Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Ada AHY di Antara SBY dan Prabowo-Sandiaga

21 November 2018   21:58 Diperbarui: 23 November 2018   10:23 1479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
SBY, AHY, Prabowo dalam satu pertemuan. (Foto: merdeka.com/muhammad luthfi rahman)

“Leiden is lijden!”, Memimpin adalah menderita!

Saya yakin, Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) tahu benar pepatah Belanda itu. Dua periode memimpin negeri ini, ia tentu sangat mengenal, lika-liku, suka dan duka menjadi seorang pemimpin. Mulai dari disanjung puja-puji, sampai dikritisi, fitnah dan masih banyak lagi. Risiko pemimpin ya begitu, seperti pepatah barusan, karena pemimpin itu tak kurang dan tak lebih, sama dengan penderitaan.

Lima tahun lalu, ketika masih berkuasa, SBY mengaku mendengar kritikan dari banyak pihak, terkait kepemimpinannya yang dinilai tidak tegas. SBY pun menjawab kritik tersebut. Sekaligus mengomentari nyinyiran orang, yang katanya minta, agar supaya dirinya tak perlu banyak menyinggung perkara Hak Asasi Manusia dan Kemanusiaan.

Apa yang disampaikan orang dan ditujukan kepada SBY, itulah bentuk leiden is lijden. Tak selamanya memimpin itu enak dan tenang-tenang menikmati zona nyaman. Jauh panggang dari api. Tidak enak. Menderita!

Untunglah SBY tidak gagap teknologi komunikasi. Jenderal TNI purnawirawan ini cakap memainkan jemari. Mengunggah isi hati melalui media sosial. Kira-kira begini

"Saya dengar komentar, 'SBY itu Jenderal, mestinya bisa lebih tegas dan tidak perlu bicara banyak tentang HAM dan kemanusiaan," kata Presiden SBY dalam akun Twitter-nya @SBYudhoyono.

SBY melanjutkan:

"Ketika Anda menjalani tugas operasi dan bertemu dengan penduduk sipil, Anda akan bisa membaca wajah, hati, dan pikiran mereka. Mereka takut, putus asa, bingung. Siang hari mereka takut pada TNI dan Polri. Malam hari mereka takut pada GAM/Fretelin/OPM."

"Rasa aman dan tentram, salah satu hak dasar yang paling asasi, telah dirampas dan dicabut oleh keadaan. Saya sangat memahami perasaan istri dan anak-anak yang kehilangan orang yang mereka cintai. Juga para orangtua prajurit yang gugur."

"Saya tidak akan obral dan girang untuk begitu saja menyatakan perang dengan bangsa lain. Saya menyenangi perdamaian."

By the way, saya mengapresiasi cara komunikasi SBY yang seperti ini. Dengar kritikan, dengar nyinyiran, lalu langsung membalas lewat kanal media sosialnya. Riuh rendah pastilah jagat maya. Tapi begitulah dinamika. Komunikasi masa kini tak harus man to man, atau man to many man. Cukup melalui "bahasa jemari", tweet!

Intinya, SBY menyadari betul posisinya sebagai Presiden, yang selalu mendapat penilaian orang, entah itu positif apalagi negatif. Menyenangkan, tapi juga sekaligus ada saja yang bisa jadi membuka pedih pun luka. Semua itu, kembali ke pepatah Belanda leiden is lijden tadi, tentu saja.

Soal jabatan Presiden, SBY juga mendengar sindiran orang. Dan lagi-lagi, ia membalas  dengan "bahasa jemari", tweet. Begini, kira-kira:

Ia mengaku mendengar ada yang mengatakan secara pesimis, seperti berikut: "Heran, kenapa banyak yang ingin jadi presiden. Emang enak? Memang bisa bikin baik negeri ini?"

Jawaban SBY? Lugas.

"Pemimpin adalah sosok yang dipuji sekaligus dibenci. Tapi, bagaimanapun, itu sesuatu yang mulia." 

"Ketika saya berkunjung ke daerah bertemu masyarakat, mendengar harapan dan aspirasinya, rasa lelah baik fisik maupun pikiran sirna. Melihat sinar mata masyarakat di banyak kesempatan, rasanya tidak ada masalah yang tidak ada solusinya, seberat apa pun masalahnya."

"Jika presiden dan rakyat yang mendukungnya bisa jadikan Indonesia lebih baik dan maju, itulah puncak kebahagiaan dan kehormatan seseorang presiden."

Sengaja, ada kalimat SBY yang saya tebalkan. Karena dari kalimat itu, saya pikir bisa membenarkan keyakinan saya, bahwa SBY paham sekali, apa itu makna leiden is lijden. Memimpin itu menderita. Tak hanya itu, pemimpin adalah sosok yang dipuji sekaligus dibenci.

Dengan kondisi yang seperti begini, SBY kemudian begitu teramat hati-hati untuk mengucapkan perintahnya kepada seluruh jajaran kader Partai Demokrat, dalam menentukan pilihan calon presiden mana yang musti dimenangkan.

Secara resmi, Demokrat memang bukan pendukung kubu pasangan Capres petahana Joko Widodo dan pasangannya Cawapres KH Ma'ruf Amin. Demokrat ada di kubu sebelah, mendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Meskipun belakangan, dukungan kepada Prabowo seperti "kerupuk yang terpapar angin", tak keras lagi.

Malah, meski di bibir sejumlah elite Demokrat tetap menyatakan komitmen mendukung Prabowo-Sandiaga, tapi sungguh lidah tak bertulang, Demokrat akhirnya terpaksa menyatakan mau lebih fokus memenangkan pertempuran dalam Pileg, ketimbang "berdarah-darah" mengupayakan kemenangan pada Pilpres yang ujung-ujungnya adalah untuk Prabowo-Sandiaga - untuk Partai Gerindra -, terutama.

Logika politik bekerja. Seandainya SBY total-totalan mendukung Prabowo-Sandiaga. Lalu, misalnya saja, pasangan ini menang Pilpres 2019. Jadi Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2019-2024. Lima tahun.

Ya, lima tahun itu juga kemudian SBY harus, katakanlah, berjuang lagi total-totalan untuk memenangkan AHY, putra kandungnya sendiri menuju tampuk presiden pun wakil presiden. Lha, apa enggak kehabisan energi SBY-nya, kalau itu yang terjadi?

Lagipula, pada 2024 kelak, andai Prabowo-Sandiaga sudah menghabiskan periode pertama masa pemerintahannya, apa keduanya mau gantian berbagi - bertukar posisi -, "membayar jerih-payah" SBY (pada Pilpres 2019), dengan salah satu diantara keduanya lengser dan tidak maju lagi untuk berkuasa di periode kedua, demi digantikan posisinya oleh AHY? Tak ada jaminan untuk itu. Artinya, AHY belum tentu juga akan dilirik oleh kubu Prabowo-Sandiaga, apalagi menggantikan posisi salah satu diantara keduanya.

Dan, yang terjadi kemudian, andai itu juga yang terjadi, pada 2024, kekuatan "SBY-AHY-Demokrat" akan berjuang memenangkan Agus Harimurti Yudhoyono dalam persaingan melawan Prabowo Subianto ataupun Sandiaga Uno.

Maka wajar, dukungan Demokrat pada Pilpres 2019 untuk Prabowo-Sandiaga seperti "kerupuk melempem". Angin-anginan. Dan, malah memalingkan muka ke Pileg, yang notabene, justru sejumlah kader Partai Demokrat di daerah mendukung pasangan petahana Joko Widodo-Ma'ruf Amin.

Saya tak sampai hati menganggap, andaikata SBY pada Pilpres 2019 ini memperjuangkan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno habis-habisan, maka itu sama saja dengan SBY (dan Demokrat) membesarkan "anak macan". Tidaklah sampai sebegitu. Karena beruntung, jauh sebelum "habis-habisan" memberi dukungan ke Prabowo-Sandi, Sang Jenderal SBY sudah memberi kebijakan untuk lebih fokus ngurusi Pileg saja, ketimbang Pilpres.

Hitungan 2024 untuk melapangkan jalan bagi AHY, sepertinya menjadi jawaban mengapa Demokrat kurang atau belum mau terjun aktif berkampanye dan ikut bercucur keringat demi memenangkan Prabowo-Sandi.

Saya setiap hari melintas di Jalan Wijaya I, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dimana terdapat basecamp ACC alias AHY Command Center. Tulisan AHY-nya besar-besar. Huruf AHY ada di dalam kotak. Seolah-olah menyiratkan, bahwa AHY masih tersimpan dalam kotak, bahkan pada saat Pilpres 2019 ini, dan baru akan dikeluarkan dari kotak, pada 2024 nanti. Begitu, saya memaknakan logo atau tulisan AHY dalam kotak putih itu. Begitu keluar dari kotak di 2024, maka tagarnya pun saat ini sudah dipersiapkan, yaitu terpampang di gedung ACC itu: #AHYforAll

Logika pikir saya tentang SBY yang tak mau terfokus mendukung Prabowo-Sandiaga, mungkin salah. Apalagi bila dikaitkan dengan, target 2024, dengan "siap mengeluarkan AHY dari kotak". Tapi yang pasti benar adalah, politik itu cuma ngurusi kepentingan belaka. Demokrat lebih mau ngurusi Pileg ketimbang fokus pada Pilpres, ya karena ada kepentingan: mau "menguasai" kursi parlemen di daerah maupun di pusat. Cita-cita sih, boleh kan ...

Tapi juga, dukungannya kepada Prabowo-Sandiaga pun juga karena punya kepentingan saja. Nah, yang ini saya belum ketemu jawabannya. Apa kepentingan SBY mendukung Prabowo? Apakah untuk lebih dulu membuat hutang budi bagi Prabowo-Sandi? Politik kan sulit ditebak secara matematika.

Masalahnya sekarang, mampukah Partai Demokrat mendulang hasil bagus pada Pileg, seperti yang digembar-gemborkan untuk menjadi fokusnya sekarang. Kalau enggak sanggup dan terpuruk raihan suaranya pada Pileg 2019, maka bisa saja terjadi seperti apa yang dikhawatirkan Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Syarief Hasan, bahwa orang akan mencibir, "Kok, bekas the ruling party hasil raihan suaranya jeblok?"

Kalau Demokrat sudah terpuruk, lalu bagaimana mau "mengeluarkan AHY dari dalam kotak putih" tadi pada 2024?

Jelas ya, SBY seakan "mengerem" dukungan ke Prabowo-Sandi, demi mempersiapkan AHY pada 2024. Jangan sampai memenangkan Prabowo-Sandi pada Pilpres 2019 ini, tapi justru berbalik menjadi lawan AHY paling tangguh pada Pilpres 2024 kelak.

Nah, kalau sudah begini, mustinya sih, saya saran saja, Prabowo-Sandi, lupakan saja dukungan dari SBY (baca: Partai Demokrat). Biar energi enggak habis lho, Pak Prabowo. Jadi bisa semakin fokus bergerak sana-sini, tanpa perlu memikirkan rekan sekoalisi yang tak mau menyalakkan "amunisi".

Benar tidaknya, wallahu a'lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun