Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

"Paradoks Indonesia" ala Prabowo dan Kenyataan Pahitnya

18 September 2018   22:29 Diperbarui: 19 September 2018   20:01 6190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Paradoks Indonesia, buku karya Prabowo Subianto. (Foto: Gapey Sandy)

Prabowo Subianto menulis buku. Judulnya Paradoks Indonesia - Pandangan Strategis Prabowo Subianto : Negara Kaya Raya, Tetapi Masih Banyak Rakyat Hidup Miskin. Buku setebal 158 halaman ini tampil luks. Ukurannya besar, sekira dua kali buku biasa.

Dalam pengantarnya, Prabowo menulis: Cita-cita saya adalah melihat Indonesia bangkit jadi bangsa yang kuat dan terhormat. Bangkit jadi Macan Asia. Bangkit jadi bangsa yang disegani oleh bangsa-bangsa lain karena rakyatnya hidup sejahtera.

Dalam buku yang diterbitkan Koperasi Garudayaksa Nusantara, 2017 ini, Prabowo juga menjelaskan tentang pilihan judul bukunya.

"Dengan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang kita miliki, seharusnya bangsa kita tidak hidup dalam ketimpangan dan kemiskinan. Sebuah kondisi mengenaskan yang saya sebut sebagai Paradoks Indonesia," begitu kata calon presiden dari Partai Gerindra.

Ada lima bab yang ditulis Prabowo. Secara berturut-turut, judul bab tersebut adalah, "Membangun Kesadaran Nasional", Tantangan Besar #1: Kekayaan Indonesia Mengalir ke Luar, Tantangan Besar #2: Demokrasi Indonesia Dikuasai Pemodal Besar, "Strategi Kita: Mencegah Tragedi Indonesia", dan "Menjawab Tantangan Sejarah".

Buku ini sarat dengan Infografi, atau gambar-gambar ilustrasi yang menyajikan data, tabel dan grafik dari berbagai sumber. Ada juga kutipan yang bersumber dari Bung Karno dan Bung Hatta.    

Infografik di halaman 116, misalnya. Menampilkan tema besar "Darurat Korupsi" dan menukil data dari Sekretariat Kabinet (2016). Tertulis besar-besar di infografik satu halaman penuh ini: "17 Gubernur dan 25 Menteri di Dalam Penjara". Dilengkapi tabel Jumlah Pejabat di Bui Karena Korupsi, tertulis di situ, ada 17 gubernur, 51 bupati/walikota, 25 menteri yang merayakan pergantian tahun 2016 ke 2017 di penjara karena korupsi. Angka ini semakin memprihatinkan karena ada 14 hakim dipenjara karena korupsi.

Sebenarnya, masih ada data yang mustinya disebutkan dalam kutipan tadi, yaitu sebanyak 122 anggota DPR/DPRD yang juga dibui lantaran korupsi.

Mengapa sampai darurat korupsi? Persis di sebelah tabel, Prabowo menulis alasannya: karena Pemda minim pengawasan. Minimnya pengawasan media dan masyarakat pada pemerintah daerah memungkinkan korupsi berjamaah dan oligarki menjamur di daerah.

Nah, di halaman sebelahnya, 117, Prabowo telak-telak menegaskan sikapnya, untuk memberantas korupsi di bumi Indonesia, kita juga harus memberi contoh. Harus ing ngarso sung tulodo, di depan memberi contoh. Bukan ing ngarso entek-enteke. Kita harus menyumbang sesuatu yang baik. Kita harus menyumbang politik yang bersih, politik yang menegakkan kebenaran dan keadilan. Jika orang lain belum bisa, kita harus bisa.

Prabowo melanjutkan, kita harus sabdo pandito ratu. Ucapan kita harus bisa dipegang, jangan jam dua tahu, jam empat tempe. Jangan bilang "iya", kalau maksudmu "tidak". Jangan memberi janji yang tidak bisa kami penuhi, karena itu juga sesungguhnya termasuk korupsi.

M Taufik dan Empat Kader Gerindra di DPRD Malang

Oh ya, ketika menuliskan resensi buku ini, masih teringat kader Gerindra, M Taufik, yang pernah dibui karena korupsi ketika menjabat Ketua KPU DKI Jakarta.

Taufik divonis 18 bulan kurungan penjara pada 27 April 2004, karena merugikan keuangan negara sebesar Rp 488 juta dengan melakukan korupsi pengadaan barang dan alat peraga Pemilu 2004.

Mirisnya lagi, kemarin ini, M Taufik termasuk yang paling ngotot untuk maju terus pantang mundur demi menjadi bakal calon anggota legislatif (Bacaleg) DPRD DKI Jakarta untuk wilayah Dapil II.

Padahal, ada Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang melarang mantan narapidana kasus korupsi mendaftarkan diri jadi Bacaleg.

Memang, akhirnya peraturan ini keok lantaran Mahkamah Agung dalam sidang uji materi justru memutuskan sebaliknya. Mantan narapidana kasus korupsi boleh maju sebagai Bacaleg.

Begitu lampu hijau dari Mahkamah Agung 'menyala' bagi para mantan narapidana kasus korupsi boleh menjadi Caleg, M Taufik seakan girang bukan kepalang.

Adalah Komisi Pemilihan Umum, yang kemudian menjadi salah satu sasaran celotehan pria kelahiran Rangkasbitung, Lebak, 3 Januari 1957 ini.

"Bahwa kenapa saya gugat KPU? Supaya lembaga ini jangan semena-mena. Ini kan lembaga, ini semena-mena KPU ini, sangat semena-mena lho, benar. Bukan sekadar hanya saya tidak bisa mencalonkan lho, enggak. Karena ada kesemena-menaan, ada arogan, ada kerja yang tidak didasari oleh aturan," ujar Taufik kepada awak media.

Toh, M Taufik kini statusnya melenggang sebagai Caleg DPRD DKI, melupakan status masa lalunya yang pernah merasakan dinginnya tembok dan lantai penjara, demi mempertanggung-jawabkan perbuatan korupsinya.

Tambah miris lagi, kini nama M Taufik semakin menguat untuk menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta, menggantikan kader Partai Gerindra sebelumnya, Sandiaga Salahuddin Uno.

Entahlah, bagaimana perasaan warga Jakarta, andai M Taufik berpasangan dengan Anies Baswedan, sebagai gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta? Mungkin ada juga yang berpikiran sama seperti Habiburokhman, Ketua DPP Gerindra, yaitu menganggap bahwa M Taufik dipercaya punya kualitas, dan yang terpenting, saat ini M Taufik sudah menjadi orang yang bersih.

Semoga banyak warga Jakarta, yang juga punya pikiran seperti Habiburokhman ini, hehehe ...

Sayangnya, tidak sedikit juga orang yang justru mempertanyakan sikap Gerindra dalam pemberantasan korupsi.

Selain karena kasus M Taufik, ya coba saja telaah lagi, kasus korupsi berjamaah yang masih jadi prahara di DPRD Kota Malang, Jawa Timur.

Ada 41 dari 45 anggota dewan di sana, yang sudah ditetapkan statusnya menjadi tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Mereka semua, diduga menerima Uang Pokir alias pokok pemikiran.

Artinya, acapkali ada pembahasan bersama secara bipartit antara Pemkot Malang dengan DPRD Kota Malang, perlu tersedia Uang Pokir. Selain, ada juga yang terbelit gratifikasi dana kelola sampah.

Dari 41 anggota DPRD Kota Malang yang kena jerat dan terpaksa pakai rompi oranye KPK, berapa kader Gerindra yang ikut tersangkut?

Empat kader Gerindra!

Mereka - yang terlibat kasus suap ini - adalah Een Ambarsari, Teguh Puji Wahyono, Letkol (purn) Suparno, dan Selamet.

Menanggapi keterlibatan empat kadernya ini, Sekjen Gerindra, Ahmad Muzani menolak bila partainya justru yang disalahkan.

Dalihnya, tindakan para anggota dewan Kota Malang itu diluar kendali partai.

"Saya kira problemnya ada tindakan-tindakan di luar kendali partai politik. Partai tidak bisa mengawasi anggota DPRD 24 jam," ujarnya kepada pers.

Paradoksnya siapa kalau sudah begini faktanya?

Infografi Oligarki Media di buku Paradoks Indonesia karya Prabowo Subianto. (Foto: Gapey Sandy)
Infografi Oligarki Media di buku Paradoks Indonesia karya Prabowo Subianto. (Foto: Gapey Sandy)
Oligarki Media?

Infografik lain yang ditampilkan Prabowo dalam bukunya yang dieditori Badan Kebijakan Strategis (BKKS) Partai Gerindra ini, adalah tentang "Oligarki Media".

Di halaman 73, infografi ini mengutip data Badan Pusat Statistik (2015) yang menyebutkan, sebanyak 90% Informasi dari Televisi.

Kutipan yang dimaksud bertuliskan, walaupun 50% dari populasi Indonesia sudah menggunakan internet, televisi masih menjadi media utama masyarakat dalam mengakses informasi. Sebanyak 18% masyarakat Indonesia membaca berita elektronik, 13% membaca media cetak, dan 7% mendengarkan radio.

Dimuat juga tabel media (televisi dan cetak), lengkap dengan nama media berikut pemiliknya. Sebut saja, RCTI, MNC TV, Global TV, iNews (MNC Grup), Trans TV, Trans7, CNN Indonesia (Trans Corp), SCTV, Indosiar (Surya Citra Media), TV One, ANTV (Viva Grup), MetroTV (MetroTV Grup), Koran Tempo, Majalah Tempo (Tempo Grup), Jawa Pos (Jawa Pos Grup), kemudian Kompas dan Jakarta Post (Gramedia Grup).

Terkait "Oligarki Media" ini, Prabowo menulis dengan cukup keras, ada hal-hal yang sudah jelas di depan mata tidak benar dan tidak adil, tetapi sebagian elite kita pura-pura tidak tahu.

Media kita sekarang banyak dikuasai pemodal besar, sehingga banyak masalah-masalah bangsa yang disebabkan oleh ulah mereka (para pemodal besar) yang tidak bisa diliput, atau diliput dengan narasi yang jauh berbeda dengan apa yang sesungguhnya terjadi.

Ini berbahaya, lanjut Prabowo, karena banyak masyarakat kita berharap kepada media untuk mendapatkan pencerahan, mendapatkan pengetahuan soal demokrasi kita.

Masyarakat kita berharap media netral, tidak berpihak selain ke kepentingan bangsa, tidak menjadi propagandis kepentingan tertentu.

Tulis Prabowo, saya angkat topi kepada media-media yang secara eksplisit menyatakan keberpihakan kepada partai politik, atau kandidat tertentu dalam sebuah pemilihan, atau isu politik tertentu.

Apalagi jika pernyataan keberpihakannya diulang terus-menerus, sehingga masyarakat dapat mengetahui berita yang diterbitkan berat sebelah. Jangan seolah tidak berpihak, seolah tidak bisa dibeli, tetapi menjerumuskan.

Membaca opini Prabowo soal oligarki media -- yang sengaja saya tebalkan kalimatnya -, ada dua komentar yang muncul di benak saya.

Pertama, Prabowo mungkin saja kesal, karena media massa terutama stasiun televisi kurang berpihak kepada diri (kubu)-nya.

Kedua, Prabowo boleh jadi kesal, kalau ada media massa yang mencla-mencle. Seolah independen, tapi sebenarnya justru tidak.

Dalam bahasa Prabowo, disebut kata "menjerumuskan". Saya pikir berlebihan diksi "menjerumuskan" ini.

Alasannya, "seburuk-buruknya" media massa apalagi televisi, tetap punya Kode Etik Jurnalistik yang wajib ditaati, dan, jangan lupa ada Komisi Penyiaran Indonesia yang mengawasi dan siap meniup peluit peringatan lalu memberi kartu kuning dan merah, bila terbukti melanggar aturan.

Dua kemungkinan rasa kesal Prabowo ini, bila dikaitkan dengan masa kekinian boleh jadi bisa semakin memuncak.

Mengapa? Ya, ketika cetakan perdana buku ini diterbitkan pada Februari 2017, mungkin tak pernah ada yang menyangka kalau 20 bulan kemudian, pengusaha muda Erick Thohir terpilih sebagai Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) pasangan Capres-Cawapres dari kubu petahana, Joko Widodo--Ma'ruf Amin.

Tema besar "Paradoks Indonesia" yang disuarakan Prabowo untuk bahasan "Oligarki Media" akhirnya seolah dijawab Jokowi, dengan memunculkan tokoh muda yang baru saja berprestasi menyukseskan pesta olahraga Asian Games 2018 di Jakarta dan Palembang.

Erick Thohir, namanya!

Malah, seperti menohok balik sinyalemen Prabowo soal "Oligarki Media", Jokowi dengan lugas, santai dan tanpa perlu bicara terburu-buru menyebut-nyebut latarbelakang Erick Thohir terlebih dahulu, sebelum menyebutkan namanya dengan jelas.

"Beliau pengusaha sukses. Memiliki media. Memiliki klub sepakbola. Memiliki klub basket, tetapi yang jelas dalam setiap hal yang beliau pimpin, itu selalu mendapatkan kesuksesan," ujar Jokowi pada Jumat (7/9), di bilangan Menteng, Jakarta Pusat.

Erick Thohir memang punya klub sepakbola. Pada 2013, saham klub tim sepakbola ternama Italia, Inter Milan, ia beli dari pemilik sebelumnya Massimo Moratti dengan harga lebih dari Rp 5 triliun.

Erick yang menggemari olahraga basket, juga mendirikan klub bola basket Mahaka Satria Muda Jakarta, dan Mahaputri Jakarta. Masih di bidang olahraga, Erick juga menjabat Ketua Umum Komite Olimpiade Indonesia hingga 2019.

Apa sebaiknya Prabowo menyebut juga "Oligarki (Pemilik) Klub Olahraga"? Menahan ketawa rasanya, kalau itu sampai dilakukan Prabowo.

Lha terus, soal Erick Thohir dan media massanya? Wah, jangan ditanya deh. Erick yang kuliah S1-nya di Glendale University (California), dan studi S2-nya tamatan dari Administrasi Bisnis, Universitas Nasional California ini punya sederet media massa. Mulai dari membangun kembali bisnis harian Republika, mengelola Majalah a+, Parents Indonesia, Golf Digest, dan Sin Chew Indonesia.

Sedangkan di media audio visual, Erick melalui Mahaka Media Grup menjadi pemilik JakTV, stasiun radio GEN 98.7 FM, Prambors FM, Delta FM, dan FeMale Radio.

Erick juga tercatat sebagai Presiden Direktur Viva Grup dan Beyond Media. Makanya, ia pun memiliki saham TVOne dan ANTV.

Bayangkan, sekali tunjuk Erick Thohir, sinyalemen Prabowo soal "Oligarki Media" semakin terpelanting. Lho kok bisa?

Begini. Erick bukan orang baru di industri media. Ia orang yang tahu betul bagaimana bisnis media.

Lihat saja Republika, yang semestinya punya pangsa pasar mayoritas umat muslim se-Indonesia dan terjamin menangguk untung, nyatanya justru bertambah semakin maju pesat di tangan dingin seorang Erick Thohir.

Begitu juga dengan media-media massa lainnya. Semua bisnisnya stabil bahkan cenderung semakin maju. Radio-radio milik Mahaka Media Grup, tidak saja yang sanggup bertahan melintasi zaman, tapi juga membuktikan betapa masih kokohnya industri radio dalam negeri.

Lalu, apa Erick bakal mempertaruhkan kredibilitas diri pribadi dan bisnisnya di media massa, hanya karena ia kini menjabat Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf Amin? Hah, no way. Erick pasti tidak sepicik itu. Business is business, bagi Erick.

Jabatan Ketua TKN, dalam pandangan sosok muda milenial ini adalah semata koordinasi. Erick paham, ia bukan politisi, padahal di tubuh TKN banyak bertebaran politisi-politisi senior termasuk yang sudah kampiun. Makanya, kerja di TKN tak salah kalau ia anggap sebagai mengoordinasikan kampanye dari A sampai Z. So simple!

Lepas dari soal Erick Thohir yang punya banyak media massa, saat ini Prabowo, mungkin sedang kembali meruncingkan isu "Oligarki Media".

Pasalnya, Jokowi malah sudah mendapat dukungan lagi dari juragan media MNC Grup, Harry Tanoesoedibjo. Malah, seolah seperti meledek Prabowo, muncul kalimat 'serangan udara' ketika Joko Widodo dan Harry Tanoesoedibjo saling melontarkan pernyataan.

Kemampuan Partai Perindo dalam menguasai wilayah udara atau media tidak perlu diragukan lagi.

Sehingga, informasi-informasi yang disajikan media yang dipimpin Harry Tanoesoedibjo dapat tersampaikan ke masyarakat secara cepat. "Saya lihat dari sisi serangan udara, Partai Perindo itu saya kira sudah selesai," begitu urai Jokowi, Minggu (16/9) kemarin.

Pertanyaannya, apakah strategi Jokowi menggandeng para juragan media ini bakal makin meneguhkan kebenaran "Oligarki Media" seperti tudingan Prabowo?

Jangan keburu nafsu mendahului prasangka. Ingat lho, ada Komisi Penyiaran Indonesia. Ada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan rambu-rambu etik lain yang enggak akan sembarangan diterabas para juragan maupun pengelola media massa.

Lagipula, sosok seperti Erick Thohir misalnya. Pasti tidak akan gegabah menaruh barisan bisnis media massa miliknya seperti telur yang berada di ujung tanduk kerbau, hanya karena gara-gara ia menjadi Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi--Ma'ruf Amin.

Percayalah. Kalaupun terjadi, oligarki media bukan cuma monopoli Indonesia saja. Apalagi, Indonesia memang sedang memasuki tahun politik seperti saat ini.

Isu oligarki media memang menjadi salah satu bahan gorengan yang sedap dan setiap saat bisa disulut. Padahal, media massa punya lho aturan-aturan mainnya sendiri.

Hati-hati, bila sembarang mengarang tuduhan, bisa-bisa malah jadi "paradoks bagi diri sendiri".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun