Sementara Qasem Abu Dyyeh di bukunya "Al Aqsa dan Ibrahimi di Tanah Palestina, Masjid Tersuci ke-3 dan ke-4 di Dunia" menulis, "Tak lama kemudian, umat muslim pun mendirikan masjid di tempat Umar shalat tersebut, yang dipersembahkan sebagai penghormatan kepada sang Khalifah yang berhati mulia ini". (hal. 26)
Oh ya, setiap koridor atau gang di Kompleks Al-Aqsa ini memang punya nama dan kisahnya masing-masing. Maklum, Yerusalem ini kan kota suci tiga agama samawi (Islam - Nasrani - Yahudi). Masing-masing pasti punya versi riwayatnya sendiri.
Lokasi Masjid Umar ada di sisi tenggara Al-Aqsa. Ada pintu besi berwarna hijau untuk masuk ke masjidnya. Di atas pintu besi ada tulisan “Mosque of Omar - For prayers only”. Setelah melewati pintu besi, kita meniti beberapa anak tangga besi berwarna hijau juga. Sebelum turun ke halaman, di sisi kiri ada sejumlah toilet. Tempat wudhu terpisah, yaitu di sisi kanan bawah tangga masuk. Airnya … brrrrrrr, dingin benerrrrr gaessss ...
Dimensi Masjid Umar bin Khattab berukuran 30m x 8m. Saat berada di halaman masjid ini, yang juga memukau yaitu satu menara cukup tinggi di sisi kiri. Sementara masjidnya - dengan dinding sisi luar berbentuk setengah lingkaran - tertutup jendela-jendela kaca. Di bagian bawah menara ada spanduk yang terpasang. Tulisannya: La ilaha illa Allah. Jesus Said: “I am indeed a slave of Allah, Allah is my Lord and your Lord, so worship Him Alone”. (Quran 3:51)
Demi mengejar waktu shalat Maghrib dijamak dengan Isya di Al-Aqsa, kami pun bergegas meninggalkan Masjid Umar bin Khattab. Keluar melalui pintu masuk sebelumnya.
Langkah kaki kembali blusukan keluar masuk koridor atau gang-gang di pasar. Sesekali penjual juice menyapa supaya membeli dagangannya. Satu dua kali pula penjaja kios suvenir menyaksikan dan melihat kami dengan seksama. Entah curiga atau karena alasan lainnya. Tapi karena semua perempuan di rombongan kami berjilbab, para penjaja suvenir itu juga seolah tahu diri untuk TIDAK menawarkan dagangannya yang didominasi simbol “keyahudian” kepada kami.
Hanya saja ada yang agak kurang mengenakkan. Saya ingat betul, sebagian rombongan berpapasan dengan seorang pemuda yang ketika lewat melontarkan komentar seolah jijik karena kami terpapar Virus Corona. Mungkin karena penampilan kami yang tampak “Asia banget” dan beberapa rekan mengenakan masker medis pula. “Enak aja dia nyebut kita (terinfeksi) Corona,” kesal seorang teman.