Dengan lantang, Prabowo menyeru, "Tugas Kita: Kejar dan Tangkap Koruptor!" Ia menyampaikan itu, dalam buku Paradoks Indonesia, yang ditulisnya.
Capres nomor urut 02 ini menyebut, korupsi di Indonesia sudah kelewatan. Kalau yang bocor 5%, kita ini orang Indonesia. Maksudnya, kalau 5% bocor, "Biasa deh. Cingcay lah." Sepuluh persen bocor, "Sudah deh. Sama kawan 10% boleh." Lima belas persen bocor, "Ya sudah, deh." Dua puluh persen bocor, mungkin kadang masih bisa kita mengerti.
Prabowo menandaskan, dirinya mencatat semakin banyak kasus yang bocornya 80%. Kalau ada proyek buat jembatan, seringkali tidak ada gempa, roboh sendiri. Kalau buat gedung, ada yang belum diresmikan jatuh sendiri.
Kemudian, Prabowo kembali mengatakan, "Indonesia Bubar". Tulisnya, sejarah manusia, sejarah peradaban manusia mengajarkan kepada kita, setiap negara yang tidak mampu mengatasi korupsi di pemerintahannya, negara itu akan bubar.
* * *
Hebatnya Prabowo ini. Lantang banget mau mengejar dan menangkap koruptor. Apa enggak tengok kiri-kanan, bahwa sekarang ini, pendukungnya yang ingin ia merebut kursi Presiden RI itu emangnya siapa-siapa saja? Bagaimana pula dengan jejak rekam (ulah) mereka?
Dengan "pede" yang berlebih, Titiek bahkan mengatakan, Indonesia akan kembali seperti ketika Orde Baru dulu, apabila pasangan "Prabowo-Sandi" memenangkan Pilpres 2019. "Sudah cukup. Saatnya Indonesia kembali seperti waktu era kepemimpinan Bapak Soeharto, yang begitu sukses dengan swasembada pangan, dan meraih banyak penghargaan internasional serta dikenal dunia," tutur mantan istri Prabowo ini.
Menjual romantisme Orde Baru? Ya, itulah yang ditawarkan. Mengusung #2019GantiPresiden dengan mengusung Prabowo sebagai Presiden periode 2019-2024. Bakal lakukah menjual cerita-cerita "kesuksesan" Orba? Enggak tahu juga. Yang jelas, Partai Golkar aja kesulitan ketika menerapkan "dagangan" kayak gitu. Apakah hal ini akan berulang ke Partai Berkarya? Kita tunggu aja hasilnya, usai Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif 2019 yang serentak dilakukan.
* * *
Tak perlu angkut semua trah, untuk melihat lagi Keluarga Cendana. Mari lihat track record Titiek dan Tommy aja deh.Â
Baik Wikipedia maupun Tirto menyebut, Titiek penyuka dansa. Disko. Ketika Steven Seagal datang ke Bali untuk meresmikan Planet Hollywood pada 1994, Titiek dikabarkan berdansa dengan bintang utama film Under Siege itu. Sementara Tirto mengutip pernyataan ayah Prabowo yaitu Sumitro Djojohadikusumo, yang dalam biografinya-- Jejak Perlawanan Begawan Pejuang (2000)--menyebut, Titiek gemar disko.
Menjadi "motor" Partai Berkarya, Titiek menjabat Ketua Dewan Pertimbangan. Posisi pamuncak yang strategis, karena bukan cuma menelaah kebijakan partai, jabatan Titiek juga membuatnya berkuasa untuk membina organisasi, mengarahkan program dan kegiatan operasional partai. Titiek juga berhak menentukan citra partai. Tak aneh, citra Orba dan kesuksesan sang ayahanda menjadi imaji yang selalu digaungkan anak keempat Pak Harto-Bu Tien ini.
Tak hanya itu, mendiang George Junus Aditjondro dalam karyanya Korupsi Kepresidenan: Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa (2007) menyebut, Titiek terkait dengan bisnis di luar negeri seperti Uzbekistan, Portugal, Sudan, dan Guinea Bissau. Majalah Time edisi 19 tahun lalu menyebut, kekayaan pribadi Titiek ditaksir mencapai US$ 75 juta.
Hmmm ... dikonversi pakai nilai kurs sekarang, sudah mendudukkan perempuan kelahiran Semarang, 59 tahun lalu ini sebagai triliuner!
* * *
Monopoli Bisnis Keluarga Cendana (1998) menjadi judul buku yang ditulis Drs Soesilo. Dari judulnya aja udah seru banget. Di halaman 147 buku itu, dituliskan khusus tentang geliat bisnis Titiek. Dikasih judul Bisnis Properti Titiek Prabowo, Mainnya Sekitar Tanah Negara.
Diberi label sebagai Juragan Grup Maharani, Titiek lebih populer sebagai pengusaha yang malang melintang di bidang jasa keuangan. Buku ini menyebut Titiek merupakan salah satu pemegang saham Bank Putra, Bank Universal, dan Bank Industri yang kini sudah almarhum. Ia juga pemilik perusahaan sekuritas terbesar, PT Pentasena Arthasentosa, dan PT Bhakti Investama. Titiek juga pernah menjabat Ketua Masyarakat Pasar Modal Indonesia, hingga era reformasi "memaksa" dirinya undur diri.
Hingga periode 1994, penulis buku ini meyakini, Titiek belum memasuki bisnis properti. Tapi, sebagai anak kandung Presiden Soeharto, Titiek pun menyandang koneksi kuat, sehingga dirinya menjadi incaran pemilik modal untuk berkongsi bisnis. Investor yang beruntung menggandeng Titiek adalah Kajima Overseas Asia Pte. Ltd dari Jepang. Bersama Kajima, Titiek yang disebut-sebut gemar pelbagai barang bermerek itu kemudian membentuk perusahaan konsorsium, PT Senayan Trikarya Sempana (STS) untuk membangun Plaza Senayan. Inilah pusat perdagangan terbesar kelas atas seluas 60 ribu meter persegi, dan (ketika itu) menelan biaya investasi US$ 100 juta. (Dengan kurs saat ini, "hanya" lebih dari Rp 1,4 triliun saja)
Di PT STS, tulis Soesilo dalam bukunya ini, Titiek menguasai 20% saham melalui PT Aditya Wira Bakti, Kajima 70%, dan sisanya yang 10% diberikan pada Badan Pengelola Gelora Senayan.
Adapun komposisi kepemilikan saham PT Aditya Wira Bakti itu sendiri, terdiri dari Titiek Prabowo (33%), Herry Wijaya dan Dina Indra masing-masing 25%, sedangkan sisanya 17% dikuasai adik iparnya (adik kandung Prabowo), Hashim Djojohadikusumo.
Pembangunan Plaza Senayan ini terkesan pakai tangan kuat Titiek. Ia dijadikan backing untuk memaksa pihak Gelora Senayan. Pasalnya, kawasan ini mestinya hanya untuk taman kota dan sarana olahraga. Bukan untuk kegiatan komersial.
Keseluruhan tanah milik Setneg di kawasan Senayan memiliki luas 2.664.210 m2. Luas itu mencakup Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Gatot Subroto, Jalan Asia Afrika, dan Jalan Gerbang Pemuda. Beberapa pusat perbelanjaan dan hotel di sekitar kawasan Senayan pun berada atas tanah milik Setneg. Diantaranya adalah Hotel Mulia, Hotel Atlet Century, Plaza Senayan, ITC Senayan, Senayan City, dan FX Senayan.
"Saya dulu kan di DPR komisi II, ikut Panja aset-aset negara. Itu enggak lucu dong ada tanah dipegang oleh Setneg. Masa Setneg urusin tanah," tegas Ahok ketika itu. Â Â Â
Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta saat ini juga sebenarnya sudah mengendus dan paham benar mengenai hal itu. Tapi entahlah, apa ia punya tekad kuat untuk menertibkan? Apa Anies juga punya nyali keberanian?
* * *
Lalu bagaimana dengan Tommy Soeharto?
Sama seperti pendukung Prabowo lainnya, semisal M Taufik (politisi Gerindra), dinginnya sel penjara pernah keduanya cicipi. Taufik dijerat pelanggaran pasal pidana akibat korupsi logistik Pemilu 2004. Padahal ketika itu, ia justru menjabat Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta. Taufik divonis 18 bulan kurungan penjara pada 27 April 2004. Kerugian negara akibat ulah korup Taufik, mencapai Rp 488 juta.
Sedangkan Tommy, lebih "menyeramkan" kasusnya. Ia dipenjara akibat membunuh Hakim Agung Syaifuddin Kartasasmita. Kejadiannya pada 26 Juli 2001. Dua pekan berselang, polisi berhasil meringkus pelaku, Mulawarman dan Noval Hadad. Keduanya mengaku, membunuh sang hakim agung, atas perintah Tommy.
Aparat pun memburu Tommy, putra kesayangan Pak Harto. Dua bulan, barulah ia tertangkap. Pada 28 November 2001 di Pondok Indah, Jakarta Selatan. Persidangan pun dilangsungkan. Hingga akhirnya vonis Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada 2002, memvonis Tommy dengan 15 tahun penjara.Â
Soesilo menukil kisah, Tommy pernah berhubungan dengan Garuda melalui PT Artasaka Nusaphala. Persisnya ketika Garuda hendak menyewakan beberapa pesawat jenis Fokker F-28 ke Merpati Nusantara Airlines, ketika masih menjadi anak perusahaan sebelum disapih kembali tahun 1997. Anehnya, sewa pesawat itu tak jadi, tetapi pesawat itu malah dijual ke Artasaka yang selanjutnya menyewakan ke Merpati. Ridwan Fataruddin, selaku Dirut ketika itu, menolak.
Selain soal itu, Artasaka juga pernah menjadi agen yang menyewakan pesawat CN 235 ke Merpati. Namun, karena tawaran harga sewanya terbilang mahal yakni US$ 110.000 per bulan, sedangkan Merpati sanggupnya cuma US$ 60.000 per bulan, maka sekali lagi Ridwan menampik tawaran itu. "Ujung-ujungnya saya diganti sebagai Dirut Merpati," ujar dia.
Masih di buku yang sama. Gurita bisnis Tommy juga diungkap pada bisnis promosi papan nama reklame. Ini jaringan PT Angkasa Pura II, dimana Tommy melalui bendera usaha PT Humpuss Madya Pratama menguasai periklanan dari mulai ujung ruas jalan Tol Bandara Soekarno Hatta hingga lapangan udara.
Sementara itu, di halaman 151, Soesilo menurunkan tulisan khusus dengan judul Fasilitas Khusus Buat Mobnas "Timor". Ia menyebut, beredarnya mobil nasional menggegerkan yang selama ini dianggap sudah mapan, serta banyaknya tantangan dari luar negeri, yang dianggap kurang adil. Namun apapun yang terjadi pada waktu itu, Pemerintah bertahan mati-matian untuk membela "kebenaran" Mobnas Timor, karena perusahaannya Tommy Soeharto anak kesayangan Pak Harto.
Tanda-tanda akan terjadi pergeseran pasar otomotif, tulis Soesilo, semakin tampak jelas. Seminggu setelah mobil Timor diperkenalkan kepada Presiden Soeharto di Bina Graha, Jakarta, sikap konsumen langsung berubah.
Antusiasnya konsumen mobil mempertanyakan kendaraan yang mengambil teknologi dari KIA Motors Corporation, Korea Selatan, ini bisa dimaklumi. Mengingat mobil yang akan diproduksi PT Timor Putra Nasional ini mempunyai harga lebih miring ketimbang buatan Jepang yang sekelas. Mobil Timor mematok harga Rp 35 juta untuk sedan kelas 1.500 cc, dan sekitar Rp 47 juta untuk kelas 2.000 cc.
* * *
Begitulah bisnis trah Cendana ketika itu. Ah, itu sih cuma secuil kisah yang dinukil ulang dalam buku. Masih banyak lagi seabrek monopoli dan bentuk persaingan usaha tak sehat lainnya.
Seperti langit dan bumi bedanya, dengan anak-anak Presiden Joko Widodo. Tegas Jokowi menyatakan, bisnis anak-anak harus mandiri, tak boleh bersentuhan dengan urusan katabelece maupun kekuasaan Presiden. Sedikit pun! Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H