"Dari sisi ideal, Najwa Shihab memiliki sekurangnya enam hal yang melekat pada dirinya, sehingga patut ditugaskan menjadi moderator debat Pilpres 2019."
Tapi, justru dari sederet kehebatan Najwa itulah, menjadikan ia justru belum layak menjadi moderator debat Pilpres. Lho, gimana sih? Katanya patut, tapi kok, lalu dianggap belum layak?Â
Jawabannya: Karena Najwa punya kemampuan dan kecakapan yang lebih dari sekadar menjadi moderator. (Tulisan saya ini, pada bagian mayoritas seutuhnya, sudah dimuat di Harian TANGSEL POS edisi Jumat, 1 Februari 2019, pada rubrik OPINI dengan judul Debat Pilpres, Moderator Bukan Kompor)
Tidak dimasukkannya Najwa Shihab sebagai moderator debat tahap kedua Pilpres 2019, menimbulkan tanda tanya. Ada apa gerangan, hingga ratu pertunjukan wicara (queen of talkshow) itu tidak mendapat kesempatan prioritas?
Berita beredar menyebutkan, Najwa sebenarnya dipilih oleh stasiun televisi yang akan menjadi penyelenggara siaran langsung debat Pilpres, 17 Februari. Tapi lantas muncul penolakan.Â
Terutama dari kubu Prabowo-Sandi yang menilai, Najwa diduga kurang netral. Andre Rosiade, juru bicara Badan Pemenangan Nasional Capres-Cawapres nomor urut 02 bahkan menyarankan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) lebih baik mencari figur lain yang lebih netral, daripada nantinya mengundang polemik.
Dalam menentukan moderator debat, tugas KPU harus diatur oleh Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Dimana KPU wajib mendapatkan persetujuan lebih dulu dari masing-masing perwakilan kubu Capres-Cawapres, sebelum menentukan moderator.
Sementara itu, bagi kubu Jokowi-Ma'ruf, menyatakan setuju bila Najwa yang jadi moderator.
Mendapat penilaian bahwa dirinya tidak netral, wajar bila Najwa berkomentar balik. Kepada media, Najwa menampik anggapan dirinya tidak netral. Alasannya, dalam setiap tayangan talkshow Mata Najwa, faktor independen selalu dikedepankan. Diantaranya, dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis, dan sudah tentu, menghadirkan narasumber secara berimbang.
Keputusan menolak Najwa sebagai moderator debat Pilpres, seharusnya patut dipertanyakan lebih mendalam. Kalau Najwa (diduga) dianggap tidak netral, jelaskan secara gamblang bagaimana penilaian itu bisa muncul?
Pertama, Najwa bukan anggota maupun partisan dari partai politik. Ia tidak berafiliasi pada aliran politik tertentu.
Kedua, Najwa juga sudah tidak tampil di kanal MetroTV yang pemiliknya merupakan elite partai politik. Ketika undur diri dari MetroTV, alasan independensi sempat menjadi praduga.
Ketiga, Najwa itu smart. Ketika menjadi host atau tuan rumah Mata Najwa, diantara sejumlah resep suksesnya adalah, pemilihan tokoh yang menjadi narasumber, riset yang kuat, dan bertindak mewakili pikiran serta perasaan penonton.
Keempat, Najwa itu tajam, malah lebih dari itu, ia pandai menyudutkan tamunya. Ketajaman Najwa jelas karena buah dari riset yang sebelumnya dilakukan. Sedangkan kepandaiannya menyudutkan narasumber, karena ia memang terlatih mengelola news instinct. Najwa sendiri punya istilah tersendiri tentang dirinya yang selalu dituding gemar memojokkan narasumber. Baginya, cornering itu sebagai bagian dari upayanya memberi kesempatan kepada narasumber untuk mengungkapkan lebih banyak lagi, fakta dan data.
"Najwa sendiri punya istilah tersendiri tentang dirinya yang selalu dituding gemar memojokkan narasumber. Baginya, cornering itu sebagai bagian dari upayanya memberi kesempatan kepada narasumber untuk mengungkapkan lebih banyak lagi, fakta dan data."
Kelima, Najwa cakap menggali dan mengendalikan jalannya talkshow. Ini sudah kita akui bersama. Tak aneh bila ia meraih banyak penghargaan seperti Talkshow of The Year (2014) dari Majalah Rolling Stone Indonesia, Program Talkshow Terbaik dari Komisi Penyiaran Indonesia (2014) dan masih banyak lagi.
Keenam, Najwa sudah punya jam terbang tinggi. Ia penuh pengalaman, karena mengawali kiprahnya di dunia pertelevisian dengan menjadi jurnalis terlebih dahulu. Selama di MetroTV saja, jumlah tayangan talkshow Mata Najwa mencapai 511 episode.
Bercermin dari semua itu, kalau ada pihak yang menolak Najwa sebagai moderator debat Pilpres, sebaiknya mendasari alasannya pada mekanisme teknis dan etika debat. Karena sejatinya, pelaksanaan debat Pilpres dan talkshow - seperti Mata Najwa misalnya -, cukup berbeda.
Penjelasannya, begini. Debat Pilpres bukan talkshow secara apa adanya. Dalam debat Pilpres, seorang moderator tidak boleh menyimpan agenda tersembunyi (hidden agenda) apalagi demi kepentingan diri sendiri maupun kelompok tertentu. Tetapi, larangan ini tidak berlaku dalam talkshow. Najwa dalam Mata Najwa misalnya, selalu memiliki agenda terselubung pada setiap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada narasumbernya.
Pada episode talkshow, agenda tersembunyi yang dimiliki host atau pemandu acara bisa berarti bahwa dirinya akan siap menyudutkan narasumber, menjatuhkan kredibilitas narasumber, termasuk membuat narasumber tampak tampil bodoh dan lain sebagainya.
Debat Pilpres dilaksanakan untuk mengorek lebih dalam pandangan-pandangan narasumber bila kelak memenangkan suara para pemilih. Saling mengadu gagasan dan terbuka peluang untuk berbantahan. Tetapi sekali lagi, bukan seperti talkshow, debat Pilpres tidaklah menjadikan moderator berkuasa penuh untuk alih-alih membidik narasumber dengan pertanyaan memancing, pertanyaan nakal, bahkan pertanyaan jebakan.
"Tetapi sekali lagi, bukan seperti talkshow, debat Pilpres tidaklah menjadikan moderator berkuasa penuh untuk alih-alih membidik narasumber dengan pertanyaan memancing, pertanyaan nakal, bahkan pertanyaan jebakan."
Ini biasaya berkaitan dengan ice breaking atau metode mencairkan suasana beku. Tambah lagi, kalau talkshow ditayangkan secara langsung (live), jangan harap run down akan berjalan seratus persen sesuai arahan semula.
Debat Pilpres itu sebaiknya spontan. Begitu juga talkshow. Kalau sudah diatur-atur, atau seperti pada debat pertama Pilpres kemarin, dimana kisi-kisi pertanyaan sudah diajukan sebelumnya ke masing-masing kubu pasangan calon, maka efek spontanitasnya bakal luntur.Â
Akibatnya, tayangan menjadi tidak menarik alias garing. Meski sama-sama butuh spontanitas, tapi debat Pilpres beda dengan talkshow, karena pada debat Pilpres saling adu gagasan, pendapat bahkan berbantah-bantahan tanpa harus ada moderator yang kemudian turut campur atau menjadi 'kompor' (provokator).Â
Sedangkan dalam talkshow, sah-sah saja, moderator atau host menjadi menjadi pihak yang justru ikut campur mengipas-ngipasi suasana sehingga tak ubahnya menjadi agitator.
Dalam debat Pilpres, narasumber yang menjadi pemikir, bukan moderatornya. Mereka memikirkan jawaban yang lugas, dan mengajukan bantahan juga secara penuh logika dan santun tanpa terkesan ingin menjatuhkan. Tapi dalam talkhsow, beda. Moderator atau host justru harus ikut berpikir. Ia memikirkan pertanyaan apalagi yang akan diajukan, kemana topik perbincangan akan dibelokkan.Â
Biasa terjadi, saat talkshow narasumber terpojok dan terkesan emosi, akibat pertanyaan yang diajukan host. Itu karena memang, setiap host punya insting untuk dapat memancing emosi narasumber, sehingga jawaban demi jawaban akan meluncur semuanya, entah sesuai tema atau tidak, tapi ketika emosi itu muncul, justru disitulah sisi menariknya.
Bayangkan kalau emosi muncul pada debat Pilpres, pasti bisa rusak semua kredibilitas yang selama ini dipelihara setiap pasangan calon. Sekali saja mereka tampil emosi, maka penampilan di depan layar kaca secara presidensial akan pupus. Ini bisa membuahkan antipati para calon pemilih.
Karena perbedaan signifikan antara debat Pilpres dan talkshow itulah, maka menjadi wajar Najwa mustinya dianggap belum tepat menjadi moderator debat Pilpres. Bukannya karena ia tidak mumpuni, Bukan sama sekali. Tapi justru karena kemampuan Najwa lebih dari sekadar menjadi moderator.
"Bukannya karena ia tidak mumpuni, Bukan sama sekali. Tapi justru karena kemampuan Najwa lebih dari sekadar menjadi moderator."
Moderator debat Pilpres itu tidak boleh nakal, sementara Najwa seperti kita tahu, acapkali usil, nakal bahkan kadang keterlaluan dalam memojokkan narasumbernya. Ia juga siap menjebak tamu-tamu di rumah Mata Najwa, dengan pertanyaan menjebak dan pertanyaan berbentuk kesimpulan yang diajukannya dengan teori pertanyaan tertutup dan hanya butuh jawaban pendek, ya atau tidak saja.Â
Hal ini yang tidak seharusnya dilakukan Najwa, andai ia menjadi moderator debat Pilpres. Sehingga kalau Najwa memaksakan diri menjadi moderator debat Pilpres, sama saja ia harus patuh dengan banyak rambu dan aturan. Najwa, justru akan tampil terkungkung, dan tidak sebebas seperti biasanya manakala menjadi tuan rumah Mata Najwa. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H