Selalu saja terayun dan terhuyung, apalagi pijakan kaki juga bukan pasir atau karang yang landai. Melainkan bebatuan terjal dan cukup tajam-tajam bergerigi seperti karang. Meski begitu, lama-kelamaan saya mulai terbiasa.Â
Mulailah berusaha untuk berenang dengan cara memunggung. Tapi bukan juga melakukan renang gaya kupu-kupu. Tidak. Cukup sekadar rebahan telentang dan akhirnya wowwwww langsung tubuh saya mengapung, mengambang, tanpa perlu khawatir tenggelam. Luar biasa!
Sesudah bisa mengapung, saya kembali ke pantai. Mencoba mencari-cari koran. Kenapa koran? Ya, di wikipedia saat kita membuka link-nya, ada foto seseorang yang sedang mengambang di Laut Mati, dan kedua tangannya sambil memegang koran.Â
Mengapung sambil membaca koran. Keren. Tapi sayangnya, tak ada koran. Untung saja, di kursi plastik yang tersedia, saya menemukan buku menu restoran.Â
Bahan kertasnya saya pegang cukup tebal dan tahan air. Nah, buku itu aja yang menjadi properti seolah-olah saya sedang asyik membaca sambil mengapung. Berhasil yeayyyyyy.
Saat mengapung, tidak usah bersusah payah untuk maju atau mundur. Cukup gerakkan saja kedua tangan seolah sebagai dayung, maka tubuh akan bergerak sesuai arah yang dituju. Apalagi ditambah dorongan angin yang kencang plus ombak yang bergulung dan bergelombang.Â
Tapi awas ya, ombak dan angin bisa mendorong kita semakin ke posisi tengah laut. Itu sangat terlarang. Sehingga saat rekan saya Pak Jajang yang santuy mengapung dan seperti terbawa ombak, maka sontak saja, hampir semua rekan berteriak mengingatkan Pak Jajang supaya jangan sampai ke tengah laut.Â
Pun begitu, Pak Jajang justru semakin enjoy.
Tak usahlah berenang dengan banyak gaya di Laut Mati. Enggak perlu berenang gaya bebas, gaya punggung, apalagi gaya katak. Percuma. Karena semua itu justru berpotensi membuat air laut masuk ke mata dan mulut.Â