memanjang rapi.

Terpasang di dinding tempat wudhu, pipa air dari besi, juga ada pijakan kaki dari besi yang di-chrome, lalu kerannya yang berwarna perunggu berjejer rapi. Bentuk tuas putar keran airnya aja antik dan cantik banget. Begitu keran diputar, waduhhhh … airnya dingin seperti air es.

Sebenarnya, tempat wudhu ini hanya untuk jamaah pria saja. Alasannya, karena memang berada di tengah suasana terbuka. Sedangkan jamaah wanita berwudhu dilakukan di dekat gerbang kita baru keluar dari koridor maupun lorong-lorong    

Jauhnya jarak lokasi wudhu jamaah wanita dengan Masjid Al-Aqsa harus menjadi perhatian bagi peziarah (khususnya yang wanita). Disarankan, begitu ketemu tempat wudhu (toilet) di dekat gerbang masuk, segeralah berwudhu. Kenapa?

Masjid Jami’ Al-Aqsa atau Masjid Al-Qibli dipotret tahun 2020. (Foto: Fitri/UTM)
Masjid Jami’ Al-Aqsa atau Masjid Al-Qibli dipotret tahun 2020. (Foto: Fitri/UTM)

Salah satu sudut bangunan Masjid Jami’ Al-Aqsa/Masjid Al-Qibli. (Foto: Leo Kencono/UTM)
Salah satu sudut bangunan Masjid Jami’ Al-Aqsa/Masjid Al-Qibli. (Foto: Leo Kencono/UTM)

Kisah memprihatinkan terkait tempat wudhu jamaah wanita bisa dibaca lewat pengalaman Maria Karsia. Begini tulisnya di acehtrend[dot]com:

“Akhirnya kami sampai di Masjid Al-Qibli dan mulai mencari tempat. Saya baru ingat, belum mengambil wudhu. Cepat-cepat bergegas mencari tahu di mana tempat berwudhu untuk wanita. Alangkah terkejutnya saya, ketika ditunjuk tempat wudhu hampir harus kembali ke arah Masjid Kubah Emas. Mau menangis rasanya. Tapi kemudian hujan turun lagi dengan lebat, dan akhirnya saya memutuskan untuk berwudhu saja dengan air hujan karena khawatir akan tertinggal waktu salat subuh …”

Lokasi tempat wudhu ini bersebelahan dengan air mancur (Al Kas). Air mancur ini adanya persis di tengah-tengah halaman lapang antara Dome of The Rock dengan Masjid Al-Qibli. Untuk menandainya gampang saja. Di sekeliling air mancur dipasangi pagar rangka besi warna hijau. Bentuknya bundar melingkar.

Sayang, air mancurnya enggak “dihidupkan”. Padahal seandainya sedang mancur, maka air tampungannya bisa dimanfaatkan berwudhu dengan posisi duduk di atas kursi batu kotak dengan sandaran pinggang juga dari batu. Ada 20 jumlah keran dan melingkar di dinding bawah sisi luar pagar besi hijau tadi. Bentuk tempat wudhu ini malah mirip theatre zaman doeloe dengan empat undakan tangga melingkar.

Air mancur (Al Kas) sekaligus tempat wudhu dengan latarbelakang Masjid Jami’ Al-Aqsa/Masjid Al-Qibli. (Foto: @firstqiblah)
Air mancur (Al Kas) sekaligus tempat wudhu dengan latarbelakang Masjid Jami’ Al-Aqsa/Masjid Al-Qibli. (Foto: @firstqiblah)

Air mancur (Al Kas) sekaligus tempat wudhu dengan latarbelakang Masjid Ash-Shakrah/Dome of The Rock. (Foto: Gapey Sandy)
Air mancur (Al Kas) sekaligus tempat wudhu dengan latarbelakang Masjid Ash-Shakrah/Dome of The Rock. (Foto: Gapey Sandy)

Aaahhh ... air mancurnya enggak muncrat aja sudah bagus banget dengan latarbelakang kubah keemasan Dome of The Rock. Atau mau foto kebalikan arah, ya pasti latarbelakangnya Masjid Al-Qibli.

Al Kas dibangun saat era khilafah Abbasiyah, tapi penyelesaian pembangunannya saat pemerintahan khilafah Ayyubiyah yaitu pada masa Abu Bakr ibn Ayub (589 H/1193 M). Mengapa dinamakan Al Kas yang artinya cawan? Ya karena wadah air mancur itu mirip cawan. 

Oh ya, di dekat tempat berwudhu di halaman luar Masjid Al-Qibli ada yang namanya masthabah. Artinya, teras. Teras ini merupakan tempat datar yang tingginya kurang dari satu meter dari permukaan tanah. Biasanya dibangun dari batu melandai dan untuk menaikinya perlu dua sampai tiga anak tangga. 

Fungsi masthabah ini adalah untuk duduk-duduk, berdoa, belajar (talaqqi) dan mengajar, terutama saat musim panas. Saya melihat salah satu masthabah memang cukup terlindung dari pepohonan rimbun yang sudah meninggi. Artinya, pasti sejuklah duduk di teras kala musim panas.

Masthabah dibangun pada periode Umayyah, Mamluk dan Utsmani. Saat ini, ada 38 masthabah yang tersebar di sekitar masjid. Ada juga yang menyebut jumlahnya 40-an masthabah. Wowwwkanyab.

Masthabah/teras Masjid Al-Bouraq. (Foto: aspacpalestine.com)
Masthabah/teras Masjid Al-Bouraq. (Foto: aspacpalestine.com)

Salah satu mastaba di Kompleks Masjid Al-Aqsa. (Foto: Leo Kencono/UTM)
Salah satu mastaba di Kompleks Masjid Al-Aqsa. (Foto: Leo Kencono/UTM)

Banyaknya jumlah masthabah, tak akan bisa diingat hanya dalam waktu sejenak selama kunjungan ziarah yang singkat di Kompleks Masjid Al-Aqsa. Tapi, sejumlah teras itu sebutlah misalnya Masthabah Al-Bashiri (terletak di antara dua saluran air al-Bashiri dan Syekh Budair di halaman barat Masjid Al-Aqsa. Atau di sebelah timur Gerbang An-Nazir. Dibangun pada tahun Az-Zahir Baibars tahun 658 H/1260 M oleh Amir aud Alauddin al-Bashir, yang menjadi pengawas Masjid Al-Aqsa. Karenanya, nama masthabah ini dikaitkan dengannya.

Masthabah Az-Zahir (berada di sudut barat laut halaman Masjid Al-Aqsa. Dibangun oleh Amir Balwi al-Zahiri pada periode Mamluk pada 795 H/1392 M. Ini memiliki bentuk persegi panjang dan sejajar dengan arah kiblat. Di tepi selatan tengah masthabah ada mihrab dengan dua rongga lengkung setengah lingkaran. Di bagian atas mihrab ada dekorasi modern dan di bawah ini adalah beberapa lengkungan setengah lingkaran).

Masthabah Qaitbay Sabil (berlokasi di sisi barat halaman Masjid Al-Aqsa dan tenggara Gerbang Al-Mitharah. Di atasnya ada juga saluran air Qaitbay. Selesai dalam periode Mamluk pada 860 H/1455 M selama Al-Malik al-Ashraf Saifuddin Inal. Teras ini berbentuk persegi panjang sejajar dengan arah kiblat. Mihrab sedikit di sebelah kiri tembok selatan, bukan di tengah masthabah. Mihrab berbentuk lengkung, di atas ada beberapa stalaktit yang ada di tepinya).

Masthabah al-Ka, terletak di halaman selatan Masjid Al-Aqsa, di saluran air Ka sebelah kiri. Lokasinya di alun-alun bagian depan Masjid Al-Qibli. Dibangun pada masa kesultanan Ottoman. Teras ini memiliki bentuk persegi panjang dan ortogonal dengan arah kiblat.

Kiri: Kubah Masjid Jami’ Al-Aqsa/Masjid Al-Qibli. Kanan: Kubah Masjid ash-Shakrah/Dome of The Rock. (Foto: sarainternationaltravel.co.uk)
Kiri: Kubah Masjid Jami’ Al-Aqsa/Masjid Al-Qibli. Kanan: Kubah Masjid ash-Shakrah/Dome of The Rock. (Foto: sarainternationaltravel.co.uk)

Kanan: Kubah Masjid Jami’ Al-Aqsa/Masjid Al-Qibli. Kiri: Kubah Masjid ash-Shakrah/Dome of The Rock. (Foto: Gapey Sandy)
Kanan: Kubah Masjid Jami’ Al-Aqsa/Masjid Al-Qibli. Kiri: Kubah Masjid ash-Shakrah/Dome of The Rock. (Foto: Gapey Sandy)

Dan, masih banyak lagi masthabah lainnya. Tentang teras-teras itu, Karen Armstrong dalam bukunya Yerusalem : Satu Kota, Tiga Agama mengawali: 

"Sejak Kubah Batu (maksudnya Dome of The Rock - pen) selesai dibangun pada 691 M, kawasan Haram menampilkan citraan kuat tentang pendakian spiritual yang arketipal. Kalangan Sufi sangat terpikat oleh baitul maqdis. Pada sekitar masa Masjid Al-Aqsha dipugar, mistikus perempuan terkenal Rabi’ah Al-Adawiyyah wafat di kota itu dan dimakamkan tidak jauh dari Kubah, di Bukit Zaitun. Abu Ishaq Ibrahim bin Adham, salah seorang tokoh peletak dasar Sufisme, juga datang jauh-jauh dari Khurasan untuk tinggal di Yerusalem. Para Sufi mengajarkan kepada umat Muslim untuk menjelajahi dimensi batin spiritualitas Islam; motif kepulangan ke Kemanunggalan asali amat penting bagi pemahaman mereka tentang perjalanan mistik. Isra dan mi’raj Muhammad menjadi paradigma pengalaman spiritual mereka sendiri …" (hal. 363)

Selanjutnya, Karen menyinggung pemanfaatan masthabah atau teras. Ia menulis:

“Para Sufi mulai berkumpul di sekitar kawasan Haram; sebagian bahkan bermukim di teras-teras bertiang di sekitar batas-batas pelataran, sehingga mereka dapat merenungi simbolisme Kubah dan Batu yang menjadi tempat keberangkatan Muhammad naik ke langit. Kehadiran mereka barangkali membawa pengaruh positif di Yerusalem, karena para Sufi memiliki apresiasi yang baik terhadap keimanan umat lain …" (hal. 364)

Turun menuju bunker atau ke Masjid Al-Qadim di bawah Masjid Jami’Al-Aqsa/Masjid Al-Qibli. (Foto: madainproject.com)
Turun menuju bunker atau ke Masjid Al-Qadim di bawah Masjid Jami’Al-Aqsa/Masjid Al-Qibli. (Foto: madainproject.com)

Menuju bunker atau ke Masjid Al-Qadim di bawah Masjid Jami’Al-Aqsa/Masjid Al-Qibli. (Foto: Leo Kencono/UTM)
Menuju bunker atau ke Masjid Al-Qadim di bawah Masjid Jami’Al-Aqsa/Masjid Al-Qibli. (Foto: Leo Kencono/UTM)

Sungguh, suasana kehidupan para Sufi saat itu, kontras sekali dengan masa kini. Bagaimana enggak? Kumaha atuh mau berekstase dengan Kubah dan Batu, lha wong jam buka Kompleks Al-Aqsa aja diatur sama Israel laknatullah? Sehabis shalat Isya, semua kegiatan dihentikan. Akses gerbang dan koridor keluar-masuk ke Kompleks Masjid Al-Aqsa ditutup, dan baru dibuka lagi (nanti) menjelang shalat Subuh.  

Usai wudhu, saya langsung menuju ke Masjid Al-Qibli. Tapi cukup kaget, karena tour guide malah mengarahkan kami ke arah tangga menuju bawah tanah. Lho bukannya masuk ke masjid yang di atas? Ini kok malah melewati tangga cukup lebar dan turun ke bunker?

Saat turun tangga, di sebelah kiri-kanan ada pegangan besi panjang warna hijau. Pegangan ini penting, karena kalau sehabis hujan, anak tangga yang terbuat dari batu marmer abu-abu kehitaman menjadi cukup licin. Selain itu, peziarah yang sudah sepuh juga bisa terbantu.

Saat berjalan turun, ada tulisan di atas pintu bunker: Al-Aqsha Al-Qadim (Al-Aqsa Kuno). Nah, jadi jangan bertambah bingung, di bawah Masjid Al-Qibli ada bangunan yang dijuluki “Al-Aqsha Kuno”. Banyak juga yang menyebutnya sebagai Masjid Al-Qadim.

LORONG BUNKER. Suasana awal saat masuk ke bunker atau Masjid Al-Qadim di bawah Masjid Jami’Al-Aqsa/Masjid Al-Qibli. (Foto: Gapey Sandy)
LORONG BUNKER. Suasana awal saat masuk ke bunker atau Masjid Al-Qadim di bawah Masjid Jami’Al-Aqsa/Masjid Al-Qibli. (Foto: Gapey Sandy)

LORONG BUNKER. Bunker atau Masjid Al-Qadim di bawah Masjid Jami’Al-Aqsa/Masjid Al-Qibli. (Foto: Gapey Sandy)
LORONG BUNKER. Bunker atau Masjid Al-Qadim di bawah Masjid Jami’Al-Aqsa/Masjid Al-Qibli. (Foto: Gapey Sandy)

Ada apa di dalam Masjid Al-Qadim? Kuy, kita masuk kuy(BERSAMBUNG) 

o   O   o

Baca tulisan selanjutnya:

- Menjelajah Bunker Masjid Al-Aqsa, Yerusalem (2)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun