Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Politik

Nyanyi Seirama, Hizbut Tahrir Indonesia dan "Paradoks" Prabowo

30 September 2018   15:28 Diperbarui: 30 September 2018   16:25 1062
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
2015, aksi Hizbut Tahrir Indonesia minta tambang Freeport dihentikan. 2018, saham mayoritas PT Freeport Indonesia dibeli oleh Pemerintah Indonesia. (Foto: poskotanews.com)

Tengoklah siapa saja - yang menyebut dirinya ulama dan tokoh nasional dan sudah menyatakan keputusannya untuk mendukung Capres-Cawapres Prabowo-Sandi. Dukungan dinyatakan melalui Sidang Pleno I yang menelurkan Ijtima Ulama dan Tokoh Nasional II, pada 16 September 2018 di Jakarta.

Mereka adalah H Dani Anwar, H Munarman, KH Abdul Rasyid Abdullah Syafi'i, H Yusuf Muhammad Martak, KH Muhammad Al-Khathath, Ustadz Bambang Setyo, Ustadzah Nurdiati Akma, Ustadz Saleh Khalid, KH Zaitun Rasmin, Ustadz Muhammad Achwan, dan KH Ahmad Shabri Lubis.

Satu nama bikin saya kepo: KH Muhammad Al-Khathath. Bukankah empunya nama asli Muhammad Gatot Saptono ini pernah aktif di Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)? Lalu menjabat Sekjen Forum Indonesia (FUI), dan bersama sejumlah pimpinan ormas Islam lainnya termasuk Imam Besar DPP Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Syihab, dan Wakil Amir Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Ustadz Abu Jibril menggagas dan memperjuangkan NKRI Bersyariah.

Negara Kesatuan Republik Indonesia Bersyariah, apa itu? Ya, dari namanya saja sudah gampang menafsirkannya. Yaitu, perjuangan untuk mewujudkan NKRI yang menerapkan seratus persen syariat Allah SWT, sebagai dasar dari segala hukum maupun perundang-undangan yang formal konstitusional.

Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan memilih dan mengangkat Presiden yang tidak alergi untuk mendekritkan pemberlakuan syariah di Indonesia secara sah dan konstitusional.

Muhammad Al-Khathath ketika diperiksa aparat berwajib. (Foto: duta.co/IST)
Muhammad Al-Khathath ketika diperiksa aparat berwajib. (Foto: duta.co/IST)
Tentu, ini seirama juga dengan apa yang diperjuangkan Al-Khathath semasa jadi salah satu pimpinan Hizbut Tahrir periode 2002-2004 lalu. Yakni, ingin merealisasikan cita-cita menciptakan Indonesia sebagai Negara Khilafah. Sekaligus, menumbangkan sistem dan rezim demokrasi.

Tak heran, Al-Khathath ikut berada di garis depan sejak Aksi Bela Islam I, II, dan III. Keterlibatannya kemudian dibayar mahal, ia dicokok aparat kepolisian, dini hari sebelum aksi jilid III dimulai. Tuduhannya enggak main-main. Makar! Lelaki jebolan Institut Pertanian Bogor ini dijerat Pasal 107 dan 110 KUHP tentang makar. Polda Metro Jaya menduga Al-Khathath  ingin menggulingkan pemerintahanan yang sah dibawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo.

Kegagalan kedua Al-Khathath. Lho, kegagalan pertamanya? Al-Khathath udah gagal dalam pencalegannya dari Partai Bulan Bintang di Pileg 2014. Aneh memang, bersikap menentang demokrasi, tapi ikutan jadi Caleg untuk dapat kursi di DPR RI.

Setahun kemudian, Pemerintah membubarkan HTI. Melalui Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 Tahun 2017 yang mengubah UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, Hizbut Tahrir Indonesia tamat. Status badannya dicabut, kata Dirjen Administrasi Hukum Umum Kemenkumham, Freddy Harris pada 19 Juli 2017, berdasarkan SK Menkumham Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 tentang pencabutan Keputusan Menkumham Nomor AHU-0028.60.10.2014 tentang pengesahan pendirian badan hukum perkumpulan HTI.

"Kemenkumham memiliki kewenangan legal administratif dalam aturan pengesahan perkumpulan atau kemasyarakatan (ormas). Di samping itu, Kemenkumham juga berwenang mencabut status tersebut. Khususnya yang berseberangan dengan ideologi dan hukum negara di Indonesia. Dengan adanya pencabutan SK Badan Hukum HTI, maka ormas tersebut dinyatakan bubar sesuai dengan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 Pasal 80A," kata Freddy ketika itu.

Menkopolhukam Wiranto, pada 8 Mei 2017, memaparkan gamblang tiga alasan pembubaran HTI. Pertama, HTI tidak memainkan peran positif untuk ambil bagian dalam proses pembangunan demi mencapai tujuan nasional. Kedua, kegiatan HTI terindikasi telah bertentangan dengan tujuan, azas dan ciri yang berdasarkan Pancasila serta UUD Negara RI tahun 1945 sebagaimana diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas. Ketiga, aktifitas HTI dinilai menimbulkan benturan masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban serta membahayakan keutuhan NKRI.

Kelar? Belum!

HTI ajukan gugatan!

Salah satu aksi unjuk rasa Hizbut Tahrir Indonesia. (Foto: seruji.co.id)
Salah satu aksi unjuk rasa Hizbut Tahrir Indonesia. (Foto: seruji.co.id)
Gugatan pembubaran HTI diajukan ke PTUN. Gugatan bernomor 211/G/2017/PTUN.JKT dan tertanggal 13 Oktober 2017 ini meminta, SK Nomor AHU-30.A.01.08 tahun 2017 tentang pencabutan, ditunda pelaksanaannya. Sampai, ada kekuatan hukum yang mengikat. Namun apa mau dikata, meski didukung tiga partai: Gerindra, PAN dan PKS, tapi PTUN menolak gugatan HTI, pada 7 Mei 2018,.

Belum mau mengibarkan "bendera putih", kuasa hukum HTI Yusril Ihza Mahendra kemudian mengajukan memori banding atas putusan PTUN, pada 5 Juni 2018. Hasilnya? Lagi-lagi, HTI "tertunduk lesu". Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Jakarta, pada 26 September 2018, menolak permohonan banding, sekaligus menguatkan putusan PTUN Jakarta yang menolak gugatan HTI. Tak hanya itu, SK Menkunham atas pembubaran HTI pun, diputuskan sah!

Tiga hakim PT TUN Jakarta dengan Ketua Majelis Kadar Slamet dan dua hakim anggota, Djoko Dwi Hartono dan Slamet Suparjoto menyatakan, berdasarkan fakta pembuktian, HTI terbukti mengembangkan ajaran atau paham khilafah yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 194.

Majelis hakim menegaskan, HTI mengimplementasikan pahamnya dalam berbagai bentuk kegiatan dengan menyebarkan ajaran khilafah, yang tujuan akhirnya mengganti Pancasila dan UUD 1945, serta mengubah NKRI menjadi negara khilafah islamiyah. Tindakan yang sudah menyangkut ancaman serius, ucap majelis hakim, terhadap keutuhan negara dan kesatuan bangsa.

Udah kelar dong? Masih belum!

HTI melalui kuasa hukumnya mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Juru bicara HTI Ismail Yusanto menyebut, langkah kasasi sebagai bentuk perlawanan atas ketidakadilan dan kezaliman.

Bagaimana nasib HTI di MA? Kita tunggu saja.

Dalam Ijtima Ulama dan Tokoh Nasional II, memang tidak jelas-jelas disebutkan ada unsur HTI yang mewakili. Meski ada nama Al-Khathath, tapi ia hanya pernah menjadi salah satu pimpinan Hizbut Tahrir di era 2000-an. Nama Ismail Yusanto juga tak tercantum diantara 11 pimpinan Sidang Pleno I, pada 16 September 2018 di Jakarta.

Beda dengan ijtima sebelumnya di Slipi, Jakarta, pada 27 Juli 2018. Ketika itu, Ismail Yusanto turut hadir, begitu juga Anies Baswedan dan Sandiaga Uno.

Sekarang, yuk fokus dulu pada sejumlah butir Pakta Integritas yang disodorkan Ijtima Ulama dan Tokoh Nasional II kepada pasangan Capres-Cawapres Prabowo-Sandi. Dari 17 butir yang harus ditaati Prabowo-Sandi, ada tiga butir yang perlu dikaji lebih mendalam, yaitu:

Butir 10, yang isinya: "Siap menjaga agama-agama yang diakui Pemerintah Indonesia dari tindakan penodaan, penghinaan, penistaan serta tindakan-tindakan lain yang bisa memancing munculnya ketersinggungan atau terjadinya konflik melalui tindakan penegakan hukum sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku."

Butir 12, yang berbunyi: "Siap menjamim hak berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat secara lisan dan tulisan."

Butir 17, yang menyebutkan: "Menghormati posisi ulama dan bersedia untuk mempertimbangkan pendapat para ulama dan pemuka agama lainnya dalam memecahkan masalah yang menyangkut kemaslahatan kehidupan berbangsa dan bernegara."

Aksi muslimah Hizbut Tahrir Indonesia. (Foto: republika.co.id)
Aksi muslimah Hizbut Tahrir Indonesia. (Foto: republika.co.id)
Khusus pada butir 12, sepertinya punya benang merah dengan nasib lara yang mendera HTI, yaitu pecabutan status badan hukum dengan salah satu alasannya: melanggar ketentuan UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas. Artinya, bisa dijadikan peluang bagi Ormas yang "bermasalah" -- dalam hal ini HTI -- untuk bisa "eksis" lagi atas jaminan Prabowo-Sandi andai keduanya menang dalam Pilpres 2019.

Telaah pula konten media yang menjadi corong HTI, seperti Media Umat misalnya. Tudingan bahwa aturan konstitusi tentang Ormas mengandung pasal "karet" sehingga mengerangkeng kebebasan orang untuk berserikat dan berkumpul, terus menjadi salah satu bahan "gorengan". Meski menyadur Rakyat Merdeka Online yang mewawancarai Wakil Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid, tapi berita yang diturunkan pada 9 Oktober 2017 ini jelas-jelas membela konten yang prinsipil.

Hidayat mendesak DPR untuk jeli menelaah Perppu No.2 tahun 2017 tentang Ormas yang diklaim Pemerintah untuk melindungi negara dari gerakan radikal yang tidak sesuai landasan negara. Tapi, ada pasal "karet" yang gampang mulur atau mengkeret dan tidak begitu jelas detil dari pelarangan mengubah ideologi Pancasila dan UUD 1945.

Untunglah, meski sempat mendapat tentangan, Perppu Ormas ini disetujui juga oleh DPR dalam rapat paripurna, 24 Oktober 2017, untuk menjadi undang-undang. Ada tujuh fraksi yang mendukung: PDIP, Golkar, PKB, PPP, NasDem, Hanura dan Demokrat. Sedangkan tiga fraksi yang tidak setuju: Gerindra, PKS dan PAN.

Semakin jelas sekarang ya, mengapa HTI cenderung merapat ke kubu Prabowo-Sandi. Alih-alih berharap, andai Prabowo-Sandi jadi pemimpin Indonesia, maka HTI bisa eksis secara lebih baik lagi. Bisa jadi, salah satu agenda pertama yang akan diperjuangkan adalah melakukan revisi UU tentang Ormas, demi mengembalikan status badan hukum HTI yang sudah dicabut.

Eh, perhatikan juga. HTI ini merupakan salah satu pendukung gerakan tagar politik #2019GantiPresiden lho. Dalam satu wawancara, jubir HTI Ismail Yusanto menyebutkan, dukungan tersebut karena semangat yang diperjuangkannya adalah sama. Apa itu? Ya, tidak lagi menghendaki kepemimpinan Joko Widodo berlanjut sampai dua periode. Dalam pesan singkat yang kemudian dikutip Tempo, Ismail menegaskan, "#2019GantiPresiden adalah gerakan rakyat yang sudah emoh terhadap rezim zalim, bohong, dan ingkar janji."

Siapa zalim, bohong dan ingkar janji?

Membaca alasan HTI mengapa memberi dukungan kepada gerakan #2019GantiPresiden, kembali saya menemukan benang merah dengan apa yang sudah pernah disampaikan Prabowo Subianto. Intinya sama, ya tiga tudingan itu, bahwa pemerintahan yang sekarang berkuasa ini zalim, bohong dan ingkar janji.

Tambang Freeport di Papua. (Foto: tstatic.net)
Tambang Freeport di Papua. (Foto: tstatic.net)
Dalam buku "Pandangan Strategis Prabowo Subianto : Paradoks Indonesia -- Negara Kaya Raya, Tetapi Masih Banyak Rakyat Hidup Miskin", di halaman 44, telak-telak Prabowo menulis, Selama 10 tahun terakhir, setiap saya ada kesempatan untuk memaparkan data-data, saya tanyakan kepada mereka yang menyimak. "Kalian mau saya bicara baik-baik, atau saya bicara apa adanya? Kalian mau saya bicara halus, baik-baik, tapi kenyataannya tidak baik, atau saya bicara apa adanya, saudara-saudara sekalian?

Mereka menjawab, "Bicara apa adanya saja, Pak Prabowo".

Menurut saya, sudah terlalu lama elit Indonesia berbohong. Bohong kepada rakyat, bohong kepada bangsa. Dan juga bohong kepada dirinya sendiri.

Kenapa orang kecil semakin terjepit? Kenapa di Indonesia, yang kaya tambah kaya, yang miskin tambah miskin? Kenapa petani tidak senyum kalau panen? Bagaimana bisa di negara yang sudah lebih dari 70 tahun merdeka, ada guru honorer yang hanya menerima Rp 200.000 sebulan?

Bagaimana bisa?

Bagaimana bisa, sebagian besar hasil keuntungan kita sebagai bangsa mengalir ke luar negeri, tetapi elit diam saja? Belasan ribu triliun Rupiah yang seharusnya ada di Indonesia, parkir di luar negeri, dan elit Indonesia tidak berjuang keras untuk mengembalikannya ke dalam negeri?

Pahit memang, apa yang saya katakana. Tetapi kalau setiap tahun terus ada net outflow kekayaan nasional kita ke luar, saya kira kita sebagai negara tidak perlu punya rencana pembangunan karena rakyat kita juga tidak akan menikmati.

Uang ini adalah sangat-sangat vital bagi pembangunan masa depan bangsa kita. Bangsa kita tidak bisa lagi kehilangan kekayaan sebesar ini tiap tahun.

Akuisisi saham mayoritas PT Freeport Indonesia oleh Pemerintah, 27 September 2018. (Foto: kompas.com)
Akuisisi saham mayoritas PT Freeport Indonesia oleh Pemerintah, 27 September 2018. (Foto: kompas.com)
Ketika saya menulis ini, persis tiga hari sudah Pemerintah mengakuisisi 51% saham PT Freeport Indonesia (PTFI). Kesepakatannya ditandatangani, 27 September 2018 di Kantor Kementerian ESDM, antara PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) dengan Freeport McMoran selaku induk usaha PTFI.

Ini bukan akuisisi simsalabim apalagi pencitraan seperti di-nyinyir-kan Fadli Zon. Karena, meski jalannya panjang tapi dengan strategi alon-alon nanging mesti kelakon ala Jokowi, maka Indonesia berhasil menguasai mayoritas saham PTFI. Begini kronologisnya, seperti yang dibagikan kepada awak media, pada saat penandatanganan akuisisi saham mayoritas tersebut:

* 2017: 10 Januari, Presiden Joko Widodo memberi arahan untuk meningkatkan kepemilikan negara di PTFI menjadi 51% dari saat itu sebesar 9,36%.

* 11 Januari, Terbit PP No.1/2017; perubahan keempat PP No.23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, yang diantaranya memuat tentang:

- Perubahan ketentuan tentang divestasi saham sampai dengan 51% secara bertahap.

- Kewajiban pemegang Kontrak Karya (KK) untuk mengubah izinnya menjadi rezim Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

* Januari -- Agustus, renegosiasi antara Freeport McMoran (FCX), pemilik 90,64% PTFI dan Pemerintah RI berlangsung untuk memastikan operasional PTFI dalam jangka panjang. Renegosiasi mencakup empat hal:

- Divestasi 51%.

- Kelanjutan operasi PTFI hingga 2041 melalui perubahan KK menjadi IUPK.

- Jaminan investasi jangka panjang terkait dengan perpjakan, PNBP dan jaminan regulasi.

- Pembangunan smelter dengan deadline operasional 12 Januari 2022.

* 18 April, MoU antara FCX dan Pemerintah RI memberikan jaminan KK akan tetap berlaku hingga ada IUPK yang disetujui bersama beserta jaminan stabilitas investasi.

* 27 Agustus, Pemerintah RI dan FCX mencapai kesepakatan untuk:

- PTFI mengubah KK menjadi IUPK dan mendapatkan jaminan operasi.

- Pemerintah memberikan jaminan fiskal dan regulasi untuk operasional PTFI.

- PTFI akan membangun smelter dalam jangka waktu 5 tahun.

- FCX bersedia mengurangi kepemilikan saham di PTFI sehingga entitas Indonesia bisa memiliki 51% saham di PTFI.

(Setelah empat butir ini disepakati, maka PTFI akan mendapatkan perpanjangan masa operasi 2x10 tahun hingga 2041)          

* Sejak September -- November 2017, perundingan terkait struktur divestasi terus berjalan antara Pemerintah RI, Inalum, FCX dan Rio Tinto.

* 18 Desember, Kementerian BUMN resmi menugaskan Inalum untuk membeli saham divestasi PTFI hingga saham yang dimiliki peserta Indonesia di PTFI mencapai 51%.

Truk transport di tambang PT Freeport Indonesia. (Foto: geotimes.co.id)
Truk transport di tambang PT Freeport Indonesia. (Foto: geotimes.co.id)
* 2018: 12 Januari, Pemerintah Pusat mengalokasikan 10% dari saham PTFI untuk Pemda Papua dan Mimika.

* 18 Februari, pembahasan hasil due diligence dan valuasi oleh Danareksa, PwC, Morgan Stanley, Behre Dolbear Australia terkait divestasi saham PTFI.

* 28 Februari -- 11 Juli, perundingan terkait harga dan struktur transaksi antara Inalum, FCX dan Rio Tinto.

* 12 Juli, penandatanganan Head of Agreement (HoA) antara Inalum, FCX dan Rio Tinto terkait dengan harga dan struktur transaksi.

* 13 Juli -- 25 September, penyelesaian proses divestasi saham, pemberian jaminan fiskal dan regulasi, detil terkait pembangunan smelter, dan tindak lanjut dari HoA.

* 27 September, penandatanganan perjanjian terkait divestasi saham PTFI yang terdiri dari:

- Perjanjian Divestasi PTFI.

- Perjanjian Jual Beli Saham PTRTI.

- Perjanjian Pemegang Saham PTFI, yang dilengkapi dengan Services Agreement, dan Economic Replacement Agreement.

- Perjanjian Pengambilan Saham PTFI.

Maka, "Paradoks Indonesia" ala Prabowo kontan langsung absurd.

Buku Paradoks Indonesia karya Prabowo Subianto. (Foto: cnnindonesia.com)
Buku Paradoks Indonesia karya Prabowo Subianto. (Foto: cnnindonesia.com)
Enggak kebayangkan, doeloe, Jum'at, 7 April 1967, ketika belum juga genap sebulan Soeharto menjadi Presiden Indonesia kedua, Freeport Sulphur of Delaware menandatangani kontrak kerja dengan Pemerintah Indonesia untuk penambangan tembaga di Papua Barat!

Jadi, justru Soeharto -- mantan mertua Prabowo Subianto - yang menjual ke luar negeri, dan Joko Widodo yang membeli dan mengembalikan (tambang tembaga dan emas di Papua) ke pangkuan ibu pertiwi.

Lalu siapa yang zalim, bohong dan ingkar janji seperti yang sering-sering digenderangkan HTI, Prabowo dan massa pendukungnya itu?

 oooo O oooo

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun