Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Warisan "Semangat Bandung" dan Isu Tabu pada KAA 1955

23 April 2018   20:59 Diperbarui: 24 April 2018   08:07 2698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Alat timbang kirim barang dan palu penanda tanggal yang pernah digunakan di kantor pos selama KAA 1955, masih tersimpan apik di Museum KAA, Bandung. (Foto: Gapey Sandy)

Mochtar Lubis, pemimpin redaksi Indonesia Raya, mengatakan bahwa reportase terhadap komite keramahan adalah salah satu isu penting yang diberitakan oleh Indonesia Raya pada kurun 1950an. Ia bahkan terjun ke lokasi tempat para perempuan itu berada, mewawancarai beberapa diantaranya dan melaporkan hasil investigasinya di Indonesia Raya. Lubis mengklaim bahwa ia tidak keberatan dengan laki-laki yang mengunjungi lokasi prostitusi, tetapi keberatan dengan pemerintah yang menyediakan wanita untuk para delegasi konferensi. (David T Hill, Journalism and Politics in Indonesia: A Critical Biography of Mochtar Lubis (1922-2004) as Editor and Author, London & New York: Routledge, 2010)

Sementara itu, Pedoman mengutip editorial Singapore Standard yang mengatakan bahwa komite keramahan di Bandung menunjukkan degradasi moral Asia di mata dunia. KAA telah membawa hasil yang melebihi harapan para penyelenggaranya, tapi kesalahan kecil menghancurkan segala yang telah dicapai.

Namun Feith dalam karyanya The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia yang diterbitkan pada 1962 - pen) menunjukkan, meskipun media oposisi menyerang pemerintah Indonesia, rasa kebanggaan nasional yang dirangsang oleh KAA di tengah-tengah rakyat pada umumnya tidak mudah dihilangkan. (Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, Cornell University Press, 1962)

Sejarawan dari UGM Yogyakarta, Wildan Sena Utama. (Foto asli: Facebook Wildan Sena Utama)
Sejarawan dari UGM Yogyakarta, Wildan Sena Utama. (Foto asli: Facebook Wildan Sena Utama)
Sementara itu, Majalah TEMPO (2015) pernah juga menurunkan investigative reporting tentang isu tak sedap selama KAA 1955 ini. Sejumlah narasumber berhasil mereka wawancara. Romlah Rustandi Martakusumah misalnya, salah seorang relawan KAA 1955. Ketika konferensi, ia menjadi liaison officer yang tugasnya menemani para tamu wanita dan anak-anak anggota delegasi yang ikut menemani suami maupun ayah mereka. 

Sebelum bertugas sebagai liaison officer, Romlah lebih dahulu menjadi penerima tamu. Ia ditugaskan oleh panitia di Hotel Savoy Homann. Tapi belum juga ia sempat bekerja sudah keburu diusir Osa Maliki, salah seorang petinggi PNI yang duduk dalam struktur kepanitiaan. "Pak Osa bilang, eh Ibu buat apa kamu di sini? Saya bilang saya ditugasi di situ, lalu dia bilang "tidak, besok pindah ke tempat sidang". Dari sinilah Romlah seakan merasa yakin bahwa "komite keramahan" itu ada. Bagi Romlah yang juga anggota PNI, mungkin Osa berusaha mencegah supaya dirinya tidak termasuk dalam HC tersebut.

Kisah lain diungkapkan Bambang Hidayat yang ketika KAA 1955 sudah berusia 21 tahun. Ia juga liaison officer. "Tugas saya cuma mengantar (anggota delegasi) saja," kata Bambang. Ketika menunaikan tugasnya itulah, pakar astronomi ini mendengar rumor tentang adanya HC.

Konon, komite ini punya job menyediakan wanita penghibur untuk peserta konferensi yang "membutuhkan". Adapun salah satu tempat yang memasok "kebutuhan" itu adalah sebuah rumah di Jalan Setiabudi. Bangunan ini letaknya cuma sekitar 10 kilometer dari Jalan Asia Afrika. Bambang Hidayat sendiri bahkan pernah menampik permintaan anggota delegasi yang minta diantarkan ke sana.

Berbeda dengan kesaksian Joesoef Ishak, wartawan senior Harian Merdeka yang meliput jalannya konferensi. Ia mengakui, usai KAA 1955 digelar, memang banyak koran-koran yang memberitakan hal itu. Tetapi Joesoef sendiri tidak pernah melihat anggota delegasi memanfaatkan fasilitas tersebut. Panitia konferensi pun membantah adanya rumor komite tersebut. Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo sendiri langsung menyatakan tidak tahu menahu tentang kebenaran isu tersebut. "Saya yakin Bung Karno juga tidak tahu soal ini," katanya.

Rute dari Gedung Merdeka, Jalan Asia Afrika menuju ke Jalan Setiabudi. (Sumber: Google Maps)
Rute dari Gedung Merdeka, Jalan Asia Afrika menuju ke Jalan Setiabudi. (Sumber: Google Maps)
Bantahan senada juga datang dari Gubernur Jawa Barat, Sanusi Hardjadinata, dan Wali Kota Bandung saat itu, R Enoch. "Jika terjadi betul sangat tercela karena mencemarkan nama," ujar Sanusi seperti dikutip Pikiran Rakjat, 6 Mei 1955.

Rumor adanya komite yang menyediakan wanita penghibur akhirnya memang sempat menjadi bulan-bulanan topik media dari dalam, juga beberapa dari luar negeri. Apakah benar-benar ada? Atau hanya kabar burung belaka? Maklum, ini area sisi gelap yang sulit ditelusuri dari luaran.

Rosihan Anwar - yang meliput KAA 1955 sebagai editor Harian Pedoman - dalam bukunya Sejarah Kecil "Petite Histoire" jilid 2 menulis:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun