Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Berat Hati Prabowo Tinggalkan SBY?

20 November 2018   06:44 Diperbarui: 20 November 2018   06:48 1040
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prabowo dan SBY. (Foto: liputan6.com/johan tallo)

Jelas sudah. Dalam berpolitik, Partai Demokrat menghalalkan "bermain" dua kaki. Satu kaki mendukung pasangan Prabowo-Sandiaga. Kaki lainnya, membiarkan para kader untuk mendukung Jokowi-Ma'ruf.

Kok bisa 'gitu?   

Ya, alih-alih ingin memenangkan Pemilu Presiden (Pilpres), tapi karena diyakini kurang mendapat keuntungan, bila secara total mendukung Prabowo-Sandiaga, maka Demokrat pun memutuskan: LEBIH FOKUS NGURUSI PILEG. Partai berlambang berlian ini tak mau  memusatkan perhatian untuk memenangkan Prabowo-Sandiaga, tapi mendingan memikirkan bagaimana para calon anggota legislatif (Caleg)-nya meraup suara banyak.

Dengan raihan banyak suara bagi kader Demokrat, tentu jumlah kursi di parlemen juga akan banyak diisi wajah-wajah kader partainya. Ini kode keras buat koalisi pendukung Prabowo-Sandiaga. Karena dengan kata lain, Demokrat sudah memutuskan, bentuk dukungan mereka untuk pasangan Capres-Cawapres nomor urut 02 itu, hanya sebata formalitas saja. Keringat Demokrat, bukan untuk "memenangkan" Pilpres, tapi justru Pileg.

Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Syarief Hasan mengaku, target dan fokus pada Pileg 2019 ini, diharapkan mampu mempertahankan raihan suara partai,  sama seperti ketika Pemilu 2009 dan 2014. "Apa kata orang, kalau Partai Demokrat kehilangan banyak suara? Orang akan bilang, wah, partai yang pernah menjadi the ruling party, nasibnya kok seperti begitu?" ujarnya sewaktu talkshow di salah satu tivi swasta.

Sebenarnya, tanpa harus dinyatakan oleh suami dari Inggrid Kansil itu, sebelum-sebelumnya sikap Demokrat sudah ketahuan "belangnya". Yaitu, ketegasan sikap Partai Demokrat yang justru tidak tegas, untuk mengingatkan, memberi sanksi, atau memecat kader-kadernya yang malah mendukung Jokowi-Ma'ruf. 

Demokrat "angkat tangan" dengan "mbalelo"-nya para kader itu. Maklum, dalam pandangan partai, mereka merupakan kader yang terbaik di daerah pemilihan masing-masing. Mereka digadang-gadang menjadi anggota dewan maupun kepala daerah. Artinya, kalau melarang para kader memilih Jokowi-Ma'ruf, itu sama saja dengan bertolak-belakang dengan harapan dan animo masyarakat yang memang berbasiskan pendukung pasangan Capres-Cawapres nomor urut 01, bukan Prabowo!

Tercatat, sejumlah kader Partai Demokrat yang tidak diberi sanksi oleh partai karena memilih dan memihak ke Jokowi-Ma'ruf. Misalnya, Ketua DPD Partai Demokrat Papua Lukas Enembe, Gubernur Nusa Tenggara Barat Tuan Guru Bajang, dan Deddy Mizwar di Jawa Barat.  

Demokrat bersikap dua kaki? Partai yang dipimpin seorang Jenderal TNI Purnawirawan ini tak pernah mau tegas. Sang "Putra Mahkota" Agus Harimurti Yudhoyono misalnya, ia bilang, ya harus dua kaki, kalau enggak maka justru pincang. Meskipun, AHY tetap berusaha meyakinkan koalisi pendukung Prabowo-Sandiaga, bahwa kalau soal komitmen dukungan, tak perlu harus dibicarakan apalagi diingatkan. Dukungan tetap kok diberikan kepada Prabowo-Sandiaga.

Hanya Ada Kepentingan Abadi

Begitulah politik. Tak ada lawan abadi. Tak ada kawan abadi. Karena yang abadi, hanyalah kepentingan belaka. Demokrat mementingkan memenangkan Pileg, daripada memenangkan Pilpres (baca: memenangkan Prabowo).

Hanya dalam tempo tiga bulan, semuanya berubah. Sikap Demokrat semakin terbelah. Kita masih ingat, pada 30 Juli 2018. Sekretaris Jenderal DPP Partai Gerindra Ahmad Muzani yakin betul, bahwa Ketua Umum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono itu serius mendukung Prabowo pada Pilpres tahun depan.

"Kami meyakini SBY sungguh-sungguh akan mendorong Prabowo sebagai Capres," kata Muzani di kediaman Prabowo di Jakarta.

Apa lacur? Pada 9 September, semangat kebersamaan itu "bubar". Anggota Badan Komunikasi DPP Partai Gerindra Andre Rosiade sadar betul, bahwa keputusan Demokrat mengizinkan kadernya mendukung Jokowi-Ma'ruf, bisa menimbulkan persepsi miring. Tapi Andre bilang, persepsi miring itu merupakan  dinamika demokrasi.

"Ya, itu biarkan Partai Demokrat yang menyelesaikan persepsi masyarakat yang seperti itu. Wajar kalau ada persepsi masyarakat, persepsi publik melihat Partai Demokrat bermain dua kaki, membiarkan kader-kadernya mendukung Pak Jokowi. Tapi itu kan dinamika demokrasi, ya. Sepenuhnya kami serahkan urusan internal Partai Demokrat ke Partai Demokrat," ujarnya.

Mirip seperti percintaan anak muda-mudi ya, seolah ada sosok PHP alias "Pemberi Harapan Palsu". Awalnya menggebu-gebu, pemuda naksir pemudi. PDKT atau pendekatan terus dilakukan. Tapi begitu cinta bertepuk sebelah tangan, semuanya berantakan. Barulah ketahuan, perasaan naksir, rasa suka dan usaha yang dilakukan sang pemuda, hanya sekadar PHP belaka. Meski bisa juga sih, PHP juga datang dari si pemudi. Ia memberi PSP, alias "Pemberi Sinyal Palsu". Sinyal-sinyal cinta yang tak sesungguhnya. Maka, PHP pun berbuah PSP, begitu pula sebaliknya.

Berat memang bagi Partai Demokrat kalau total mendukung Prabowo-Sandiaga dalam Pilpres 2019. Karena Pilpres saat ini, baru yang pertama kali akan berbarengan pelaksanaannya dengan Pileg 2019. Mendukung Prabowo-Sandiaga, maka Partai Demokrat akan "kebobolan" hasil Pileg. Logika wajar (dan waras) kalau akhirnya, Demokrat lebih concern mengurus Pileg daripada Pilpres. Apalagi, kalau memenangkan Prabowo-Sandiaga, maka sosok the rising star mereka yaitu AHY, akan semakin terbenam. Karena itu berarti, andaikata Prabowo-Sandiaga memenangkan Pilpres, maka pada 2024 kelak, AHY harus bersusah-payah dan "berdarah-darah" lagi berjuang melawan dua orang petahana Prabowo Subianto dan (atau) Sandiaga Uno. Kalau lima tahun ke depan, itu yang terjadi, lha terus kapan AHY bisa keluar dari kotak?

Mendukung Prabowo-Sandiaga secara total, akan memberi banyak kemenangan bagi pasangan nomor urut 02 itu. Sementara Partai Demokrat, kurang mendapat keuntungan apa-apa. Posisi Wakil Presiden sudah "tersalip" Sandiaga, lalu mau dapat apalagi kalau Prabowo-Sandiaga menang? Demokrat dapat jabatan kursi menteri-menteri? Wah, rasanya kok malah membuat Partai Demokrat semakin merugi, kalau harus "dibayar" dengan raihan kursi di parlemen yang semakin berkurang, akibat merosotnya capaian suara dalam Pileg nanti.

Nehi-nehi, Demokrat gak akan sudi kehilangan kursi, demi memenangkan Prabowo only. Heheheee ...

Hitungan politik yang strategic!

Seni Perang SBY Meniru Sun Tzu? 

Sun Tzu punya strategi perang yang jitu. Diantaranya, "Perdayakan Langit. Menangkan Samudera". Ibarat koalisi pendukung Prabowo-Sandiaga yang sedang berusaha memenangkan pertempuran langit (dan samudera), tapi tidak bagi satu anggota (setengah hati koalisi) yaitu Partai Demokrat.

Memang, Demokrat "bersumpah" untuk komitmen mendukung Prabowo memenangkan pertempuran "langit". Tapi, bagi SBY dan klannya, pertempuran "langit" bak seseruan ramai-ramai Pilpres saja. Karena sebenarnya, SBY dan Demokrat justru ingin memenangkan pertempuran "samudera", yaitu meraih kemenangan di laga Pileg.

Pandai sekali bukan? #Twink, kedipkan sebelah mata.

Strategi perang Sun Tzu lainnya, adalah berpura-pura menyerang dari Timur, tapi sesungguhnya menyeranglah dari Barat. Sebenarnya, ini yang sedang dilakukan SBY, Demokrat dan klan-nya. Bersikap mendukung Pilpres untuk Prabowo, tapi sebenarnya mengincar kemenangan untuk Pileg bagi keuntungan partai sendiri.

Kadung sudah ketahuan sikap dua kakinya, maka seakan-akan, strategi perang ini sudah terbaca kawan maupun lawan. Serangan Timur maupun Barat, sepertinya sudah tidak akan ampuh lagi.

Sebagai patriot berjiwa ksatria, Prabowo mustinya tidak merangkul teman sekubu seperti SBY (dan Demokrat). Prabowo musti tegas, untuk ucapkan "so long goodbye" ke partai berlian itu. Bukankah Prabowo pernah membawa-bawa nama Allah SWT di bukunya, Paradoks Indonesia hal 157. Bolehlah saya ingatkan, Prabowo bilang: "Sekaranglah saatnya saudara menjadi guru di tengah rakyat. Bangkitkanlah kesadaran rakyat bahwa Allah SWT tidak akan mengubah nasib suatu kaum, manakala kaum itu tidak mau mengubah nasibnya sendiri."

Begitu kata Prabowo, yang kini masih berharap dapat dukungan dari Demokrat (baca: SBY). Sekaranglah saatnya Pak Prabowo, "tinggalkan" SBY. Bergantunglah pada Allah SWT, semata. Cukup toh?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun