Begitulah. Kota Yerusalem selalu jadi rebutan (sejak dulu, kini, bahkan sampai kiamat nanti). Masya Allah.
Akhir dari rute blusukan saya di Kota Tua Yerusalem - dengan start dari Jaffa Gate - adalah pintu gerbang Chain Gate. “Gerbang Rantai” yang selalu dijaga personel militer Israel. Begitu saya keluar pintu besi berwarna hijau itu, pandangan langsung menatap anak tangga batu yang panjang. Di bagian atas tangga ada gapura yang melengkung.
Dari sisi bawah Chain Gate, saya sudah bisa melihat kubah keemasan Masjid ash-Shakrah (Dome of The Rock) di sebelah kiri pandangan, dan kubah abu-abu tua kebiruan Masjid Al-Qibli di sisi kanan.
Hari sudah sore. Waktu shalat masih menunggu Maghrib. Menaiki tangga batu, langkah kaki saya langsung mengarah ke sisi kanan atau ke Masjid Al-Qibli. Beberapa teman saya malah ambil arah kiri, karena seolah belum mau begitu saja melepas nuansa keindahan dan keagungan Masjid ash-Shakrah. “Ayo, ayo cepat. Jalannya ke arah sini, ke Masjid Al-Qibli,” ujar tour guide memanggil sejumlah rekan yang masih asyik berfoto dengan latarbelakang Dome of The Rock.
Sebelum sampai masjid, kita melewati jalan bebatuan (paving stone) dengan di kiri kanannya menghijau rerumputan, pohon Zaitun, dan ada juga pohon berbatang besar semacam Cemara. Semuanya rimbun. Subhanallah.
Ketika itu hari habis hujan. Hembusan udara dingin sesekali menampar wajah. Tidak usah bingung dengan lokasi berwudhu. Karena di halaman depan Masjid Al-Qibli tersedia tempat wudhu. Lokasinya terbuka dan agak sedikit ke bawah, sehingga kita harus menuruni tiga anak tangga dulu. Ada belasan tempat duduk dari batu marmer berbentuk kotak. Satu baris, memanjang rapi.
Terpasang di dinding tempat wudhu, pipa air dari besi, juga ada pijakan kaki dari besi yang di-chrome, lalu kerannya yang berwarna perunggu berjejer rapi. Bentuk tuas putar keran airnya aja antik dan cantik banget. Begitu keran diputar, waduhhhh … airnya dingin seperti air es.