Ketika itu, negara-negara di Asia dan Afrika banyak dipimpin oleh pemimpin-pemimpin yang berani seperti Soekarno (Indonesia), Jawaharlal Nehru (India), Gamal Abdul Nasser (Mesir), U Nu (Myanmar), Patrice Lumumba (Kongo) dan lainnya. Waktu itu, salah satu concern KAA 1955 adalah juga soal Palestina. Tapi memang, kondisi sekarang sudah berbeda, tidak terlalu progresif dalam politik tetapi lebih mengarah kepada kerjasama ekonomi, karena memang zamannya sudah beda.
Masalah HC bukan menjadi concern utama dalam studi saya. Itu semacam sisi-sisi menarik yang terkait dengan KAA 1955, semacam bumbu-bumbunyalah. Itu juga saya hanya memaba sebagian kecil saja soal HC itu. Sebenarnya menarik karena ketika saya membaca koran-koran di tahun 1950-an, terutama itu disodorkan oleh kelompok-kelompok yang menjadi oposisi pemerintah. Mereka memuat adanya wanita-wanita yang menemani diplomat-diplomat atau perwakilan-perwakilan yang datang di KAA 1955.
Mengenai tanggapannya tentang "komite keramahan" itu, saya sebagai sejarawan hanya mendokumentasikannya saja bahwa ada sesuatu hal yang menarik. Saya berbicara saja tentang tersebut, dan apakah hal ini bermoral atau tidak, bukan ranah saya.
Saya memuat sebenarnya berdasarkan sumber-sumber yang saya temui. Mengenai benar-benar adanya wanita-wanita yang terlibat, saya belum mewawancarai wanitanya. Kalau saya sendiri, hanya ingin mendokumentasikan, bahwa ternyata ada perdebatan tentang hal ini dari sisi perspektif koran-koran di Indonesia yang justru menarik, karena koran-koran oposisi justru menyoroti hal ini, kenapa tidak menyoroti ide besar tentang KAA 1955 sendiri misalnya.
Isu Tak Sedap KAA 1955 Â Â Â
Dalam bukunya, Wildan Sena Utama memuat juga sekilas isu tabu yang berlangsung selama KAA 1955. Ini memang bumbu tak sedap sepanjang konferensi. Begini antara lain yang tulis Wildan di halaman 151-152:
Selain itu, Masyumi dan partai Islam lainnya, Partai Sarikat Islam Indonesia, mengkritik Sekretariat Bersama karena mengorganisir "komite keramahan" yang menyediakan fasilitas wanita pendamping untuk menemani para delegasi menikmati waktu senggang. Menurut Legge, Soekarno sendiri yang meminta Sekretariat Bersama agar memilih pelajar-pelajar perempuan sebagai wanita pendamping. (Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil "Petit Histoire" Indonesia jilid 2, Jakarta: Kompas, 2009)
Komite keramahan ini menimbulkan kontroversi di kalangan pers Indonesia. Koran-koran pro-pemerintah seperti Suluh Indonesia (PNI), Harian Rakjat (PKI), Duta Masyarakat (NU) diam seribu bahasa terhadap isu ini. Tapi koran-koran oposisi seperti Indonesia Raya dan Pedoman, dua koran yang mendukung Partai Sosialis Indonesia (PSI), memberitakan isu ini sebagai headline.