Baik Wikipedia maupun Tirto menyebut, Titiek penyuka dansa. Disko. Ketika Steven Seagal datang ke Bali untuk meresmikan Planet Hollywood pada 1994, Titiek dikabarkan berdansa dengan bintang utama film Under Siege itu. Sementara Tirto mengutip pernyataan ayah Prabowo yaitu Sumitro Djojohadikusumo, yang dalam biografinya-- Jejak Perlawanan Begawan Pejuang (2000)--menyebut, Titiek gemar disko.
Menjadi "motor" Partai Berkarya, Titiek menjabat Ketua Dewan Pertimbangan. Posisi pamuncak yang strategis, karena bukan cuma menelaah kebijakan partai, jabatan Titiek juga membuatnya berkuasa untuk membina organisasi, mengarahkan program dan kegiatan operasional partai. Titiek juga berhak menentukan citra partai. Tak aneh, citra Orba dan kesuksesan sang ayahanda menjadi imaji yang selalu digaungkan anak keempat Pak Harto-Bu Tien ini.
Tak hanya itu, mendiang George Junus Aditjondro dalam karyanya Korupsi Kepresidenan: Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa (2007) menyebut, Titiek terkait dengan bisnis di luar negeri seperti Uzbekistan, Portugal, Sudan, dan Guinea Bissau. Majalah Time edisi 19 tahun lalu menyebut, kekayaan pribadi Titiek ditaksir mencapai US$ 75 juta.
Hmmm ... dikonversi pakai nilai kurs sekarang, sudah mendudukkan perempuan kelahiran Semarang, 59 tahun lalu ini sebagai triliuner!
* * *
Monopoli Bisnis Keluarga Cendana (1998) menjadi judul buku yang ditulis Drs Soesilo. Dari judulnya aja udah seru banget. Di halaman 147 buku itu, dituliskan khusus tentang geliat bisnis Titiek. Dikasih judul Bisnis Properti Titiek Prabowo, Mainnya Sekitar Tanah Negara.
Diberi label sebagai Juragan Grup Maharani, Titiek lebih populer sebagai pengusaha yang malang melintang di bidang jasa keuangan. Buku ini menyebut Titiek merupakan salah satu pemegang saham Bank Putra, Bank Universal, dan Bank Industri yang kini sudah almarhum. Ia juga pemilik perusahaan sekuritas terbesar, PT Pentasena Arthasentosa, dan PT Bhakti Investama. Titiek juga pernah menjabat Ketua Masyarakat Pasar Modal Indonesia, hingga era reformasi "memaksa" dirinya undur diri.
Hingga periode 1994, penulis buku ini meyakini, Titiek belum memasuki bisnis properti. Tapi, sebagai anak kandung Presiden Soeharto, Titiek pun menyandang koneksi kuat, sehingga dirinya menjadi incaran pemilik modal untuk berkongsi bisnis. Investor yang beruntung menggandeng Titiek adalah Kajima Overseas Asia Pte. Ltd dari Jepang. Bersama Kajima, Titiek yang disebut-sebut gemar pelbagai barang bermerek itu kemudian membentuk perusahaan konsorsium, PT Senayan Trikarya Sempana (STS) untuk membangun Plaza Senayan. Inilah pusat perdagangan terbesar kelas atas seluas 60 ribu meter persegi, dan (ketika itu) menelan biaya investasi US$ 100 juta. (Dengan kurs saat ini, "hanya" lebih dari Rp 1,4 triliun saja)
Di PT STS, tulis Soesilo dalam bukunya ini, Titiek menguasai 20% saham melalui PT Aditya Wira Bakti, Kajima 70%, dan sisanya yang 10% diberikan pada Badan Pengelola Gelora Senayan.
Adapun komposisi kepemilikan saham PT Aditya Wira Bakti itu sendiri, terdiri dari Titiek Prabowo (33%), Herry Wijaya dan Dina Indra masing-masing 25%, sedangkan sisanya 17% dikuasai adik iparnya (adik kandung Prabowo), Hashim Djojohadikusumo.