Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Blusukan di Yerusalem dan Kaos "I Love Israel"

23 Maret 2020   08:34 Diperbarui: 12 April 2020   15:20 1451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menyusuri kawasan Kota Tua Yerusalem melalui Jaffa Gate. (Foto: UTM Mury Sri Muryati)

Akhirnya pertengahan Maret ini, Masjid Al-Aqsa resmi ditutup sementara. Pengurus masjid suci ketiga umat muslim itu beralasan demi mengurangi penyebaran pandemi Virus Corona (COVID-19). Meski ditutup, Direktur Masjid Al-Aqsa, Omar Kiswani mengatakan, shalat berjamaah masih tetap bisa dilakukan di wilayah terbuka kompleks Al-Aqsa.

Saya langsung memikirkan suasana di Al-Aqsa pasti lengang. Tapi ternyata enggak segitunya juga keleus. Kehadiran peziarah tetap tinggi. Pada Minggu (15 Maret 2020) misalnya, shalat berjamaah tetap banyak yang hadir.

Seperti foto yang dijepret oleh Ammar Awad dari Reuters para jamaah lelaki nampak berbaris persis di sisi luar pintu Masjid Al-Aqsa Kuno (Masjid Qibli). Ini bukan masjid yang berkubah emas itu ya, karena kalau yang itu banyak yang menyebut sebagai Dome of The Rock (Kubah Batu), tapi fungsinya ya masjid juga didalamnya.

Di Dome of The Rock, foto Ammar Awad juga menunjukkan sejumlah jamaah perempuan menunaikan shalat di halaman “masjid kubah batu” itu. 

Sedih juga menyaksikan foto yang merekam penutupan masjid-masjid di kompleks Al-Aqsa itu. Meski saya tetap masih bersyukur karena animo peziarah nyatanya pantang surut meski ditakdirkan belum diizinkan masuk ke area dalam.

Masjid Al-Aqsa ditutup sementara, 15 Maret 2020, jamaah shalat di luar ruangan utama. (Foto: Ammar Awad/Reuters)
Masjid Al-Aqsa ditutup sementara, 15 Maret 2020, jamaah shalat di luar ruangan utama. (Foto: Ammar Awad/Reuters)

Jamaah perempuan, 15 Maret 2020, shalat di ruang terbuka Kompleks Al-Aqsa karena ruang utama masjid ditutup sementara. (Foto: Ammar Awad/Reuters)
Jamaah perempuan, 15 Maret 2020, shalat di ruang terbuka Kompleks Al-Aqsa karena ruang utama masjid ditutup sementara. (Foto: Ammar Awad/Reuters)

Saya juga membayangkan para personel keamanan Israel bisa semakin santai  menjaga lorong demi lorong, pintu demi pintu, gang demi gang, yang menjadi akses menuju (maupun keluar) kompleks Al-Aqsa.

Personel militer Israel biasanya berseragam hitam-hitam, lengkap dengan senjata mekaniknya. Personel perempuan dengan rambut tergerai panjang dan pirang “menyilaukan”.

Ketika itu, Selasa 25 Februari 2020, di Negara Palestina hari sudah sore. Di Kota Tua Yerusalem itu, hujan baru saja mengguyur. Saya dan rombongan turun dari bus. Bergegas menyusuri tembok tinggi yang berwarna krem batu pualam. Inilah Gerbang Jaffa atau Jaffa Gate, salah satu dari tujuh gerbang terbuka utama di tembok Yerusalem. Dalam Bahasa Arab julukannya Bab al-Khalil atau Bab Mihrab Dawud (Gerbang Kamar Daud). Sementara Bahasa Ibrani menyebutnya Sha’ar Yafo.

Mirip benteng? Ya, iya karena gerbang tua yang pintu masuknya berbentuk huruf ‘L” itu berkaitan dengan pertahanan militer klasik yang diterapkan otoritas Ottoman (Utsmaniyah). Gerbang ini juga berhadapan langsung dengan Jalan Raya Jaffa yang sore itu cukup macet lalu-lintasnya. By the way, nama Gerbang Jaffa sudah digunakan penguasa Ottoman sejak 1538.

Akses menuju Masjid Al-Aqsa dengan melewati Jaffa Gate. (Foto: Gapey Sandy)
Akses menuju Masjid Al-Aqsa dengan melewati Jaffa Gate. (Foto: Gapey Sandy)

Menuju Jaffa Gate dengan lalu-lintas kendaraan yang cukup macet. (Foto: Gapey Sandy)
Menuju Jaffa Gate dengan lalu-lintas kendaraan yang cukup macet. (Foto: Gapey Sandy)
Di Gerbang Jaffa atau Bab al-Khalil ini semua peziarah - dari latarbelakang Muslim, Nasrani, Yahudi - seolah menyatu. Bercampur-baur. Tapi sudah tentu, masing-masing punya tujuan ziarah berbeda.

Jadi enggak aneh, selain banyaknya peziarah yang mengenakan jaket tebal, ada juga sejumlah pria Yahudi dengan busana setelan jas panjang hitam, bertopi bundar hitam (fedora), dan berjambang panjang (peyot). Mengapa mereka pilih memanjangkan jambang lalu kadang dikepang dan dibiarkan menjuntai dari pipi dekat telinga? 

Konon, itu untuk mencirikan tampil beda dengan Muslim Yaman kala itu. Terus kenapa pilih jas warna hitam? Bukan karena mereka lagi berduka, tapi katanya itu simbolis terkait kegiatan ibadah saja.

Tour guide kami memang iseng. Saat melangkah persis di gerbang, ia menunjuk ke dinding sisi kanan. Entah apa yang ia katakan pada bagian awalnya. Tapi saya hanya sempat mendengar ujung kalimatnya. “ ……… setiap peziarah selalu memegang itu,” ujarnya. Lha? Enggak berapa lama, sejumlah rekan serombongan ada yang coba menyentuh benda kecil yang dipasang di dinding kanan itu. Sesuai apa yang disampaikan tour guide.

Di Jaffa Gate terpampang tulisan Omar bin Khattab Square. (Foto: Shmuel Bar-Am/timesofisrael.com)
Di Jaffa Gate terpampang tulisan Omar bin Khattab Square. (Foto: Shmuel Bar-Am/timesofisrael.com)

Turis diperlihatkan Mezuzah yang terpasang. (Foto: Shmuel Bar-Am/timesofisrael.com)
Turis diperlihatkan Mezuzah yang terpasang. (Foto: Shmuel Bar-Am/timesofisrael.com)
Padahal benda kecil yang dipasang di dinding sisi kanan itu apaan, hayooo? Wkwkwkwkwkkk … itu adalah mezuzah. Sepotong perkamen yang bertuliskan ayat Ibrani tertentu dari Taurat.

Dalam kepercayaan Yahudi, mezuzah biasanya berisi salinan ayat suci kitab. Tujuannya, konon untuk mengusir roh jahat atau hantu.

Ada juga yang menyebut berfungsi sebagai “jimat” pembawa keberuntungan. Lha? Terus ngapain kita yang non-Yahudi mau-mauan ikut menyentuhnya … qiqiqiqiqiii  

Sesudah memasuki Gerbang Jaffa, suasana bertambah ramai. Maklum, ternyata di dalam gerbang itu kita langsung disambut dengan suasana pasar.

Sebelum lebih jauh, tour guide kami berhenti sejenak dan memberitahu bahwa di dinding gerbang yang baru saja kami lewati, ada tulisan “Omar Ibn Khattab Square”. Lho, kenapa koridornya dituliskan nama khalifah kedua umat muslim itu? Segera kita temukan jawabannya.

Sesudah kita lewati Gerbang Jaffa, enggak jauh dari situ ada dua makam yang dipagar besi warna hitam. Unik juga ini, ujug-ujug ada dua makam yang tiada nama dan keterangan di nisannya. Tapi hikayat lokal menyatakan, dua makam itu merupakan makam dua arsitek yang merencanakan pembangunan tembok kota suci. 

Tapi rupanya hasil kerja keduanya kurang memuaskann Raja Sulaiman. Karena tidak memasukkan Makam David dan Gunung Zion ke dalam bahagian tembok Yerusalem. Akibatnya Sulaiman murka, dan memerintahkan kedua arsitek dipenggal lehernya. Tapi, ada juga hikayat yang menyebutkan bahwa keduanya sengaja dibunuh atas perintah Sulaiman, karena mengetahui sisi kelemahan rahasia kota.    

Di seberang makam, atau sisi kanan dari Gerbang Jaffa ada lokasi ziarah umat Yahudi. Namanya The Citadel (Tower of David). Menara Daud yang dimaksud sebenarnya merupakan menara masjid pada masa Ottoman. Jauh sebelum itu, saat era Romawi, lokasi ini dibangun sebagai bagian dari benteng pertahanan oleh Raja Herodes Agung.

The Citadel atau Tower of David. (Foto: chabad.org/Doron Kombluth/Seth Aronstam)
The Citadel atau Tower of David. (Foto: chabad.org/Doron Kombluth/Seth Aronstam)

Satu dari dua makam di dalam Gerbang Jaffa. (Foto: Ghifari Ramadhan Fadli)
Satu dari dua makam di dalam Gerbang Jaffa. (Foto: Ghifari Ramadhan Fadli)
Perjalanan dilanjutkan dengan melewati koridor-koridor atau gang-gang yang kiri kanannya mirip suasana Pasar Modern. Namanya juga pasar, di sini banyak dijual beraneka suvenir. Mulai dari mug, kaos, kain, gelang, kalung, gantungan kunci, tempelan kulkas, kartu pos, surban, tallit (jubah Yahudi), aneka tas juga koper, dan masih banyak lagi.

Ada juga cafe tempat hang-out yang kayaknya endeus banget menikmati secangkir kopi karena suasananya sempurna, sore habis hujan. Paling ujung tadi, ada kantor pos dan money changer.

Tapi jangan salah. Sepertinya keriuhan pasar di sini seolah kurang cocok untuk peziarah muslim deh. Karena segala suvenir yang dijajakan, lebih tepat  untuk peziarah nonmuslim saja.

Bahkan kalau boleh saya bilang, cuma buat kaum Yahudi saja. Mengapa? Ya, cobalah tengok foto kios suvenir itu. Baca tulisan yang disablon pada kaosnya. Banyak yang bertuliskan “I Love Israel”. “Wah, kaosnya ‘cocok’ tuh dipakai di Indonesia,” guyon seorang rekan sambil terkekeh.

Masih di sablonan kaosnya. Ada juga yang memuat tulisan “Don’t Worry Be Jewish”, atau “Don’t Worry America, Israel Is Behind You”. Selain itu, ada juga logo huruf “S” untuk “Superman” yang dipelesetkan jadi “Super Jew”. Dan, masih banyak lagi “keyahudian” lainnya. “Ngeri-ngeri ya baca tulisan di kaosnya,” ujar rekan saya Indra Maysala.

Banyak juga pernak-pernik suvenir yang dijual berupa lambang Israel, Menorah. Gambar mirip tujuh wadah lilin yang sepintas kayak seperti bentuk trisula Menorah itu menurut banyak sumber, melambangkan pencerahan universal.

Sedangkan dua ranting Pohon Zaitun di kanan-kirinya melambangkan perdamaian. What?! Perdamaian?! Nah mustinya Israel mengimplementasikan damai di dunia (Timur Tengah) sesuai lambang agamanya itu dong. Jadi jangan caplok sana-sini tanah air negara orang (baca: Palestina).

Suvenir aneka kaos bangga menjadi Yahudi. (Foto: UTM Iman Cahyadi)
Suvenir aneka kaos bangga menjadi Yahudi. (Foto: UTM Iman Cahyadi)

Melewati kios-kios milik Yahudi. (Foto: UTM Leo Kencono)
Melewati kios-kios milik Yahudi. (Foto: UTM Leo Kencono)

Kalau mau dibayangin lorong-lorong jalan atau gang di pasar yang kami lalui itu, suasananya mirip Pasar Glodok atawa Pasar Baru, Jakarta Pusat. Jalanannya terbuat dari batu-batu alam warna kuning kecoklatan. Artinya tidak becek tanah atau lumpur. Cuma ya gitu, ukuran batunya bervariasi, jadi kurang nyamanlah buat jalan kaki sehabis hujan. Tapak kaki musti hati-hati, takut terpeleset karena bebatuannya licin.

Aktivitas jual-beli di pasar persis di kompleks kota suci, seperti Yerusalem ini sebenarnya enggak aneh. Karena sebelas-dua belas sama kondisi di dua kota suci, Mekkah dan Madinah.

Terus melangkahkan kaki, saya tak tahu arah. Kaki ini hanya mengikuti kemana saja tour guide melangkah. Hingga sampailah di Masjid Umar bin Khattab. Jangan bayangkan masjidnya luas dan dikelilingi tanah lapang. Tidak. Masjid ini justru seolah terhimpit di tengah suasana pasar.

Masjid Umar bin Khattab bermula dari tahun 636 M/15 H. Ketika itu Islam dibawah pimpinan Khalifah Umar bin Khattab memasuki Yerusalem. Islam pun berkuasa tanpa harus berperang. Padahal saat itu, Yerusalem dibawah kekuasaan orang Kristen Bizantium dengan pimpinan mereka, Patriak Sophronius.

Perjanjian Khalifah Umar bin Khattab atau Omariya Treaty dipasang di Masjid Umar bin Khattab di Yerusalem. (Foto: Gapey Sandy)
Perjanjian Khalifah Umar bin Khattab atau Omariya Treaty dipasang di Masjid Umar bin Khattab di Yerusalem. (Foto: Gapey Sandy)
Apakah begitu Islam berkuasa lantas umat Nasrani dimusnahkan dari Yerusalem? Tidak! Islam hadir dengan damai. Bahkan Umar mengeluarkan ikrar yang dikenal dengan sebutan “Perjanjian Khalifah Umar” (Omariya Treaty). Isinya antara lain mengatur hak dan kewajiban serta memberi kebebasan umat Kristen beribadah.

Terjemahan “Omariya Treaty” itu, antara lain memuat janji Umar bin Khattab ra:

“Ini adalah jaminan keamanan yang hamba Allah, Umar, Amirul Mukminin, telah memberikan kepada orang-orang Yerusalem. Dia telah memberikan mereka jaminan keamanan bagi diri mereka sendiri untuk rumah-rumah mereka, gereja-gereja mereka, salib mereka, orang sakit dan sehat, kota dan untuk semua ritual milik agama mereka. Gereja-gereja mereka tidak akan dihuni oleh umat Islam dan tidak akan hancur. Baik mereka, maupun tanah mereka, atau salib mereka, atau rumah dan bangunan mereka tidak akan rusak. Mereka tidak akan dipaksa masuk Islam. Tidak akan ada pula orang Yahudi yang tinggal bersama mereka di Yerusalem. Orang-orang Yerusalem harus membayar pajak seperti orang-orang dari kota-kota lain dan harus mengusir Bizantium dan para perampok.” Dan seterusnya.

Teks perjanjiannya dipampang di Masjid Umar bin Khattab, Bentuknya seperti marmer abu-abu keputihan dan tulisannya dengan warna hitam. Sayangnya, kok hanya ditulis dalam Bahasa Arab aja sih? (Saran aja buat pengelola ziarah kota suci, sebaiknya tuliskan juga terjemahan naskah perjanjian itu dalam Bahasa Inggris).

Menara Masjid Umar bin Khattab di Yerusalem. (Foto: Ghifari Ramadhan Fadli)
Menara Masjid Umar bin Khattab di Yerusalem. (Foto: Ghifari Ramadhan Fadli)

Inilah Masjid Umar bin Khattab di Yerusalem. (Foto: Ghifari Ramadhan Fadli)
Inilah Masjid Umar bin Khattab di Yerusalem. (Foto: Ghifari Ramadhan Fadli)
Dalam bukunya "Yerusalem - Satu Kota, Tiga Agama", Karen Armstrong menulis: "Ketika ia (Umar bin Khattab - red) berdiri di samping makam kudus, waktu shalat tiba, dan Sophronius mempersilakan khalifah menunaikan shalat di tempat itu. 'Umar dengan sopan menolak; ia juga tidak mau shalat di Martyrium Konstantinus. Ia justru pergi ke luar kompleks dan shalat di tangga di pinggir jalan utama Cardo Maximus yang ramai. Ia menjelaskan kepada sang patriark bahwa andai ia shalat di dalam tempat suci Kristen tersebut, umat Muslim pasti akan menyitanya dan mengubahnya menjadi masjid untuk mengenang peristiwa shalatnya Khalifah Umar di baitul maqdis. 'Umar segera menulis piagam yang melarang Muslim shalat di tangga Martyrium atau membangun masjid di situ. Ia kemudian shalat di Nea dan sekali lagi dengan cermat memastikan bahwa tempat itu akan tetap berada di tangan umat Kristen." (hal. 339)

Sementara Qasem Abu Dyyeh di bukunya "Al Aqsa dan Ibrahimi di Tanah Palestina, Masjid Tersuci ke-3 dan ke-4 di Dunia" menulis, "Tak lama kemudian, umat muslim pun mendirikan masjid di tempat Umar shalat tersebut, yang dipersembahkan sebagai penghormatan kepada sang Khalifah yang berhati mulia ini". (hal. 26)  

Pintu masuk ke Masjid Umar bin Khattab di Yerusalem. (Foto: Ghifari Ramadhan Fadli)
Pintu masuk ke Masjid Umar bin Khattab di Yerusalem. (Foto: Ghifari Ramadhan Fadli)
Saat ini, koridor tempat Umar berjalan keluar dari Gereja Makam Suci itu ditandai dengan tulisan “Omar Ibn El-Khattab Square”. Maka terjawab ya pertanyaan di atas tadi.

Oh ya, setiap koridor atau gang di Kompleks Al-Aqsa ini memang punya nama dan kisahnya masing-masing. Maklum, Yerusalem ini kan kota suci tiga agama samawi (Islam - Nasrani - Yahudi). Masing-masing pasti punya versi riwayatnya sendiri.

Lokasi Masjid Umar ada di sisi tenggara Al-Aqsa. Ada pintu besi berwarna hijau untuk masuk ke masjidnya. Di atas pintu besi ada tulisan “Mosque of Omar - For prayers only”. Setelah melewati pintu besi, kita meniti beberapa anak tangga besi berwarna hijau juga. Sebelum turun ke halaman, di sisi kiri ada sejumlah toilet. Tempat wudhu terpisah, yaitu di sisi kanan bawah tangga masuk. Airnya … brrrrrrr, dingin benerrrrr gaessss ...

Dimensi Masjid Umar bin Khattab berukuran 30m x 8m. Saat berada di halaman masjid ini, yang juga memukau yaitu satu menara cukup tinggi di sisi kiri. Sementara masjidnya - dengan dinding sisi luar berbentuk setengah lingkaran - tertutup jendela-jendela kaca. Di bagian bawah menara ada spanduk yang terpasang. Tulisannya: La ilaha illa Allah. Jesus Said: “I am indeed a slave of Allah, Allah is my Lord and your Lord, so worship Him Alone”. (Quran 3:51) 

Gereja Makam Suci atau Church of Holy Sepulchre di Yerusalem. (Foto: atlastours.net)
Gereja Makam Suci atau Church of Holy Sepulchre di Yerusalem. (Foto: atlastours.net)

Gereja Makam Suci atau Church of Holy Sepulchre di Yerusalem. (Foto: atlastours.net)
Gereja Makam Suci atau Church of Holy Sepulchre di Yerusalem. (Foto: atlastours.net)
Karena hari semakin sore, rombongan tidak melaksanakan shalat di Masjid Umar ini. Melalui jendela-jendela kaca luar, saya coba melihat ke dalam ruangan. Hanya terlihat karpet shalat saja.

Demi mengejar waktu shalat Maghrib dijamak dengan Isya di Al-Aqsa, kami pun bergegas meninggalkan Masjid Umar bin Khattab. Keluar melalui pintu masuk sebelumnya.

Langkah kaki kembali blusukan keluar masuk koridor atau gang-gang di pasar. Sesekali penjual juice menyapa supaya membeli dagangannya. Satu dua kali pula penjaja kios suvenir menyaksikan dan melihat kami dengan seksama. Entah curiga atau karena alasan lainnya. Tapi karena semua perempuan di rombongan kami berjilbab, para penjaja suvenir itu juga seolah tahu diri untuk TIDAK menawarkan dagangannya yang didominasi simbol “keyahudian” kepada kami.

Hanya saja ada yang agak kurang mengenakkan. Saya ingat betul, sebagian rombongan berpapasan dengan seorang pemuda yang ketika lewat melontarkan komentar seolah jijik karena kami terpapar Virus Corona. Mungkin karena penampilan kami yang tampak “Asia banget” dan beberapa rekan mengenakan masker medis pula. “Enak aja dia nyebut kita (terinfeksi) Corona,” kesal seorang teman.

Keluar dari Chain Gate maka nampaklah dua masjid, Dome of The Rock di kiri dan Masjid Al-Aqsa di kanan. (Foto: Gapey Sandy)
Keluar dari Chain Gate maka nampaklah dua masjid, Dome of The Rock di kiri dan Masjid Al-Aqsa di kanan. (Foto: Gapey Sandy)

Penampakan Chain Gate yang dijaga ketat personel Israel. (Foto: Gapey Sandy)
Penampakan Chain Gate yang dijaga ketat personel Israel. (Foto: Gapey Sandy)
Oh ya, pada setiap gang-gang dan lorong di sini, bercabang-cabang. Semakin mendekati lokasi Al-Aqsa tidak ada lagi suasana ramai pasar dan kios suvenir. Di ujung gang itu kami mulai melihat aparat keamanan Israel berjaga di tembok melengkung. Sebut saja plengkung, pintu melengkung. Kayak di Yogyakarta ada di Plengkung, lokasi tembok melengkung sentra kuliner Gudeg Jogja itu.

“Siapkan paspor! Karena ada pemeriksaan peziarah oleh aparat Israel,” seru tour guide. Saya pun sigap menyiapkan paspor. Oh ya, paspor menjadi barang paling penting kalau kita berziarah dan “berkeliaran” di Yerusalem apalagi sekitar Al-Aqsa. Karena ya seperti saat ini, tentara Israel memeriksa paspor dan isi tas yang kami bawa.

Tapi (lagi-lagi) mungkin karena isu COVID-19 maka para aparat Israel penjaga pintu akses itu jadi kurang ketat melakukan pemeriksaan. Alih-alih memeriksa isi tas bawaan kami, pemeriksaanya hanya dilakukan sekilas. Mereka seolah enggan berlama-lama berinteraksi dengan rombongan kami. Pasti karena paranoid sama isu Corona yaaa.

Usai diperiksa, kami pun melewati lorong dan gerbang akses melengkung yang dilengkapi pintu besi berwarna hijau, menuju area terbuka. Dan ternyata sungguh di luar dugaan, kami sudah langsung berada di dekat antara lokasi Masjid Kubah Batu (Dome of The Rock) di sisi kiri dan Masjid Al-Aqsa (Qibli) di sebelah kanan.

Jamaah UTM di halaman luar Masjid Al-Aqsa dan Dome of The Rock. (Foto: Boss UTM/Ikhsan Wahyudi)
Jamaah UTM di halaman luar Masjid Al-Aqsa dan Dome of The Rock. (Foto: Boss UTM/Ikhsan Wahyudi)
Hampir semuanya terkesima. “Wah, sudah sampai Al-Aqsha lagi, enggak sangka jalan kaki melewati pasar dan gang-gang serta lorong tadi, tembusannya ke sini,” tutur seorang kawan. Saya membaca tulisan di dinding gerbang melengkung yang dipasangi pintu besi dengan cat warna hijau. Tulisan di sisi kiri temboknya kecil saja, yaitu “Chain Gate”. Ada di sisi barat Al-Aqsa, dalam Bahasa Arab gerbang ini disebut Bab as-Silsileh.

Chain Gate menjadi satu dari tujuh gerbang utama di kompleks Al-Aqsa. Enam gerbang lainnya adalah Gate of the Moors, Cotton Merchants’ Gate, Iron Gate, Council Gate, Gate of Darkness, Gate of the Tribes, dan Golden Gate. Coba, kira-kira Anda pernah masuk ke Kompleks Al-Aqsa melalui gate yang mana? Dan saat keluar, melalui gate yang mana pula?

Tujuh akses masuk/keluar Masjid Al-Aqsa dan Dome of The Rock. (Sumber: atlastour.net)
Tujuh akses masuk/keluar Masjid Al-Aqsa dan Dome of The Rock. (Sumber: atlastour.net)
Kalau termasuk dengan tembok Kota Yerusalem, yang mengelilingi Kompleks Al-Aqsa, ada yang menyebut jumlah 11 gerbang, dengan tujuh diantaranya bisa diakses oleh peziarah. Yaitu:

* Damascus Gate (Bab El-Amoud). Ini adalah gate terbesar. Israel sudah melakukan penggalian arkeologi di sini.

* Herods Gate (Bab Assahera). Gerbang kecil di utara Kota Tua yang mengarah ke Kawasan Muslim.

* Jaffa Gate (Bab El-Khalil). Gerbang Jaffa adalah pintu masuk barat utama ke Kota Tua. Bab El-Khalil adalah gerbang turis. Toko-toko di sekitar gerbang itu murni untuk wisatawan.

* Zion Gate (Bab Ennabi Daoud). Gerbang ini menghubungkan Perempatan Armenia dengan Gunung Sion, yang terletak di luar tembok dan berfungsi sebagai perbatasan antara Bagian Armenia dengan Yahudi .

* Dung Gate (Bab El-Magharbeh). Satu-satunya gerbang kota yang mengarah ke Kawasan Yahudi serta Al-Haram El-Sharif (Masjid Al-Aqsa).

* New Gate (Al-Bab El-Jadid). Al-Bab El-Jadid terletak di sudut barat laut Kota Tua.

* Lions Gate (St. Stephen's Gate). Menjadi awal dari lintasan Dolorosa dan berada di sisi timur Kota Tua.

* Golden Gate (Bab Arrahmeh). Gerbang ini sudah DITUTUP sejak 1.600-an. Konon, cerita orang menyebut Mesias akan masuk ke Al-Aqsa melalui gerbang ini kelak. Wallahu a'lam bishawab.

Delapan gerbang luar Kota Suci Yerusalem. (Sumber: atlastour.net)
Delapan gerbang luar Kota Suci Yerusalem. (Sumber: atlastour.net)

Rute menuju Masjid Al-Aqsa melalui Lions Gate dari Jericho Road. (Foto: UTM Fitri)
Rute menuju Masjid Al-Aqsa melalui Lions Gate dari Jericho Road. (Foto: UTM Fitri)
Sebenarnya, ini hari kedua saya berturut-turut menjejakkan kaki di Kompleks Al-Aqsa. Di hari kedua ini, saya bersyukur - sesudah keluar dari Chain Gate - bisa menunaikan shalat Maghrib dijamak Isya di Masjid Qibli (Al-Aqsa Tua) atau di ruang bawah tanahnya. Apa saja yang disaksikan di sana? Kepo ya? Heheheheee

Anyway, sehari sebelumnya (24 Februari 2020) saya bersama rombongan sebenarnya sudah sempat masuk ke Dome of The Rock dengan melewati Gerbang Lions Gate, dan keluar melalui gate yang sama. Kebagian juga shalat Maghrib dan Isya, dijamak di sana. Oh ya, tour guide kami menyampaikan, sesudah shalat Isya, maka seluruh akses masuk Kompleks Al-Aqsa akan ditutup oleh personel militer Israel. Baru dibuka lagi nanti, sebelum waktu Subuh tiba.

Duh, Israel memang keterlaluan! UNESCO saja menyatakan Masjid Al-Aqsa sebagai situs suci sekaligus tempat ibadah umat Islam. Tapi kenapa Yahudi ikut ngatur-ngatur sih. D**cuk!

Insya Allah, saya akan tulis lagi kisah perjalanan ke kiblat pertama umat Muslim itu sebagai sambungan tulisan nan panjang ini.

Salam.

=====

Baca tulisan sebelumnya:

- Isu Corona Permudah Saya Lewati Perbatasan Israel 

Baca tulisan selanjutnya:

- Menjelajah Bunker Masjid Al-Aqsa, Yerusalem (1)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun